Liputan6.com, Doha - Qatar tengah menjadi perbincangan hangat dalam sepekan ini. Pasalnya, sebanyak sembilan negara mengambil langkah pemutusan hubungan diplomatik dengan negara yang beribu kota di Doha itu.
Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Bahrain merupakan negara awal yang mengambil langkah tersebut. Pemutusan hubungan itu kemudian diikuti oleh Yaman, Libya, Maladewa, Mauritius, dan Mauritania.
Menurut sejumlah laporan, langkah tersebut diambil oleh sembilan negara karena keterkaitan Qatar dengan kelompok terorisme.
Advertisement
Sementara itu Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani, menyebut bahwa Qatar terisolasi karena menjadi negara yang sukses dan progresif.
Qatar adalah pemain penting di Timur Tengah. Negara itu menjadi pengekspor gas cair terbesar, rumah bagi pangkalan militer AS terbesar di kawasan, dan tempat diselenggarakannya Piala Dunia 2022.
Pemimpin Qatar adalah Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani. Ia memimpin negara itu melalui penyerahan kekuasaan yang damai pada 2013 lalu di usianya yang ke-33 tahun.
Tamim bin Hamad Al Thani merupakan putra dari mantan emir Qatar Hamad bin Khalifa Al Thani dan istri keduanya, Moza bint Nasser Al Missned.
Meski jarang terdengar, nama Moza bint Nasser Al Missned dikenal di dunia fashion dan pendidikan. Oleh sejumlah media, Moza disebut sebagai salah satu perempuan paling berpengaruh di Timur Tengah. Demikian seperti dikutip Washington Post, Jumat (9/6/2017),
Ia menikah dengan Hamad Al Thani pada 1977. Meski menikahi seorang emir Qatar, Moza tak melupakan pendidikannya dan hal itu ia buktikan dengan menerima gelar Bachelor of Arts dalam bidang Sosiologi dari Universitas Qatar pada 1986.
Ia juga mendapat sejumlah gelar Doktor Kehormatan, di antaranya dari Carneige Mellon University dan Virginia Commonwealth University.
Moza dianggap sebagai kekuatan yang memotivasi di balik upaya modernisasi dan kesetaraan, tidak hanya di Qatar namun juga Timur Tengah.
Pada 2007, Majalah Forbes menyebutnya sebagai perempuan ke-79 paling berpengaruh di dunia. Di tahun 2010, Moza kembali menyandang gelar yang sama dari Forbes dan posisinya naik ke urutan 74.
Oleh Forbes, Moza dideskripsikan sebagai wanita yang aktif dalam bidang perempuan, anak-anak, dan pendidikan. Dia secara aktif bekerja untuk melawan kekerasan dalam rumah tangga, memperbaiki hak-hak buruh anak-anak, dan memberi penyandang cacat lebih banyak akses terhadap pekerjaan.
Untuk menghentikan penyebaran ekstremisme di kalangan pemuda, ibu tujuh anak itu memimpin program di dan sekitar Qatar untuk memperbaiki pendidikan dan meningkatkan kesempatan kerja bagi kaum muda.
Kiprah Besar Moza dalam Pendidikan di Qatar
Selain pernah berperan dalam pemerintahan Qatar, ia juga merupakan ketua Qatar Foundation for Education, Science, and Community Development, yakni sebuah organisasi non-profit swasta yang didirikan pada tahun 1995 oleh suaminya, Sheikh Hamad bin Khalifa Al Thani.
Proyek andalan yayasan tersebut adalah Education City, mencakup lebih 14 juta meter persegi yang terdiri kampus cabang dari universitas dan institusi internasional ternama.
"Dia memiliki visi yang paling luar biasa," kata mantan Presiden Universitas Virginia, John T. Casteen III. "Dia pasti punya kualitas melihat masa depan."
Pada tahun 1998 hingga 1999, yayasan tersebut melakukan negosiasi dengan University of Virginia untuk mendirikan cabang di Doha dalam kedokteran, teknik, dan bidang lainnya. Namun kesepakatan itu tak terjadi setelah dewan Univeristy of Virginia memilih mundur.
Meski sempat gagal, Moza dengan cepat berdiskusi dengan universitas terkemuka lainnya. Ia adalah sosok di balik berdirinya sekolah kedokteran Cornell -- salah satu universitas Ivy League -- pada 2011 di Qatar.
Dikutip Washington Post, Jumat (9/6/2017), Moza mengatakan, perubahan budaya merupakan salah satu tujuan Kota Pendidikan.
"Kita punya kekayaan," kata dia. "Tidak menggunakan uang kita untuk menciptakan masyarakat berbasis pengetahuan akan menjadi pemborosan besar."
Banyak perempuan di Qatar menghormati Moza atas kiprahnya dalam memajukan pendidikan yang setara. di Education City, ia membuat perempuan dan laki-laki dapat belajar bersama -- kontras dengan kebiasaan pendidikan di beberapa negara Timur Tengah.
"Qatar adalah tempat yang sangat berbeda hanya dalam 20 tahun. Sebelumnya, dianggap hal yang tabu bagi seorang perempuan untuk pergi ke universitas 'campuran'," ujar Maram Al-Dafa yang lulus dengan gelar di bidang politik internasional.
"Sekarang, orang melihat perempuan Qatar sebagai pemimpin, bukan pengikut. Perempuan Qatar membuktikan diri mereka sendiri, dan masyarakat mulai berubah," imbuh dia.
Meski demikian, Moza mengaku bukan seorang feminis. "Education City dirancang untuk semua orang, laki-laki dan perempuan...Saya tak pernah melihat ini sebagai proyek perempuan."
"Kami tidak melakukannya demi hal-hal yang berbeda, atau menjadi modern. Pendidikan adalah landasan untuk pengembangan dan kemajuan kita," ujar Moza.
Advertisement