Liputan6.com, Roma - Pada 24 Agustus 79 Masehi, Gunung Vesuvius meletus dahsyat. Awan panas yang disemburkan hingga ketinggian 30 kilometer akhirnya mengguyur dan mengubur sejumlah kota, termasuk Herculaneum dan Pompeii.
Dua kota tersebut terkubur abu tebal dan terlupakan selama hampir 1.500 tahun. Keberadaannya baru terkuak pada 1738, dan baru pada 1863 arkeolog Italia, Guiseppe Fiorelli melakukan ekskavasi.
Advertisement
Baca Juga
Lewat ekskavasi, terkuak puing-puing Pompeii. Fiorelli kemudian menyadari bahwa abu lunak di situs Pompeii adalah jejak kematian para penghuninya -- yang tragisnya terawetkan oleh abu. Jumlahnya ada sekitar 1.150 kerangka manusia.
Sementara jaringan lunak dan organ bagian dalam terurai lamban, abu panas mengawetkan kerangka korban dan membuatnya menjadi keras dan bertahan selama lebih dari seribu tahun. Fiorelli lantas mengisi bolong-bolong jasad para penghuni pompeii dengan plester -- hingga menjadi apa yang bisa kita saksikan selama ini.
Patung-patung tersebut menyediakan data penting bagi para arkeolog terkait kehidupan manusia di kota-kota kuno di kaki Gunung Vesuvius.
Berikut 6 hal aneh yang jarang diketahui banyak orang soal manusia yang berubah jadi batu di Pompeii, seperti yang Liputan6.com kutip sebagian dari situs Ranker, Kamis (18/5/2017).
1. Penjelasan Ilmiah Soal Manusia yang Berubah Jadi Batu
Saat Vesuvius mengamuk dahsyat, gunung itu memuntahkan awan panas dan material vulkanik yang membara.
Sekitar 10 jam kemudian, awan yang membumbung tinggi itu ambrol dan menghasilkan rangkaian lonjakan piroklastik yang mengubur kota-kota Romawi, yakni Herculaneum, Pompeii, dan sebagian wilayah dekat Vesuvius dengan radius puluhan kilometer.
Piroklastik adalah hasil letusan gunung berapi yang bergerak dengan cepat dan terdiri dari gas panas, abu vulkanik, dan bebatuan.
Di Herculaneum dan Oplontis yang terletak 6 hingga 7 kilometer dari Vesuvius, lonjakan suhu menguapkan daging pada tubuh korban, menyebabkan endapan abu mendingin, dan mengeras di sejumlah tempat tinggal dalam beberapa menit.
Sementara itu di Pompeii yang terletak 10 km dari Vesuvius, jasad manusia berubah mengeras karena suhu endapan vulkanik yang yang lebih rendah.
Abu vulkanik kemudian mengisi rongga yang terbentuk di sekitar jenazah saat daging mereka perlahan-lahan menghilang.
Hal tersebut disampaikan ilmuwan dari Univeristy Federico II of Naples, Prof. Pier Paolo Petrone, dalam presentasinya via Skype yang diadakan oleh Istituto Italiano di Cultura, Jakarta.
Berdasarkan analisis lokasi dan laboratorium terhadap tulang manusia dan hewan, korban erupsi Vesuvius terpapar suhu antara 200 hingga 600 derajat Celcius dengan jarak hingga 15 kilometer.
Menurut Petrone, korban di Pompeii sangat mirip dengan korban erupsi yang terjadi di Gunung Pelee, Merapi, Sinabung, dan Montserrat.
Advertisement
2. Ada tulang di Balik Patung Manusia
Untuk mengawetkan jasad warga Pompeii, Guiseppe Fiorelli menuangkan plester dari Paris, ke rongga-rongga halus yang ditemukan di tengah abu -- yang tingginya sekitar 30 kaki atau 9,1 meter di atas permukaan tanah.
Rongga tersebut sebenarnya adalah bagian tubuh yang terdekomposisi -- yang mempertahankan bentuknya meskipun jaringan lunak terurai dari waktu ke waktu.
Saat dituangkan ke dalam abu, plester itu mengisi ruang yang sebelumnya ditempati oleh jaringan lunak -- daging, kulit, juga organ dalam.
Sejumlah orang selama ini salah paham, dengan mengira jasad yang diawetkan dengan plester, kosong belaka.
Padahal, rongga yang ditinggalkan oleh jasad bukanlah cangkang, melainkan masih menahan tulang jenazah.
Saat plester memenuhi abu lembut itu, tulang-belulang jasad kembali tertutup. Setelah diawetkan, jenazah orang Pompeii bahkan lebih hidup dari yang terlihat.
3. Manusia Pompei Punya Gigi yang Bagus
Pada tahun 2015, arkeolog mulai menggunakan CT scan untuk menganalisis jenazah yang ditemukan di Pompeii.
Salah satu temuan paling luar biasa dalam pemindaian tersebut adalah, orang Pompeii ternyata memiliki gigi yang luar biasa bagus.
Pompeii terkubur abu selama ribuan tahun -- sebelum kemunculan praktik yang serupa dengan kedokteran gigi modern.
