Liputan6.com, Jakarta - Lihatlah sejarah peperangan, dan beberapa di antaranya akan ditemukan kaitan erat dengan motif peredaran narkoba.
Bahkan, pertumpahan darah dari kedua belah pihak yang berkonflik dalam sebuah pertempuran, terkadang memperebutkan klaim atas obat-obatan terlarang.
Bahkan menurut sejumlah laporan, barang haram itu, digunakan sebagai sumber pendanaan bagi kelompok teroris.
Advertisement
Baca Juga
Namun, sebagian besar perang justru memanfaatkan narkotika untuk menggapai kemenangan dalam sebuah konflik bersenjata. Para prajurit tempur dilaporkan dicekoki narkoba yang memiliki fungsi untuk meningkatkan kinerja, agresi, dan memberikan keberanian yang tidak wajar.
Berikut, 4 fakta korelasi tentang narkotika dalam perang, seperti yang dirangkum oleh Liputan6.com, seperti yang dikutip dari Thelistverse.com, Rabu, (24/5/2017).
1. Perang Opium Inggris vs China
Pada 1781, British East India Company (EIC, kongsi dagang Britania Raya) memulai perdagangan opium ilegal dengan China. Dalam sebuah langkah licik, EIC melakukan upaya penyelundupan gelap opium kepada distributor di China melalui 'jalur tikus' yang tidak diketahui otoritas Tiongkok.
Tindakan itu dilakukan agar EIC tidak perlu membayar cukai kepada otoritas China. Pihak berwenang Tiongkok tidak senang akan hal itu, namun tidak memiliki keberanian untuk melakukan perlawanan, karena takut merusak relasi dengan Britania Raya.
Hampir 50 tahun kemudian, pada 1838, sejumlah penyelundup EIC menjagal pedagang China di daratan akibat seteru distribusi opium. Geram, pihak China yang mengabaikan segala perjanjian kemaritiman dengan Inggris, menaiki kapal-kapal EIC dan menyita properti mereka.
Inggris yang merasa ditantang, mengirim Angkata Lautnya untuk membantu EIC. Kejadian itu jadi penanda Perang Opium Pertama (1839-1842) dan Kedua (1856-1860).
Teknologi kapal angkatan laut Inggris yang superior berhasil menumpas teknologi semi-tradisional China. Kalah, China akhirnya melepaskan kontrol atas pelabuhan perdagangannya.
Pasca perang, perdagangan opium Inggris terus berlanjut tanpa harus lagi membayar pajak kepada China. Tak hanya itu, Britania Raya juga berhasil melakukan aneksasi terhadap pulau Hong Kong sebagai bagian dari Perjanjian Nanking pada 1842.
Advertisement
2. Prajurit Candu Amfetamin, Perang Dunia II
Menurut beberapa laporan, sejumlah pasukan pada Perang Dunia II sering mengonsumsi amfetamin. Zat itu berfungsi untuk meningkatkan fokus, stamina, serta menekan rasa lapar.
Pasukan AS dan Inggris memasok Benzedrine berbasis amfetamin ke dalam peralatan ransum prajuritnya. Sementara itu, Wehrmacht dan Luftwaffe Nazi Jerman diberi pasokan Pervitin (crystal meth dalam botol) untuk memicu adrenalin dan memancing rasa berani para prajurit.
Sedangkan Jepang, melalui perusahaan farmasi Dainippon Sumitomo, memproduksi satu ton crystal meth dengan label Philopon. Zat itu mampu memberikan efek berani, adrenalin tinggi, dan tahan rasa sakit bagi para prajurit Jepang yang mengonsumsinya, khususnya bagi para pilot yang hendak melakukan serangan Kamikaze.
Dampak ekstra dari prajurit PD II yang mengonsumsi amfetamin adalah kekuatan ekstra para personel untuk melaksanakan pertempuran berdurasi panjang. Namun, efek samping penggunaan amfetamin bagi prajurit cukup serius, yakni mengakibatkan kecanduan, kebodohan, dan peningkatan agresi yang bertendensi psikosis.
3. Ladang Opium Afghanistan
Pada 1980-an, Afghanistan merupakan produsen narkotika dan psikotropika terbesar dunia. Bahkan, negara itu menjadi fokus besar bagi Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Sejumlah pakar politik bahkan menyebut bahwa kuantitas opium yang melimpah merupakan salah satu alasan yang menyebabkan Uni Soviet menginvasi Afghanistan pada 1979. Tak mau kalah, AS mendanai para mujahidin (gerilyawan Afghanistan) untuk menghalau pengaruh Uni Soviet dari Afghanistan.
Para tentara Soviet terkadang menukarkan sejumlah senjata yang mereka punya dengan opium milik warga lokal. Sejak itu, tentara pecandu narkoba menjadi masalah besar bagi Uni Soviet.
Pada 1984, polisi militer Soviet mendirikan penghalang jalan di Kabul khusus untuk mencegat distribusi opium dari Afghanistan ke Negeri Tirai Besi. Pendistribusian itu dilakukan oleh militer Uni Soviet sendiri.
Ketika Soviet menarik diri dari Afghanistan pada tahun 1989, perang sipil berkecamuk, dan mujahidin berubah menjadi Taliban, musuh baru AS. Taliban memotong produksi opium hingga 95 persen, namun invasi AS pada tahun 2001 mengembalikan peredaran opium dari Afghanistan hingga kembali ke ambang tinggi.
Advertisement
4. ISIS dan Narkoba
Menurut sejumlah laporan, organisasi teror itu menggunakan narkotika untuk meningkatkan stamina saat melakukan pertempuran. Biasanya, para militan ISIS menggunakan captagon dan amfetamin. Selain itu, sejumlah media juga melaporkan bahw ISIS melakukan pengendalian distribusi narkotika dari wilayah yang dikendalikannya.
Namun, menurut Dr. Vanda Felbab-Brown, seorang pakar organisasi kriminal dan kejahatan terorganisir, sejumlah laporan yang menunjukkan ISIS mengendalikan peredaran narkotika merupakan berita propaganda yang diproduksi oleh Rusia.
Informasi propaganda tersebut diduga datang secara eksklusif dari Federal Drug Control Service (FSKN), sebuah organisasi yang digambarkan sebagai "DEA Rusia" yang dibubarkan oleh Presiden Vladimir Putin pada bulan April 2016.
Adakah hubungan antara ISIS dan perdagangan narkoba? Sejauh ini, sumber pendanaan utama mereka dilaporkan diperoleh melalui perpajakan dan penyitaan. Sebuah laporan 2016 oleh IHS, Inc. menunjukkan bahwa dua aspek itu menyumbang puluhan juta miliar dollar untuk biaya operasional ISIS.
Sementara itu, menurut IHS, Inc., aspek peredaran narkotika hanya menyumbang 7 persen dari total pemasukkan ISIS. Jadi, meski tidak ada bukti langsung untuk mengindikasikan perdagangan narkoba sebagai sumber utama pendapatan ISIS, namun hal itu patut dicurigai.