Sukses

Situs Prasejarah 17.000 Tahun Ini Diyakini sebagai Gerbang Neraka

Petroglif prasejarah yang terletak di dekat Desa Malyshevo, Rusia, diyakini sebagai gerbang menuju neraka.

Liputan6.com, Khabarovsk - Petroglif atau pahatan batu prasejarah yang terletak di dekat Desa Malyshevo, Khabarovsk, Rusia, merupakan salah satu peninggalan sejarah yang dinilai luar biasa.

Salah satu batuan di pesisir Sungai Amur itu, memperlihatkan ukiran wajah dan topeng dukun bersama dengan mammoth berbulu, kuda, ular, lingkaran konsentris, dan kegiatan berburu.

Sebuah gambar bahkan menyerupai prototipe The Scream karya Edvard Munch. Namun beberapa ahli mengatakan, itu adalah 'Dewi Rusa Besar' yang ada pada periode Mesolitik akhir sekitar 7.000 tahun lalu.

Dikenal dengan nama petroglif, Sikachi Alyan saat ini sedang diajukan sebagai situs warisan dunia Unesco.

Dikutip dari Ancient Origins, Jumat (12/5/2017), petroglif awal yang terentang 6 kilometer dan terletak di dekat pantai Amur merupakan salah satu peninggalan yang termasuk dalam budaya Osipov.

Menurut para ahli, sejumlah gambar kuda yang diukir di bebatuan di sana dibuat selama Zaman Es akhir. Namun orang-orang kuno juga bertandang ke sana dan menambah ukiran di bebatuannya selama ribuan tahun. Petroglif terakhir yang dibuat dengan menggunakan alat besi tertanggal pada Abad-3 SM.

Namun peninggalan bersejarah itu baru-baru ini telah dirusak oleh grafiti. Penduduk Desa Malyhevo, pemukiman kecil berpenduduk 1.300 orang, berusaha menyelamatkan petroglif itu dari para pembuat grafiti.

Salah satu petroglif Sikachi Alyan (Wikipedia/Creative Commons)

Grafiti bukan satu-satunya ancaman bagi tempat yang diyakini sebagai pintu gerbang menuju neraka.

Sejumlah koleksi seni hilang ke sungai setelah terjadi banjir. Beberapa yang lainnya terbalik oleh es dan menutupi karya seni berharga itu.

Perubahan suhu juga memicu pertumbuhan lumut dan rumput sungai liar yang mengaburkan ratusan petroglif kuno. Namun orang-orang masih menganggap bahwa grafiti yang menjadi ancaman terbesar.

Keberadaan petroglif pertama kali dilaporkan media lokal pada 1873. Saat itu petroglif diyakini merupakan hasil kerajinan populasi Nanai.

Sejak saat itu, sejumlah ekspedisi dilakukan oleh ilmuwan dari beragam tempat di dunia untuk melihat kesenian yang terdapat di batu tersebut.

Seorang anggota ekspedisi dari Natural History Museum New York yang bekerja sejak 1897 hingga 1903, mempublikasikan artikel yang mendeskripsikan petroglif tersebut.

Salah satu petroglif Sikachi Alyan (Wikipedia/Creative Commons)

Seorang petualang dan arkeolog Jepang, Torii Rudzu, melihat petroglif tersebut pada 1919 saat ia melakukan perjalanan ke Siberia. Ia melihat kemiripan antara petroglif dan patung-patung dogu tanah liat Jepang yang berasal dari Zaman Batu, di mana keduanya memiliki tanda-tanda Matahari di wajahnya.

Pada tahun 1930-an, arkeolog Nikolay Kharlamov mendeskripsikan lokasi petroglif tersebut, mengabadikannaya ke dalam foto, dan mencetaknya.

Sejumlah ekspedisi yang dipimpin oleh akademisi Alexey Okladnikov dilakukan di area tersebut pada 1960-an. Penelitiannya menghasilkan dua buku yang mendeskripsikan dengan detail sekitar 300 petroglif di dekat desa Sikachi-Alyan dan Malyshevo.

Okladnikov mengklasifikasikan dan menginterpretasikan gambar-gambar tersebut. Ia menyimpulkan bahwa itu merupakan bukti bahwa kompleks dan kebudayaan tinggi terdapat di Amur bawah pada Era Neolitikum. Ia juga juga mengklaim bahwa karya seni itu menyerupai benda seni dari Samudra Pasifik, Asia Tenggara, Australia, dan Polinesia.

2 dari 2 halaman

Gerbang Neraka Lainnya

Tak hanya di situs petroglif Sikachi Alyan saja yang diyakini sebagai gerbang neraka. Sebuah tempat di Amerika Tengah, Actun Tunichil Muknal, terlihat seperti lokasi ritual ilmu hitam, di mana tulang belulang sisa tumbal berserakan.

Actun Tunichil Muknal adalah sebuah gua di Amerika Tengah yang digunakan oleh peradaban suku Maya sebagai 'gerbang' neraka, Xibalba.

Gua tersebut digunakan sebagai tempat ritual. Korban dibaringkan di lantai gua, lalu kepala mereka dipukul sangat keras sehingga suara retakan tengkorak mereka dapat terdengar menggema di seluruh ruangan.

Kemudian tembikar yang telah disediakan akan dipecahkan untuk memberi 'jalan' kepada tumbal agar dapat menyeberang ke neraka.

Untuk dapat mencapai gua tersebut, penjelajah harus melewati jalan sempit yang dibanjiri air sedalam batas leher orang dewasa. Air memenuhi gua dan menghasilkan endapan mineral diseluruh tempat itu.

Hal ini membuat tengkorak korban tumbal mengendap di lantai gua dan berkilau seperti kristal. Salah satu dari tengkorak berkilau itu bahkan kini dikenal dengan sebutan Crystal Maiden.

Actun Tunichil Muknal (Wikipedia/Creative Commons)

Selain itu, Gunung Api Masaya di Nikaragua juga disebut sebagai gerbang neraka. Gunung api tersebut ditemukan oleh penjajah Spanyol ketika mereka memasuki wilayah Nikaragua pada Abad ke-16. Pada saat itu mereka menemukan Masaya sangat aktif dan tanpa henti mengeluarkan lava.

Akhirnya para penjajah tersebut memutuskan untuk menyebut tempat itu La Boca del Infierno atau 'Mulut Neraka'.

Kala itu penduduk lokal tidak percaya bahwa Masaya adalah gerbang menuju neraka. Namun orang-orang Spanyol itu tetap memasangkan salib di sekitar mulut kawah. Hal itu dilakukan untuk mengusir setan.

Sebelum para penjajah Spanyol itu datang, penduduk lokal sempat percaya bahwa gunung api itu adalah Dewa. Mereka bahkan memberikan tumbal anak-anak dan perempuan sebagai persembahan untuk mengakhiri kekeringan.

Pendeta setempat kala itu percaya bahwa tuhan sedang marah dan perlu 'ditenangkan'. "Gunung api Nikaragua adalah mulut neraka, apinya adalah sesuatu yang supranatural dan jahat, tempat yang dikutuk dilemparkan oleh iblis."

Belakangan diketahui jumlah belerang yang sangat banyak di daerah itulah yang menjadikan tempat itu 'neraka'.