Sukses

3 Bencana Dahsyat dari Langit yang Bisa Picu Kiamat di Bumi

Berikut 3 perubahan besar di angkasa luar yang dapat menyebabkan bencana bahkan kiamat di muka Bumi.

Liputan6.com, Jakarta - Banyak dari manusia tumbuh memahami bahwa angkasa luar merupakan jagat luas yang stabil. Setiap objek yang ada di angkasa luar dapat dianalogikan sebagai sebuah sistem kerja mesin yang bergerak sesuai dengan fungsi dan trayektorinya.

Masing-masing memiliki lintas orbit dan siklus. Dan, selama miliaran tahun, posisi setiap planet dalam sistem bintang, seperti Tata Surya kita, konsisten berada di tempatnya, atau bergerak sesuai fungsinya.

Namun, selama beberapa tahun terakhir, banyak fakta tentang angkasa luar, yang perlahan mengalami perubahan.

Beberapa perubahan ini akan memiliki dampak yang jauh lebih besar dibanding saat NASA mengumumkan Pluto bukanlah sebuah planet.

Entah itu bertambahnya waktu Bumi menjadi 26 jam per-hari hingga penghancuran total sebuah planet, perubahan di angkasa luar tersebut akan datang dan mempengaruhi manusia di Bumi.

Berikut, 3 perubahan besar di angkasa luar yang dapat memicu bencana besar bahkan kiamat di Bumi, seperti yang dirangkum oleh Liputan6.com dari Listverse.com, Rabu, (24/5/2017):

2 dari 4 halaman

1. Kematian Matahari

Area besar berwarna hitam di permukaan Matahari (NASA)

Matahari, pusat tata surya di mana Bumi berada, merupakan sebuah bintang. Dan layaknya bintang lain yang ada di angkasa luar, mereka lahir, mereka hidup, dan kemudian mati. Matahari tidak terkecuali dari siklus alamiah itu.

Suatu hari nanti, setidaknya 5 miliar tahun dari sekarang, Matahari akan redup dan akhirnya mati. Sebuah bintang akan mati jika objek itu mulai kehabisan bahan bakar yang membuatnya hidup.

Selama masa hidupnya, sebuah bintang melakukan peleburan nuklir sebagai sebuah proses hidup.

Peleburan nuklir itu dilakukan ketika sebuah bintang mengambil hidrogen di dalam intinya, memanaskannya sampai suhu ekstrem, dan mengubahnya menjadi helium, selanjutnya mengubahnya menjadi karbon. Proses itu berlangsung sesuai dengan kadar hidrogen yang mampu diolah oleh sebuah bintang.

Semakin besar sebuah bintang, semakin banyak hidrogen yang dapat diolah untuk proses peleburan nuklir, dan semakin lama umur sang bintang. Begitupun sebaliknya, semakin kecil ukuran bintang, semakin pendek masa hidupnya.

Saat proses peleburan nuklir itu berhenti, bintang tersebut akan menciut, mengalami penyusutan massa, dan perlahan mengalami pemuaian hingga meledak dari sisa-sisa peleburan nuklir hidrogen, helium, dan karbon --tiga komposisi dasar sebuah bintang.

Matahari kita, menurut laporan badan antariksa, tengah mengalami proses pemuaian perlahan, mengeluarkan lapisan kulit luar yang meninggalkan intinya. Perlahan-lahan, lapisan itu akan memancarkan ampas-ampas radiasi bersuhu panas.

Gejala menjelang kematian Matahari itu, perlahan akan berdampak pada bumi. Pancaran ampas-ampas radiasi panas dari Matahari akan mencapai Bumi dan membuat seluruh air di Planet Biru mengalami penguapan.

Selain itu, atmosfer Bumi akan berubah dramatis. Karena, suhu panas ampas radiasi Matahari akan membakar seluruh oksigen yang ada di Bumi, dan hanya menyisakan nitrogen dan karbon dioksida, dua gas beracun bagi manusia.

Kedua efek ini, dan juga panas yang terik, akan membuat Bumi tak dapat disinggahi makhluk hidup. Singkat cerita, saat Matahari mati, kita mati.

3 dari 4 halaman

2. Pendinginan Inti Bumi

Kilauan dari Bumi yang terlihat dari angkasa luar (NASA/ MARSHAK ET AL 2017)

Inti cair yang sangat panas di Bumi sedang mendingin, dan jika mencapai suhu tertentu, pada akhirnya bisa menyebabkan kerusakan pada planet manusia.

Saat inti Bumi mulai mengalami pendinginan dan membeku, inti tersebut akan melepaskan energi panas ke daerah yang kaya logam di antara inti dan kerak yang disebut mantel.

Ketika panas berpindah ke atas dan dingin berpindah ke bawah mantel, kondisi ini mengubah medan magnet Bumi. Dan, jika terjadi dalam kondisi yang ekstrem, pendinginan dan pembekuan itu akan menghasilkan dampak yang besar.

Efek terbesarnya adalah melemahnya medan magnet Bumi. Jika pembekuan terus berlangsung, medan magnet tidak akan lagi diproduksi.

Padahal, medan magnet mampu melindungi Bumi dari terpaan benda-benda angkasa luar yang setiap saat datang menghampiri. Tak hanya itu, tanpa medan magnet, Bumi mampu terpapar gelombang radioaktif dan radiasi Matahari yang panas.

Menurut ilmuwan, proses seperti itu kecil kemungkinan terjadi dan berlangsung dalam proses yang cukup lama.

Akan tetapi bukan berarti pendinginan inti Bumi secara ekstrem itu dikesampingkan dari salah satu faktor yang mampu menimbulkan bencana besar bagi manusia.

 

4 dari 4 halaman

3. Menjauhnya Bulan

Lunar Roving Vehicle (LRV) digunakan NASA untuk mengekplorasi bulan.

Bulan, pendamping konstan Bumi selama miliaran tahun, secara bertahap bergerak menjauh 3,7 cm setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh gaya pasang-surut Bulan.

Gaya gravitasi Bumi dan gaya pasang-surut Bulan merupakan penyebab gesekan kedua objek tersebut serta membuatnya secara konsisten dekat satu-sama lain.

Akan tetapi, saat ini, ilmuwan melaporkan bahwa kecepatan rotasi Bulan mengalami pelambatan. Akibatnya, sang pendamping Bumi kehilangan energi dan melambat.

Pelambatan itu berdampak pada berkurangnya gaya friksi Bumi - Bulan sehingga membuat sang satelit alamiah planet yang dihuni manusia itu menjauh.

Hal ini mampu memberikan dampak besar. Efek terbesar adalah perubahan durasi waktu dalam satu hari di Bumi.

Diperkirakan, jika Bulan terus menjauh dari Bumi, maka manusia akan mengalami 25 hingga 26 jam per-hari. Dan, menurut ilmuwan, hal itu tidak berdampak baik untuk lingkungan.

Melambatnya kecepatan putaran Bumi akibat melemahnya gaya friksi dengan Bulan yang menjauh, akan mempengaruhi musim di Planet Biru. Perubahan musim itu akan berlangsung tak dapat diprediksi, inkonsisten, dan ekstrem, sehingga membuat banyak hewan dan tumbuhan tidak dapat beradaptasi dengan cukup cepat.

 

 

 

Video Terkini