Sukses

Parlemen Jerman Resmikan UU Pelarangan Pernikahan Anak

Kebijakan itu ditujukan secara khusus kepada pernikahan-pernikahan yang dilakukan di luar Jerman.

Liputan6.com, Berlin - Kamis lalu, parlemen Jerman baru saja meloloskan undang-undang (UU) yang mengakhiri praktik pernikahan anak dan secara resmi menaikkan batas usia pernikahan.

UU yang baru secara resmi menyebutkan 18 tahun sebagai usia minimum untuk pernikahan. Sebelumnya, warga berusia 16 tahun diperbolehkan menikah dengan pasangan dewasa dalam beberapa kasus asalkan dengan izin pengadilan.

Peraturan baru itu juga membatalkan pernikahan-pernikahan yang telah terjadi jika setidaknya salah satu pasangan masih berusia di bawah 16 tahun saat pernikahan dilaksanakan.

Kebijakan demikian ditujukan secara khusus kepada pernikahan-pernikahan yang dilakukan di luar Jerman. Selain itu, seperti dikutip dari The Local, Jumat (2/6/2017), pengadilan Jerman juga akan membatalkan pernikahan-pernikahan jika ada salah satu pasangan yang masih berusia 16 atau 17 tahun.

UU itu memperbolehkan perkecualian hanya dalam kasus-kasus "kesengsaraan", dan salah satu pasangan yang dulunya masih di bawah usia 18 itu sekarang sudah mencapai kedewasaan dan menegaskan bahwa mereka masih ingin tetap menikah.

Sementara itu, partai oposisi Die Linke (Partai Kiri) dan Partai Hijau mengatakan bahwa UU baru itu bersifat terlalu umum dan dengan demikian mereka memutuskan untuk menolaknya.

Namun, organisasi hak-hak wanita Terre Des Femmes (TDF), menyambut peraturan baru itu yang disebutnya telah menerapkan aturan yang jelas.

Christa Stolle, manajer eksekutif TDF, mengatakan, "Remaja-remaja putri yang menikah ketika sedang berada di bawah usia tersebut dalam banyak kasus bergantung kepada para suami mereka dan tidak dapat membuat keputusan-keputusan bagi dirinya dan tentang hidupnya."

2 dari 2 halaman

Rentan dalam Pengungsian

Seorang anak tertidur dalam gendongan saat berada di sebuah tempat penampungan sementara di Jibrin di pinggiran timur Aleppo, Jumat (21/4). Pengungsi adalah warga dari kota Fuaa dan Kafraya. (AFP PHOTO / George OURFALIAN)

Dengan kehadiran angka rekor 1 juta pengungsi ke Jerman dalam dua tahun belakangan, bertambahlah kekhawatiran tentang pernikahan anak-anak di antara laporan adanya ratusan anak-anak yang tiba sebagai pengungsi di Jerman dan telah menikah dengan pasangan dewasa.

SOS Children's Villages, suatu lembaga nirlaba (NGO) internasional, pada Mei lalu telah memperingatkan adanya lebih banyak lagi pengungsi anak-anak yang dipaksa menikah.

Kelompok itu mengatakan telah ada peningkatan hal itu khususnya di antara remaja-remaja perempuan dari Suriah yang tercabik-cabik perang.

Salah satu alasannya adalah karena keluarga-keluarga ingin mengamankan putri-putri mereka secara finansial dan jasmani. Namun akibatnya malah bisa menjadi malapetaka.

Remaja-remaja perempuan sering kali berhenti bersekolah dan terasing secara sosial, bahkan sering kali menjadi korban penyesahan domestik dan seksual oleh para suami yang jauh lebih tua, demikian menurut lembaga tersebut.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa para pengantin anak jauh lebih rentan kepada kematian karena komplikasi kehamilan maupun saat melahirkan anak.