Hebatnya, tidak ada satupun dari jasad yang ditemukan, yang memiliki gigi rusak.
Sepintas, itu sangat mengejutkan, namun sebenarnya sangat masuk akal.
Jangan lupa, Gunung Vesuvius meletus sebelum gula olahan ditemukan.
Pola makan orang Romawi saat itu juga mengandung protein, dan buah-buahan berserat tinggi, serta sangat rendah gula.
Diet tersebut, dikombinasikan dengan kandungan florin yang tinggi di udara dan air, membuat mulut warga di sana bebas dari gigi berlubang.
Advertisement
4. Bocah Penderita Sifilis
Di Pompeii, pada Abad ke-1 Masehi, bisa bertahan hidup sampai usia 10 tahun adalah sebuah 'prestasi'.
Masa kecil penduduknya dihantui momok mematikan karena penyakit menular dan kurang perawatan yang tepat.
Karena penyakit meninggalkan jejaknya pada tulang manusia, para arkeolog memiliki wawasan soal beberapa penyebab kematian paling merenggut nyawa dan umum di kalangan anak-anak Pompeii.
Ternyata, sifilis masuk di antara penyebab kematian dini ini yang menimpa para bocah.
Ditemukan jejaknya pada tulang sepasang anak kembar yang merujuk pada sifilis kongenital.
Sifilis kongenital adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum, yang ditularkan dari ibu kepada janin di dalam kandungannya.
Sifilis kongenital merupakan infeksi yang berat pada bayi, dan seringkali mengancam nyawa.
Itu berarti, sifilis mulai berjangkit di Eropa jauh sebelum perjalanan Columbus -- yang kerap dikaitkan dengan asal usul penyakit itu di Benua Biru.
Di sisi lain, para arkeolog juga menemukan fakta, ada sejumlah lansia di Pompeii. Temuan itu membantah mitos yang mengatakan warga di sana hanya memiliki rentang usia yang pendek.
Para arkeolog pun menyimpulkan, meski pada masa kanak-kanak diwarnai banyak ancaman maut-- mereka yang berhasil selamat bisa berumur panjang.
5. Pose Menjemput Kematian
Beberapa jasad yang ditemukan di Pompeii dalam posisi meringkuk, seperti janin pada rahim ibu.
Posisi seperti itu umumnya diyakini sebagai dampak dari kematian akibat mati lemas kekurangan oksigen.
Pada awalnya, diasumsikan bahwa para penduduk Pompeii tewas tercekik gas panas yang menyelubungi kota.
Para ilmuwan juga mengetahui bahwa hujan abu meruntuhkan atap rumah dan menewaskan sejumlah orang yang memilih tinggal di dalam rumah.
Namun, banyak jasad yang ditemukan dalam posisi yang relatif wajar -- ketika para korbannya tak siap mati.
Hal itulah yang membuat para ilmuwan menduga, panas yang luar biasa tinggi -- akibat erupsi -- secara instan membunuh orang Pompeii. Mereka tidak tewas akibat sesak napas.
Mereka berada dalam apa yang disebut kejang kadaver ekstrem. Pola retak pada kerangka tubuh berfungsi sebagai bukti adanya panas luar biasa tinggi yang merenggut nyawa mereka.
Advertisement
6. Kisah Dramatis dan Fantastis
Ekskavasi Pompeii dilakukan pada Era Victoria -- periode pemerintahan Ratu Inggris Victoria pada 1837 hingga 1901.
Orang-orang kala itu menyukai cerita yang menarik. Makin dramatis, makin dianggap bagus.
Terkait jasad-jasad manusia yang ditemukan di Pompeii, mereka memberikan nama dan identitas sosok-sosok itu sesuai hal-hal menarik yang dilihat -- yang dibumbui dengan hal-hal fantastis.
Namun, pemindaian modern membantah anggapan orang pada masa itu.
Misalnya, sosok perempuan hamil yang malang yang tewas terkubur abu. CT scan menunjukkan bahwa dia tidak hamil, dan bahkan mungkin bukan wanita.
Sementara, jasad diduga dua gadis berangkulan -- yang disebut 'Two Maidens' sejatinya adalah laki-laki. Namun bagaimana hubungan keduanya jadi misteri berabad-abad. Muncul dugaan keduanya pecinta sesama jenis.
Bagaimana sosok yang dikenal sebagai budak Celtic besar dari Gaul? Ternyata, dia bukan seorang budak.
Identitas dan ksiah dari era Victoria untuk tokoh-tokoh tersebut menarik dan mendorong minat terhadap Pompeii, namun hasilnya tidak akurat.
Para arkeolog menemukan, pada Abad ke-1 Masehi, Pompeii adalah kota dagang penting di mana para pedagang dari seberang Laut Tengah tinggal dan mencari nafkah. Ada yang dari Yunani, Gaul, dan lainnya.Â
Lewat analisis tulang, genetika orang-orang yang menjadi penduduk Pompeii diketahui setara dengan New York dan London pada era modern --dari berbagai latar belakang. Dengan kata lain, Pomeii adalah kota kosmopolitan.