Sukses

Pasca-Teror London, PM Inggris Serukan Kontrol Ketat Internet

PM Inggris Theresa May menyerukan kerja sama pengaturan dunia maya untuk mencegah penyebaran perencanaan ekstremis dan terorisme.

Liputan6.com, London - Perdana Menteri Inggris Theresa May meminta adanya kontrol ketat pada dunia maya sebagai respons teror London yang terjadi pada 3 Juni 2017 malam waktu setempat.

"Kami tak mengizinkan adanya tempat aman untuk berkembang bagi ideologi ini," ujar May menanggapi keterkaitan internet dengan teror London.

"Kita perlu bekerja sama dengan pemerintah demokratis untuk mencapai kesepakatan internasional yang mengatur dunia maya dalam mencegah penyebaran perencanaan ekstremis dan terorisme. Dan kita perlu melakukan semua yang kita bisa lakukan di rumah untuk mengurangi risiko ekstremisme secara online," kata May.

May mengatakan, perusahaan internet menyediakan ideologi ekstremis tempat aman untuk berkembang. Google (GOOGL, Tech30), Apple (AAPL, Tech30), Facebook (FB, Tech30), Microsoft (MSFT, Tech30), dan banyak layanan lain telah membuat saluran terenkripsi yang dapat melindungi komunikasi dari penegak hukum.

Enkripsi adalah metode yang digunakan dalam meng-kodekan data sehingga keamanan informasinya terjaga dan tidak dapat dibaca tanpa di-dekripsi.

Dikutip dari CNN, Senin (5/6/2017), pada November 2016, May telah mencetak kemenangan besar dalam melawan perusahaan internet dengan berlakunya undang-undang yang ia sebut 'The Investigatory Powers Bill'.

Undang-undang tersebut memberi penegak hukum kekuasaan untuk masuk ke percakapan telepon dan melihat rekaman penjelajahan website. Hal tersebut memaksa penyedia layanan internet menyimpan data selama 12 bulan, dan memberikan dukungan hukum terhadap pengumpulan data aktivitas internet secara massal.

May dan partainya telah mendorong adanya backdoor -- akses khusus untuk dapat masuk ke dalam sistem -- untuk mengenkripsi aplikasi layanan pengirim pesan yang mengharuskan perusahaan mengizinkan pemerintah mengintip komunikasi pribadi.

Pada 22 Maret 2017, teror terjadi di Inggris. Seorang pria menabrakkan mobil ke arah pejalan kaki di Jembatan Westminster, London dan menewaskan 4 orang. Setelah itu, ia menabrak pagar Gedung Parlemen dan menikam seorang polisi. (AP Photo/Matt Dunham)

Pemerintahnya menyerukan hal tersebut setelah terjadi serangan teror London pada Maret lalu di dekat Gedung Parlemen, di mana pelaku menggunakan aplikasi WhatsApp beberapa menit sebelum menikam seorang perwira polisi hingga tewas.

Selain Inggris, Amerika Serikat juga telah meminta backdoor serupa. Mantan direktur FBI James Comey pada tahun lalu melobi Kongres untuk mengeluarkan undang-undang yang mengharuskan perusahaan internet membiarkan penegak hukum AS memata-matai komunikasi terenkripsi.

Pengajuan Comey dilakukan setelah setelah FBI mengalami kesulitan masuk ke iPhone yang digunakan oleh penembak dalam sebuah serangan di California.

Sementara itu ada beberapa negara lain yang mengambil tindakan lebih ekstrem untuk terhadap teknologi enkripsi. Salah satunya adalah Brasil, di mana pemerintahnya telah berulang kali melarang penggunaan WhatsApp.

Sementara itu China secara efektif melarang perusahaan internet menyediakan layanan enkripsi. Sedangkan Pemerintah India mengusulkan agar perusahaan internet membagikan komunikasi pribadi dengan penegak hukum.

Menanggapi seruan FBI atas akses backdoor, Apple menyebut tentang masalah privasi. Secara teknis, backdoor yang bisa digunakan pemerintah dapat dimanfaatkan peretas, pemerintah asing, atau tindakan seseorang yang merugikan.

Meski demikian, Facebook telah melipatgandakan enkripsi di aplikasi WhatsApp, bahkan setelah pemerintah berusaha keras melawannya. Baru-baru ini Facebook membuat enkripsi end-to-end pada WhatsApp, di mana hanya pengirim dan penerima yang bisa melihat pesan yang telah dikirim.

Sementara itu Microsoft, Google, Twitter dan banyak perusahaan internet lainnya bergabung untuk membuat enkripsi yang kuat.