Liputan6.com, Washington, DC - Ransomware WannaCry yang menyerang jaringan komputer dunia yang dimulai pada 12 Mei lalu membuat sejumlah orang menyadari betapa sistem komputer mereka teramat rentan menjadi sasaran serangan malware.
Sejumlah perusahaan dan organisasi yang mengandalkan jaringan komputer sebagai basis pekerjaannya sempat terkena dampak mengganggu dari malware tersebut.
Hingga kini, malware tersebut masih menimbulkan sejumlah ancaman bagi sejumlah pengguna komputer. Namun, seorang pakar komputer mengimbau bahwa serangan tahap dua ransomware serupa diprediksi akan kembali terjadi dalam waktu dekat.
Advertisement
Baca Juga
"Itu akan menjadi sebuah serangan ransomware terbesar yang pernah terjadi," kata James Bennett dari Venable, sebuah firma hukum dan analis komputer berbasis di Maryland, Amerika Serikat, seperti yang dikutip dari NDTV, Senin, (15/5/2017).
"Mereka akan menghidupkan komputer di pagi hari, kemudian dihadapkan dengan kemungkinan 50-50, apakah komputer mereka terjangkit malware atau tidak," ujar Bennett yang juga seorang purnawirawan Mayor Jenderal Angkatan Laut AS itu.
Ransomware WannaCry pertama kali menjangkiti jaringan komputer Layanan Kesehatan Nasional Inggris pada Jumat, 12 Mei 2017. Setelah itu, malware tersebut menyebar ke lebih dari 150 negara.
Sesuai namanya, ransomware itu menginfeksi sebuah jaringan komputer, menguncinya, dan meminta tebusan kepada sang pengguna komputer sebagai ganti untuk kembali membuka jaringan yang terkunci itu. Tebusan yang diminta berupa uang berkisar US$ 300 atau setara dengan Rp 3,9 juta.
Sasaran utama malware itu adalah komputer dengan sistem operasi kuno, salah satunya seperti Microsoft Windows XP. Alasannya karena sistem operasi tua itu sudah tidak lagi dilindungi oleh induk perusahaannya, yakni Microsoft, sejak 2014.
Dampak yang lebih meluas dari serangan malware itu berhasil ditekan setelah seorang pria analis komputer berusia 22 tahun menemukan mekanisme pencegahan dan menyebarluaskan informasi itu melalui social media Twitter.
Melalui akun @MalwareTechBlog, pria itu berujar bahwa mekanisme pencegahan Ransomware WannaCry dapat dilakukan dengan mendaftarkan domain yang telah terjangkit ke sebuah situs dengan biaya US$ US$ 10.69 atau sekitar Rp 142 ribu. Ketika sudah terdaftar, domain tersebut berperan sebagai sebuah kill switch (tombol untuk menon-aktifkan) dan penyebaran malware pun ternyata terhenti.
Namun, keberhasilan itu diprediksi tak akan bertahan lama karena Ransomware WannaCry akan terus melakukan modifikasi dan mampu mengalahkan mekanisme pertahanan yang telah ada. Sementara bagi para penggelut dunia komputer dan teknologi informasi, fenomena WannaCry dapat menjadi tonggak untuk terus mengembangkan mekanisme pertahanan terhadap serangan siber serupa.
"Jika Anda melihat tren terkini, para perusahaan keamanan komputer memasukkan fenomena ransomware sebagai salah satu prioritas utama. Hal itu menjadikan mereka, termasuk Anda, untuk terus melakukan pengembangan dan penelitian untuk mencegah hal itu," ujar Peter Warren Singer, pakar komputer dari New America Foundation.
Pakar komputer lain mengimbau agar individu atau perusahaan yang masih menggunakan sistem operasi kuno untuk segera memperbaharui ke sistem operasi termutakhir.
"Lembaga pemerintah (di AS) masih banyak yang menggunakan sistem operasi XP dan terhubung ke internet. Hal itu menambah rentan terhadap serangan malware," ujar R. David Edelman, mantan Staf Kepresidenan Barrack Obama.
Pada 2015, lembaga pemerintah berdana besar, salah satunya Angkatan Laut AS, mengucurkan kocek sebesar US$ 9 juta atau setara sekitar Rp 12 miliar kepada Microsoft untuk terus melindungi sistem operasi Windows XP khusus untuk AL.
"Seluruh pemerintah dunia harus merespons aktif peristiwa ini. Mereka harus melakukan sebuah pendekatan baru dalam dunia siber dan komputer," ujar Brad Smith, deputi legal Microsoft.