Liputan6.com, Washington, DC - Menjelang lengser dari kursi kepresidenan beberapa waktu lalu, Presiden Barack Obama sempat membuat hubungan AS dan Rusia tegang. Kala itu, Obama mengusir 35 diplomat Rusia karena mereka diduga terlibat dalam peretasan Partai Demokrat yang tengah dalam masa kampanye pemilihan presiden AS.
Selain mengusir 35 diplomat, Obama juga menutup dua fasilitas mewah milik Rusia di New York dan Maryland.
Namun, setelah Donald Trump terpilih jadi presiden AS, Pemerintah AS justru mengembalikan kedua fasilitas itu kepada Rusia. Meski demikian, ada syaratnya.
Advertisement
Dikutip dari The Washington Post, pada Jumat (2/6/2017), awal bulan lalu pemerintah Trump mengatakan kepada Rusia bahwa mereka akan mempertimbangkan untuk mengembalikan properti kepada mereka jika Moskow mencabut pembekuan--yang diberlakukan pada tahun 2014--pembangunan gedung konsulat AS di St. Petersburg.
Langkah itu diambil Kremlin sebagai balasan karena AS menjatuhkan sanksi kepada Rusia terkait dengan Ukraina.
Baca Juga
Dua hari kemudian, posisi AS berubah. Menteri Luar Negeri Rex Tillerson mengatakan kepada Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dan Duta Besar Rusia Sergey Kislyak pada sebuah pertemuan di Washington bahwa Amerika Serikat telah membatalkan syarat itu.
Di Moskow pada Rabu, 31 Mei 2017, ajudan Kremlin, Yury Ushakov mengatakan bahwa Rusia "mempertimbangkan situasi politik internal yang sulit untuk pemerintahan AS saat ini". Namun, tetap memiliki opsi untuk membalas apa yang sebut "pengambilalihan" properti Rusia "jika langkah-langkah itu tidak disesuaikan dengan pihak AS", demikian dimuat media Negeri Beruang Merah, Sputnik.
Penasihat Senior Tillerson, R.C. Hammond mengatakan bahwa "AS dan Rusia tidak mencapai kesepakatan apa pun". Dia mengatakan bahwa pertemuan tingkat tinggi berikutnya antara kedua pemerintah, di bawah sekretaris tingkat negara bagian, akan digelar pada Juni di St. Petersburg untuk membahas pengembalian aset itu.
Sebelum membuat keputusan akhir untuk mengizinkan Rusia mendapatkan kembali fasilitas itu, Pemerintah AS memberikan kemungkinan pembatasan aktivitas Rusia di sana. Hal itu termasuk menghapus kekebalan diplomatik yang sebelumnya diperoleh.
Tanpa kekebalan, fasilitas tersebut akan diperlakukan layaknya bangunan lainnya di Amerika Serikat seperti mengizinkan masuk pihak keamanan AS.
Perubahan dalam sikap Pemerintah AS terhadap fasilitas tersebut muncul saat media Rusia baru-baru ini menyarankan agar Duta Besar Rusia Sergey Kislyak, yang akan meninggalkan Washington setelah menjabat sebagai duta besar sejak 2008, diusulkan oleh Kremlin untuk memimpin sebuah posisi baru, yakni sebagai sekretaris umum di PBB untuk urusan kontra-terorisme.
Sementara AS mengharapkan posisi yang sama dipegang oleh Jeffrey Feltman, senior diplomat Amerika yang terkenal.
Namun, sejauh ini Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres yang akan memutuskan siapa yang menjabat di pos itu. Meskipun AS dan Rusia berharap.
Kislyak adalah sosok kontroversial selama pilpres AS. Ia bertemu dan berbicara dengan mantan penasihat keamanan nasional Presiden Trump, Michael Flynn selama kampanye pilpres dan masa transisi. Ia juga diduga bertemu dengan Jared Kushner dan Jaksa Agung Jeff Session pada waktu yang sama.
Adapun duta besar Rusia yang baru, rencananya akan digantikan oleh Anatoly Antonov yang kini menjabat sebagai wakil menlu. Namun, secara resmi Presiden Vladimir Putin akan mengumumkan namanya kepada Trump saat keduanya bertemu pada pertemuan G-20 di Hamburg yang rencananya digelar Juli mendatang.
Agenda itu akan menjadi pertemuan pertama Trump dengan Putin sebagai presiden.