Liputan6.com, Doha - Krisis Teluk yang melibatkan Qatar dan Arab Saudi Cs, turut menyeret pula nama Hamas. Muncul desakan dari Saudi Cs agar Qatar memutus hubungan dengan kelompok pejuang Palestina yang menguasai Jalur Gaza itu.Â
Ini cukup mengejutkan. Pasalnya, berbeda dengan Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa yang semuanya menunjuk Hamas sebagai organisasi teroris, negara-negara Arab justru tidak demikian.
Hal itulah yang berusaha diingatkan oleh Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani dalam wawancaranya dengan Russian Today.
Advertisement
"AS melihat Hamas sebagai organisasi teror. Tapi bagi seluruh negara-negara Arab, itu merupakan gerakan perlawanan yang sah. Kami tidak mendukung Hamas, kami mendukung rakyat Palestina," ungkap Sheikh Mohammed seperti dilansir CNN, Rabu (14/6/2017).
"Kehadiran Hamas di Doha dikoordinasikan dengan AS dan negara-negara di kawasan, dan ini merupakan bagian dari upaya kita untuk menengahi faksi Palestina demi mencapai rekonsiliasi," imbuhnya.
Baca Juga
Krisis Teluk sendiri dimulai pada awal bulan ini ketika Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Bahrain mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Qatar. Mereka menuding, Doha mendukung kelompok teroris dan ekstremis --salah satunya organisasi Ikhwanul Muslimin-- dan "nyaman" menjalin hubungan dengan Iran.
Langkah Arab Saudi Cs tersebut diikuti pula oleh Yaman, Libya, Maladewa, Mauritius, dan Mauritania.
Hamas diketahui memiliki catatan tersendiri soal hubungannya dengan Qatar. Pada Mei 2017, kelompok itu mengumumkan Piagam Hamas bukan dari Ramallah atau Jalur Gaza, melainkan Sheraton Hotel di Doha.
Keputusan tersebut tidak mengejutkan, mengingat Qatar merupakan tempat pengasingan bagi mantan pemimpin Hamas, Khaled Meshaal dan beberapa petinggi senior lainnya.
"Qatar cukup penting bagi Hamas. Qatar memberikan bantuan keuangan yang kuat ke wilayah Palestina yang diduduki dan merupakan tempat yang aman bagi sejumlah pemimpin Hamas," ungkap H.A. Hellyer dari think tank Atlantic Council kepada CNN.
Mengapa Arab Saudi Tak Suka Hamas
Bagi Hamas desakan agar Qatar memutus hubungan dengan mereka tidak masuk akal.
"Negara-negara Teluk mendesak Qatar untuk memutus hubungan dengan organisasi-organisasi perlawanan. Ini tidak dapat diterima dan kami menolak tekanan ini. Kami merupakan gerakan perlawanan dan seluruh dunia menjadi saksinya," terang Juru bicara Hamas Fawzi Barhoom kepada CNN.
Hamas sendiri baru saja mengumumkan pemimpin barunya. Peristiwa itu dilakukan bertepatan dengan peluncuran Piagam Hamas terbaru. Kini, organisasi itu dinakhodai oleh Ismail Haniya.
Israel menilai Piagam Hamas terbaru menunjukkan keberlanjutan dukungan kelompok itu terhadap perlawanan menggunakan kekerasan dan komitmen penolakan terhadap entitas zionis. Sementara bagi pengamat, deskripsi dokumen tersebut tentang sebuah negara Palestina yang sesuai perbatasan tahun 1967 menampilkan bukti moderasi baru Hamas.
H.A. Hellyer dari think tank Atlantic Council mengungkap dua alasan di balik keputusan Saudi Cs menargetkan Hamas.
"Pertama, Hamas memiliki hubungan dengan organisasi Ikhwanul Muslimin. Hal ini menempatkannya sebagai sasaran Abu Dhabi dan Riyadh," jelas Hellyer.
