Sukses

Temui Presiden Rusia, Duterte Mengaku Butuh Senjata Modern

Dalam lawatannya ke Rusia, Duterte mengungkapkan ketertarikannya untuk membeli persenjataan canggih.

Liputan6.com, Moskow - Filipina menginginkan senjata modern buatan Rusia untuk memerangi teroris yang berafiliasi dengan ISIS. Demikian pernyataan Presiden Rodrigo Duterte kepada Presiden Vladimir Putin.

Duterte memang melawat ke Negeri Beruang Merah. Ia dijadwalkan bertemu dengan Putin pada Kamis, namun terpaksa dimajukan menjadi Selasa malam menyusul baku tembak antara tentara dan kelompok bersenjata di kota Marawi.

Pascaperistiwa tersebut, Duterte langsung mengumumkan darurat militer di Mindanao.

"Saya datang (ke Moskow) untuk mendapat dukungan Anda, menguatkan persahabatan kita," ujar Presiden Putin seperti Liputan6.com kutip dari Russian Today, Rabu (25/5/2017).

Duterte pun mengungkapkan kekecewaannya karena ia harus meninggalkan Rusia lebih awal mengingat situasi darurat di negaranya.

Namun dalam kunjungan singkatnya, Duterte menegaskan, Manila siap mengembangkan hubungan dengan Moskow. Ia bahkan berharap dapat membeli senjata dari Rusia untuk memerangi teroris di negaranya.

"Tentu saja, negara kami butuh persenjataan modern. Kami sudah memesan ke AS, tapi saat ini situasi tidak begitu baik dan untuk berperang dengan ISIS, dengan unit dan faksi mereka, kami membutuhkan senjata modern," tegas pria yang akrab disapa Digong tersebut.

Sebelum mendarat di Moskow pada Senin waktu setempat, Duterte telah lebih dulu memberi isyarat akan ketertarikannya untuk membeli senjata ringan, helikopter, dan jet buatan Rusia. Itu dilakukannya tidak sekadar demi memerangi terorisme, namun juga narkoba.

"Tentu saja, kerja sama di bidang teknis militer dimungkinkan," ungkap Putin seraya menambahkan bahwa kedua negara telah memiliki kerja sama di sejumlah bidang seperti energi dan transportasi.

Pada kesempatan yang sama, Putin juga menyampaikan belasungkawa atas jatuhnya korban jiwa dalam kontak senjata di Marawi. Setidaknya, dua tentara dan satu polisi tewas dalam peristiwa itu.

"Saya ingin menyampaikan belasungkawa sehubungan dengan korban tewas di negara Anda akibat serangan teroris," kata Putin sebelum akhirnya menambahkan bahwa ia sepenuhnya memahami mengapa Duterte diharuskan pulang lebih awal.

"Semoga konflik segera terselesaikan dengan kerugian seminimal mungkin," imbuhnya.

Putin juga menerangkan bahwa dua menteri Filipina masih akan tetap tinggal di Moskow untuk menandatangani dua dokumen kerja sama.

Pulang lebih awal dari jadwal yang ditentukan membuat Duterte juga harus membatalkan pertemuannya dengan Perdana Menteri Dmitry Medvedev.

Juru Bicara Kepresidenan Ernesto Abella memastikan, situasi di Marawi kini telah terkendali.

"Pemerintah mengendalikan penuh situasi dan sepenuhnya menyadari bahwa kelompok Maute/ISIS dan kelompok serupa memiliki kemampuan, meski terbatas, untuk menganggu perdamaian," jelas Abella.

Sementara itu, Menteri Pertahanan Delfin Lorenzana mengatakan, tentara tambahan tiba di Marawi pada Rabu pagi untuk mengusir kelompok bersenjata dari kota itu. Ia menekankan pula, situasi di Marawi terkendali.

Di pesawat yang membawanya kembali ke Filipina, Duterte mengatakan bahwa darurat militer akan diberlakukan dengan "keras" dan tidak akan berbeda dengan peraturan serupa yang pernah diterapkan oleh Ferdinand Marcos.

"Darurat militer adalah darurat militer...Anda (wartawan) telah merasakan darurat militer, itu tidak akan berbeda dengan yang diterapkan oleh Presiden Marcos, saya akan bersikap keras," tutur sosok kontroversial tersebut.

Orang nomor satu di Filipina tersebut pun menyatakan status darurat militer yang berlangsung selama 60 hari bukan tidak mungkin akan diperpanjang.

"Jika satu tahun, maka akan kita terapkan. Jika selesai dalam waktu satu bulan, saya akan lebih senang," imbuhnya.