Sukses

Australia Beri Kompensasi untuk 1.905 Pengungsi Kamp Pulau Manus

Australia telah menyetujui untuk memberikan kompensasi kepada 1.905 pengungsi yang mereka tahan di Pulau Manus, Papua Nugini.

Liputan6.com, Canberra - Pemerintah Australia menyetujui kompensasi kepada 1.905 pengungsi yang ditahan di Pulau Manus, Papua Nugini.

Nilainya kompensasi tersebut sebesar 70 juta dolar Australia.

Hal itu berawal saat Australia mengambil langkah untuk mengalihkan semua pengungsi dan pencari suaka yang berusaha mencapai Negeri Kanguru dengan menggunakan kapal, dan mengirim mereka ke sejumlah kamp di Papua Nugini dan Nauru.

Dilansir dari CNN, warga negara Iran yang berusia 35 tahun, Majid Kamasaee, merupakan penggugat dalam kasus tersebut. Ia berada di kamp Manus selama 11 bulan, beberapa bulan setelah kabur dari tanah airnya.

Gugatan tersebut akan didengar di Mahkamah Agung Victoria pada 14 Juni. Namun sesaat sebelum persidangan dimulai, pengacara penggugat mengatakan bahwa pemerintah dan penyedia layanan menawarkan penyelesaian damai pada menit-menit terakhir. 

"Aku datang ke Australia untuk mencari kedamaian, namun aku dikirim ke Manus yang merupakan neraka," ujar Kamasaee usai pemerintah Australia mengumumkan akan memberikan kompensasi.

"Aku berada dalam kesakitan setiap menitnya, setiap hari. Aku menangis setiap malam hingga aku tak memiliki apa-apa."

Rincian lengkap penyelesaian dan kompensasi tersebut belum sepenuhnya disetujui oleh pengadilan.

Dikutip dari BBC, Rabu (14/6/2017), Australia telah mengatakan bahwa pihaknya berencana menutup kamp Pulau Manus, namun masih belum jelas kapan pelaksanaannya.

Selain itu tidak jelas apa yang akan terjadi pada penduduk kamp yang masih berada di sana. Namun Australia bersikeras tak ada lagi yang ditahan.

Pemerintah mengatakan, kebijakan pengalihan kedatangan kapal pencari suaka tersebut dimaksudkan untuk melemahkan upaya perdagangan manusia. Selain itu Australia juga ingin mencegah migran agar tidak melakukan perjalanan yang mengancam jiwa ke perairannya.

Namun kebijakan itu telah banyak dikritik, baik di dalam maupun di luar negeri, termasuk oleh PBB.

 

Saksikan juga video menarik berikut ini:

Â