Sukses

Kala Teh Jadi Pembangkit Semangat Tempur Saat Perang Dunia II

Perang menimbulkan kekacauan dan trauma bagi para tentara. Dibutuhkan makanan untuk menenangkan, maka dipilih teh sebagai jalan keluarnya.

Liputan6.com, London - Perang Dunia II merupakan konflik global yang berlangsung selama enam tahun, dari 1939 hingga 1945. Konflik tersebut berdampak pada sebagian besar bangsa di dunia.

Perang tersebut adalah yang paling luas sepanjang sejarah, melibatkan lebih dari 100 juta orang dari setidaknya 30 negara, mengubah arah politik, dan menata ulang struktur sosial dunia untuk selamanya.

Hampir 60 juta orang kehilangan nyawa dan 40 juta orang di antara korban itu justru rakyat sipil. Seperti yang dikutip dari The Vintage News pada Selasa (6/6/2017), warga sipil dibidik secara sistematis agar menghancurkan semangat tentara lawan.

Para prajurit telah menyaksikan langsung begitu banyak kematian, lebih daripada yang selayaknya. Dengan demikian, mereka harus ditarik dari medan tempur karena trauma parah secara psikologis dan keruntuhan jiwa.

Dalam masa-masa kacau seperti itu diperlukan penyemangat. Karena itu, pada 1942, pemerintah Inggris mengambil suatu keputusan untuk memborong semua teh hitam yang ada di pasar Eropa demi membantu prajurit Kerajaan.

Kondisi seperti itu membutuhkan penanganan yang tak hanya sekadar mengganjal perut, tapi juga mampu menenangkan para tentara. Dan teh dipilih karena mudah dibuat serta sehat, sekaligus mengingatkan para prajurit muda tentang kampung halaman.

Perdana Menteri Stanley Bruce dari Australia sedang berbagi saat minum teh bersama tentara Australia dari 2nd AIF Division di London, 1940. (Sumber State Library of Victoria)

Memang terdengar seperti cerita konyol kelompok komedi Monty Phyton yang terkenal di Inggris, tapi ada alasan logis dan pragmatis di belakang keputusan itu. Pada masa perang, pasokan air dibawa ke garis depan biasanya dalam gentong-gentong bekas BBM. Sehingga, minum teh membantu menyamarkan rasa BBM yang membekas.

Dengan minum teh, para prajurit juga mendapatkan asupan cairan, disegarkan, dan mendapat manfaat kafein dalam teh hitam. Selain itu, saat minum teh juga menjadi waktu untuk menjadi dekat sehingga menambah semangat dan keberanian.

Minum teh merupakan tradisi lama dalam Angkatan Darat Inggris. Bahkan ada laporan-laporan tentang pembagian teh secara meluas di antara para prajurit di pagi hari saat Perang Waterloo 1815. Jadi, ketika pemerintah Inggris memborong semua teh di pasaran pada 1942, kebiasaan itu menjadi resmi.

2 dari 2 halaman

Kompor Darurat di Medan Tempur

Para awak tank Churcill AVRE yang diperlengkapi dengan jembatan Small Box Girder sedang menikmati teh dekat Venlo, 30 November 1944. (Sumber Imperial War Museum)

Para prajurit memutar akal untuk membuat kompor minyak sederhana, dikenal sebagai kompor Benghazi. Begitulah caranya pasukan Inggris dan sekutu mereka dari Persemakmuran menghadapi panas Afrika Utara dalam Perang Dunia II.

Kompor Benghazi terbuat dari kaleng bekas minyak kosong berukuran 18 liter atau kaleng biskuit. Sisi atasnya diberi beberapa lubang agar oksigen bebas masuk. Setengah bagian bawah diisi dengan pasir.

Ketika sudah siap, bensin dimasukkan ke dalam pasir, lalu diaduk dan disulut. Kaleng kedua yang berukuran sama kemudian ditempatkan di atasnya sebagai sarana memasak.

Kompor darurat itu menjadi andalan karena kompor bertekanan di dalam kendaraan lapis baja biasanya tersumbat karena pasir gurun.

Kompor Benghazi juga cepat dibuat dan senyap. Apalagi kaleng kosong, pasir, dan bensin ada di sekitar para prajurit. Di sisi lain, pasir yang panas seringkali meletup ketika disulut atau membakar bensin terlalu cepat.

Peran penting kompor Benghazi selama perang di gurun dan pemanfaatan teh selama perang tidak bisa dianggap remeh. Dalam beberapa kejadian, suatu batalion bisa menggunakan hingga sekitar 450 liter bensin per hari hanya untuk membuat teh.

Seorang tentara bahkan menyebutkan bahwa semangat tempur bersatu dengan "pasokan ramuan" dan bahwa "teh seakan menjadi obat bagi kami."