Sukses

Pengakuan Perempuan yang Tiga Kali Kabur dari Korea Utara

Seorang perempuan yang berhasil melarikan diri dari Korea Utara berbagi kisah tentang perjuangan dirinya dan keluarganya.

Liputan6.com, Oslo - Tidak hanya sekali, namun sudah tiga kali seorang perempuan lihai melarikan diri dari Korea Utara.

"Saya pandai melarikan diri," kata Grace Jo, seorang perempuan berusia 25 tahun yang melarikan diri dari Korea Utara.

Pertama kali meninggalkan Korea Utara, saat itu usia Jo sekitar tujuh tahun.

"Kami berjalan kaki tiga malam dan empat hari," kenang Jo seperti dikutip dari Asia One, Minggu (28/5/2017).

"Kami berjalan di jalanan tak beraspal, dan melintasi banyak gunung sampai kami tiba di Sungai Tumen," ujar Jo merujuk pada sungai yang memisahkan Korea Utara dengan China.

Saat itu, Jo melakukan perjalanan hanya bersama ibu dan adik perempuannya, Jinhye. Sang adik berusia 10 tahun kala itu.

Beberapa bulan sebelumnya, ayahnya telah ditangkap dan dipukuli oleh pihak berwenang karena telah menyeberangi perbatasan untuk membeli sekantong beras. Ia meninggal di kereta yang membawanya ke penjara.

Sementara itu, nenek dan dua adik laki-lakinya meninggal karena kelaparan. Dan kakak perempuannya yang pergi mencari makanan tidak pernah kembali.

Paruh kedua tahun 1990-an, Korea Utara mengalami kelaparan yang menewaskan ratusan ribu orang.

"Dalam waktu singkat, hampir semua anggota keluarga saya meninggal atau hilang," kata Jo di sela Oslo Freedom Forum, yakni sebuah pertemuan tahunan para aktivis hak asasi manusia yang diadakan di ibu kota Norwegia.

Makan Bayi Tikus untuk Bertahan Hidup

Tinggal di Hamgyong Utara, keluarga Jo berusaha bertahan hidup dengan buah-buahan liar, jangkrik, dan kulit pohon. Suatu kali, Jo dan adiknya tidak punya makanan selama 10 hari.

"Suatu hari, nenekku menemukan enam tikus yang baru lahir di bawah beberapa batu," kenang Jo.

"Bersama ibu saya, mereka merebus enam tikus kecil ini..."

Saat itu umurnya lima setengah tahun. Ia mengaku bahwa rambutnya yang hitam menjadi kuning karena malnutrisi.

Namun, menyeberangi perbatasan Korut tak mengakhiri masalah mereka. Di China, sekutu utama Pyongyang, tiga anggota keluarganya yang berhasil kabur terpaksa bersembunyi di bawah tanah karena takut dikirim kembali ke Korea Utara.

Tapi pada akhirnya mereka ditangkap dan dipenjara, serta dikirim kembali ke rumah.

Mereka berhasil melarikan lagi setelah ibu Jo menyogok penjaga perbatasan. Namun sekali lagi, mereka tertangkap dan dikirim kembali ke Korut.

Pada tahun 2006, untuk yang ketiga kalinya Jo berhasil lolos. Saat itu seorang pendeta Amerika-Korea membayar US$ 10.000 kepada anggota polisi rahasia Korea Utara, Bowibu, untuk menjamin kebebasan Jo, ibunya, dan adik perempuannya.

Setelah menerima status pengungsi PBB, mereka pindah ke Amerika Serikat pada tahun 2008.

Pesan untuk Trump

Saat ini Jo adalah wakil presiden NKinUSA, sebuah organisasi yang didirikan oleh adiknya untuk membantu pembelot lainnya.

"Kami ingin Presiden Trump menerima lebih banyak pengungsi Korea Utara di AS dan mengizinkan kami menyediakan layanan pemukiman kembali," ujar Jo.

"Juga, Presiden Trump, tolong beri tahu China, Vietnam dan Laos untuk menghentikan repatriasi para pengungsi. Mengirimnya kembali ke Korea Utara akan mengembalikan mereka ke penyiksaan, pemenjaraan, atau bahkan kematian," tambah Jo.

Sejak berakhirnya Perang Korea pada tahun 1953, lebih dari 30.000 warga Korea Utara telah meninggalkan negara mereka, kebanyakan setelah kelaparan melanda pada 1990-an. Menurut PBB, hampir 10,5 juta orang atau 41 persen dari populasi masih kekurangan gizi.