Sukses

Peringatan Konten!!

Artikel ini tidak disarankan untuk Anda yang masih berusia di bawah

18 Tahun

LanjutkanStop di Sini

5 Persepsi Soal Seks dan Hubungan Sesama Jenis pada Masa Lalu

Manusia masa lalu memiliki jenis tabu mereka sendiri dan gagasan tersendiri tentang benar dan salah.

Liputan6.com, Jakarta - Pandangan manusia mengenai seksualitas berbeda-beda menurut tempat dan zaman. Apa yang dianggap tabu saat ini mungkin jadi hal biasa pada masa lalu.

Tak jarang, orang-orang salah sangka, menganggap orang-orang dulu bisa berlaku sebebas-bebasnya -- di mana seksualitas tidak memiliki batas dan tidak ada yang dilarang.

Persepsi itu muncul karena kita melihat masa lalu sebagai cerminan dari masa kini. Padahal, tidak demikian adanya. Budaya masa lalu bukanlah 'surga kebebasan' -- nenek moyang hanya punya aturan main yang berbeda dengan saat ini.

Manusia masa lalu juga punya apa yang mereka anggap tabu, pun gagasan tersendiri tentang benar dan salah.

Banyak di antara nilai-nilai tersebut -- tidak seperti yang kita kira dan amat berbeda dari cara kita memandang dunia sekarang ini.

Misalnya, bangsa Yunani Kuno tidak mengenal konsep homoseksualitas. Kala itu, dianggap normal saja bagi seorang pria untuk menjadikan bocah lelaki sebagai kekasih. Bahkan, hubungan itu menjadi bagian dari budaya Yunani Kuno.

Pandangan bangsa Romawi Kuno mirip dengan Yunani Kuno, meski cara pandangnya berbeda.

Kaum pria boleh tidur dengan pemuda yang dijadikan budak atau PSK. Namun, pelakunya dianggap sebagai penderita penyakit. Tapi, bangsa Romawi Kuno tidak dapat menerima adanya lesbianisme.

Seperti dirangkum dari Listverse.com pada Senin (22/5/2017), berikut ini adalah sejumlah perbedaan persepsi tentang seksualitas pada masa lalu dan masa kini: 

2 dari 6 halaman

1. Indian di Amerika

Ilustrasi pasangan suku Navajo. (Sumber Museum of New Mexico)

"Dua roh" telah menjadi istilah meluas di kalangan LGBT dan digunakan untuk menjelaskan Amerika sebelum masa kolonial ketika LGBT diterima.

Benar, memang diterima, tapi bukan seperti yang dibayangkan orang masa kini.

Konsep adanya orang-orang dengan "dua roh" ada di kalangan sekitar 130 suku di Amerika Utara. Memang banyak, tapi bukanlah mayoritas jika dibandingkan dengan setidaknya 500 suku di sana. Tiap suku memiliki perbedaan, tidak ada perincian yang benar-benar sama.

Secara umum, seseorang yang memiliki "dua roh" adalah seseorang yang bertindak tidak tepat dengan norma gender yang ada.

Misalnya ketika ada anak lelaki yang senang menjahit atau anak perempuan yang gemar berburu. Beberapa suku menyebut mereka memiliki dua roh dan memberikannya peran khusus dalam masyarakat.

Seorang pria dengan dua roh bisa saja mengenakan pakaian wanita dan melakukan tugas wanita, tapi dia tidak serta-merta menjadi seorang gay atau homoseksual.

Secara alamiah, seseorang dengan dua roh bisa tetap sebagai seorang heteroseksual atau bahkan berganti-ganti pakaian pria atau wanita hari demi hari.

3 dari 6 halaman

2. China Kuno

Ilustrasi selir-selir dan anak-anak pada masa Kaisar Qianliong dari dinasti Qing. (Sumber Wikipedia/Giuseppe Castiglione)

Di setiap budaya, kebudayaan China Kuno tampaknya adalah yang paling dekat dengan 'surga kebebasan seksualitas' yang diangankan manusia modern.

Namun, sejatinya tak benar-benar sama.

Bangsa China Kuno memang memiliki selir dan pelacur pria yang disukai karena tampilannya.

Suatu hikayat China berkisah tentang Mizi Xia, seorang selir bagi Raja Wei. 

Pemuda itu tak pernah melakukan kesalahan. Namun, karena pesonanya memudar, raja berbalik memusuhinya.

Lalu ada kisah tentang Kaisar Ai dan kekasihnya yang bernama Dong Xian.

Dong tertidur, tubuhnya menindih lengan baju sang penguasa. Karena tidak ingin membangunkan kekasihnya, kaisar memotong lengan bajunya dan mengendap-endap pergi.

Kalangan seputar singgasana yang tersentuh oleh cerita itu kemudian menyatakan dukungan dengan cara ikut memotong lengan baju mereka.

Terdengar seperti kisah biasa, tapi, dalam kisah-kisah itu, pria-pria tersebut berperan sebagai selir atau penghibur dan hampir tidak pernah sebagai pasangan hidup. Karena, sebagaimana lazimnya, kaum pria saat itu memiliki istri dan anak-anak.

Kaum pria itu mungkin memang memiliki selingkuhan. Tapi, dalam budaya saat itu, mereka memiliki kewajiban untuk mendapatkan keturunan.

Keberadaan kekasih pria untuk para pria lain dalam budaya China Kuno memang tidak dianggap sebagai masalah, tapi mereka masih diharapkan agar menikahi wanita.

