Sukses

Alam Semesta Sejatinya adalah Hologram Raksasa?

Gagasan bahwa alam semesta adalah hologram raksasa kembali menjadi perbincangan setelah studi menemukan penyimpangan radiasi.

Liputan6.com, Southampton - Ide yang menyebut bahwa bahwa alam semesta kita adalah hologram raksasa bukan merupakan sesuatu yang baru.

Namun baru-baru ini, gagasan tersebut kembali menjadi perbincangan setelah sebuah studi yang dipublikasi pada awal tahun ini menemukan penyimpangan dalam radiasi alam semesta dapat diprediksi menggunakan prinsip holografik.

Prinsip holografik mengklaim bahwa gravitasi di alam semesta berasal dari senar tipis yang bergetar. Senar tersebut adalah hologram peristiwa yang terjadi dalam alam semesta yang datar.

Prinsip tersebut menunjukkan bahwa, seperti chip pada kartu kredit, ada permukaan dua dimensi yang berisi semua informasi yang dibutuhkan untuk menggambarkan obyek tiga dimensi -- dalam kasus ini adalah alam semesta kita.

Intinya, teori tersebut mengklaim bahwa data yang berisi deskripsi volume ruang -- seperti manusia dan planet -- dapat disembunyikan dalam alam semesta 'nyata' yang datar.

Dalam pengertian yang lebih besar, teori tersebut menunjukkan bahwa seluruh alam semesta dapat dilihat sebagai struktur dua dimensi yang diproyeksikan ke cakrawala kosmologis, atau dalam bahasa sederhananya merupakan sebuah proyeksi.

Pada dasarnya, prinsip holografik berarti dunia di sekitar kita adalah proyeksi yang kompleks. Dalam penjelasan melalui video, Life Noggin, menyebut bahwa penemuan itu merupakan hal penting untuk menemukan kenyataan yang sebenarnya.

Ilustrasi alam semesta adalah hologram raksasa (tuwien.ac.at)

Dikutip dari Daily Mail, Rabu (7/6/2017), ide bahwa alam semesta kita adalah 'hologram yang sangat kompleks' pertama kali dipopulerkan pada 1990-an oleh fisikawan teori Gerard t'Hooft dan Leonard Susskind.

Meski terdapat kemajuan untuk memahami alam semesta dalam satu abad terakhir, termasuk terobosan terbaru yang mendukung Standard Model dan Teori Relativitas Einstein, masih ada kesenjangan dalam pemahaman soal alam semesta.

"Masalah besar fisikawan adalah mencoba memecahkan bagaimana menyatukan mekanika kuantum, yang berkaitan dengan sangat kecil," jelas video tersebut.

"Dan gravitasi, yang perannya sangat besar. Dan beberapa orang berpikir bahwa prinsip holograf membantu memecahkan masalah tersebut."

"Pada dasarnya, prinsip ini mengatakan seluruh informasi tentang volume ruang dapat dianggap sebagai pengkodean dalam batas dua dimensi," jelas dia.

Ini berarti bahwa alam semesta tiga dimensi (3D) adalah ekspresi informasi yang dikodekan dalam batas dua dimensi (2D), seperti hologram atau bahkan film 3D yang ada saat ini.

Meski kita dapat merasakan obyek yang memiliki tinggi, lebar, dan kedalaman, menurut teori tersebut semua hal itu adalah proyeksi dari permukaan dua dimensi.

Fenomena yang sama akan berlaku jika diterapkan dalam kasus alam semesta holografik.

Hingga saat ini ilmuwan belum dapat menentukan jumlah pasti galaksi yang terdapat di alam semesta (NASA)

Dalam studi terobosan yang diterbitkan dalam Januari lalu, peneliti menganalisis penyimpangan dalam Cosmic Microwave Background. CMB adalah radiasi yang tersisa dari Big Bang.

Pada studi tersebut, para peneliti dari University of Southampton bersama dengan rekan peneliti di Kanada dan Italia menemukan penyimpangan tersebut dapat dijelaskan dengan prinsip holografik.

"Saya berpikir bahwa kita hidup di dalam hologram, dan saya pikir bahwa kita bergerak maju dalam waktu, katakan 50 tahun dari sekarang, maka fisika akan terlihat sangat berbeda dengan fisika dari Abad ke-20," ujar Profesor Skenderis yang ahli dalam ilmu matematika di University of Southampton.

Sementara banyak pihak yang masih skeptis akan hal tersebut, penemuan itu dikatakan menjadi bukti pengamatan pertama dalam mendukung ide hologram.

Meski demikian, terlalu dini untuk mengatakan apakah hal tersebut yang benar-benar menggerakkan alam semesta.

"Saat ini tidak cukup untuk mengatakan bahwa prinsip holografik itu benar, tapi ini tentu langkah maju yang penting," ujar Life Noggin.

"Namun satu hal yang pasti, kita pasti butuh penelitian lagi."