4 dari 6 halaman

3. Mesopotamia

Temuan arkeologi Mesopotamia. (Sumber The Israel Museum)

Ada suatu hukum di Asiria yang mengatakan bahwa jika seorang pria bersetubuh dengan tetangganya yang juga pria, maka ia harus dijadikan sida-sida (pria yang dikebiri). Cukup jelas bahwa, menurut hukum Aisiria, homoseksualitas adalah pelanggaran hukum. Tapi, praktiknya lebih rumit daripada yang dibayangkan.

Kaum pria memang dilarang tidur bersama tetangganya, tapi pelacur lelaki bertebaran di Asiria.

Bahkan ada para imam pria berpakaian wanita yang tugas satu-satunya adalah agar dijadikan kekasih. Tidur bersama para imam dianggap baik-baik saja.

Pengertian terbaik soal seksualitas di Asiria terbaca dari suatu rujukan panduan yang menjadi cara memprediksi masa depan seseorang. Menurut panduan itu, tidur bersama dengan seorang pelacur pria adalah pertanda baik, tapi dilarang jatuh cinta.

Menurut panduan itu, jika "bercumbu dengan kaum pria memang menjadi keinginannya" maka pria itu akan "mengalami kejahatan." Hal itu seperti menengarai bahwa homoseksualitas bukanlah masalah hanya jika dilakukan dengan seorang PSK.

Itu belum sedemikian anehnya. Jatuh cinta dengan kaum pria mungkin merupakan hal buruk, tapi ada pertanda yang berbunyi demikian, "Jika seorang pria bersetubuh dengan sesamanya dari arah belakang, ia menjadi pemimpin di antara rekan dan saudara-saudara lelakinya."

5 dari 6 halaman

4. Jepang di Abad Pertengahan

Ilustrasi kaum samurai Jepang pada 1860. (Smber Wikimedia Commons/First Japanese Embassy to Europe)

Menjalang Abad ke-14, kaum samurai Jepang mulai menjadikan kaum yang dilindunginya sebagai kekasih.

Biasanya, hal itu mirip dengan apa yang terjadi di Yunani Kuno, yaitu antara pria tua dengan bocah lelaki. Hal itu amat lazim sehingga seorang samurai pun pernah berujar, "Seorang pria muda tanpa kekasih tetap yang lebih tua itu mirip dengan seorang wanita muda tanpa seorang tunangan."

Tapi, berbeda dengan Yunani Kuno, bangsa Jepang lebih dapat menerima pasangan kekasih sesama pria dewasa. Menurut mereka, pasangan kekasih sesama pria yang lanjut usia adalah seperti, "dua buah pohon tua buah ceri yang masih berkembang." Jelaslah bahwa Jepang Abad Pertengahan menjadi tempat toleran untuk homoseksualitas.

Tapi berbeda dengan heteroseksualitas. Segelintir kaum pria Jepang hampir tidak dapat menerima aturan pernihakan pria dan wanita.

Seperti halnya dengan bangsa China Kuno, kaum pria diharapkan menikahi seorang wanita, tapi ada saja yang memperlakukan hal itu seperti beban yang berat.

Kekasih pria atau kekasih wanita menjadi topik lazim yang dipersengketakan. Pendapat boleh beragam, tapi segelintir kaum pria bersikap misoginis tetang itu.

Seorang di antaranya menuliskan bahwa heteroseksualitas sebagai kekonyolan, katanya, "Seorang wanita adalah mahluk yang sama sekali tidak ada pentingnya, sedangkan cinta tulus homoseksualitas adalah cinta sejati."

6 dari 6 halaman

5. Mesir Kuno

Seth dan Horus. (Sumber YouTube/GMS Holland)

Ketika ada dua pria Mesir Kuno ditemukan dimakamkan bersama dalam keadaan berpelukan, orang mulai bercerita betapa toleran dan indahnya masyarakat Mesir Kuno.

Tapi, anggapan itu tak berdasar, sebab kita tidak menemukan hal lain membuktikan bahwa Mesir Kuno adalah surga kebebasan seksual.

Ada suatu kisah tentang raja Mesir yang gay, Pepi II, tapi penulisan kisahnya tidak seperti suatu perayaan cinta. Sang raja dan kekasihnya harus mengendap-endap tiap malam untuk bertemu dan hubungan itu diperlakukan sebagai skandal.

Tapi ada mitos nyeleneh yang dapat memberikan pengertian bagaimana pendapat bangsa Mesir Kuno tentang homoseksualitas yang ternyata tidak seperti pandangan orang di masa kini, misalnya kisah Horus dan Seth.

Pada dasarnya, Seth berusaha merebut takhta dari keponakan lelaki bernama Horus dan melakukannya melalui suatu rencana, yaitu menyerang keponakannya secara seksual. Ia menduga akan dijadikan raja jika melakukan perbuatan itu.

Konon, rencana itu berhasil. "Berikan saya tugas sebagai Penguasa, karena, terkait Horus…saya sudah lakukan kejantanan terhadapnya," kata Seth.

Orang-orang malah mendukungnya dan ia pun sempat meludahi wajah Horus.

Bangsa Mesir Kuno diduga percaya bahwa seorang yang memperkosa korban usia belia lebih pantas memimpin dibandingkan dengan bocah lelaki yang menjadi korban.

Menjadi seorang gay pada masa Mesir Kuno tidaklah seburuk itu, tapi lebih buruk lagi orang yang berada di lapisan bawah.