"Tapi saya rasa ini lebih berkaitan dengan Barat. Penguasa Saudi memanfaatkan pengakuan Trump terhadap mereka sebagai aktor berpengaruh di kawasan dan mungkin itu faktor pendorongnya," imbuhnya.
Pengaruh Qatar di kawasan dinilai meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Itu dimungkinkan melalui kehadiran media Al Jazeera yang berbasis di Doha, dukungan negara itu terhadap sejumlah kelompok Islam --Ikhwanul Muslimin dan Hamas pada satu spektrum atau Al Qaeda di sisi lainnya-- selain faktor ekonomi tentunya.
Pada akhir 2010 hingga 2011, pengaruh Qatar begitu terlihat di Timur Tengah. Al Jazeera yang sejak bertahun-tahun lalu dianggap duri di kawasan secara luas melaporkan tentang Musim Semi Arab.
Segera setelah rezim Husni Mubarak tumbang dan tokoh asal Ikhwanul Muslimin Mohamed Morsi terpilih sebagai presiden, Al Jazeera dikabarkan mulai menancapkan akarnya di Negeri Piramida tersebut.
Di lain sisi, Musim Semi Arab menjadi bencana bagi Hamas mengingat dampaknya bagi negara-negara yang mendukung kelompok tersebut.
"Hamas memiliki hubungan yang sangat kuat dengan Suriah, Mesir, Qatar, dan Iran. Banyak hal telah berubah sehingga mereka harus melakukan diversifikasi hubungan," ungkap Mustafa Barghouti, seorang politisi independen Palestina.
Advertisement
Hengkang dari Damaskus
Sebelum tahun 2012, kepemimpinan Hamas berbasis di Damaskus, Suriah. Menyusul meningkatnya ketegangan antara rezim Bashar al-Assad dengan oposisi maka perubahan terjadi.
Hamas memihak oposisi dan memutus hubungan dengan Suriah, Hizbullah, dan Iran.
"Hamas kalah banyak dalam pemberontakan tersebut. Inilah salah satu alasan mengapa Qatar masuk," jelas H.A. Hellyer dari think tank Atlantic Council.
Qatar sendiri merupakan pendukung kuat Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Hamas disebut-sebut mengambil keuntungan dari situasi tersebut.
Pada tahun 2012, Emir Qatar Sheikh Hamad bin Khalifa Al Thani diketahui mengunjungi Jalur Gaza. Ia menjadi satu-satunya memimpin dunia yang melakukannya.
Di Jalur Gaza, emir Qatar meresmikan sejumlah proyek senilai ratusan juta dolar. Qatar dinilai mengisi kekosongan dukungan terhadap Hamas dan hal inilah yang memicu pengaruhnya meningkat dengan cepat di Jalur Gaza.
Namun ambisi Doha tersandung ketika Presiden Mesir Mohamed Morsi didepak oleh militer melalui sebuah kudeta. Kekuasaan Ikhwanul Muslimin pun dilucuti.
Penguasa baru Mesir, Jenderal Abdel Fatah El Sisi memiliki sikap berlawanan dengan pendahulunya: ia memusuhi Qatar dan Hamas. El Sisi menuding Hamas mendukung Ikhwanul Muslim.
Sejak El Sisi berkuasa, ratusan terowongan yang digunakan untuk menyelundupkan berbagai kebutuhan di sepanjang perbatasan dengan Gaza ditutup. Hubungan antara Hamas dan Kairo pun memburuk, bahkan warga Mesir bersorak mendukung Israel dan memuji PM Benjamin Netanyahu dalam perang tahun 2014.
Kurang dari tiga tahun kemudian, kebencian Mesir terhadap Hamas membuatnya berada di kubu Saudi Cs dengan tujuan membungkam Qatar.
"Sulit membayangkan Qatar dapat bertahan melawan sebuah sistem yang ketat di sekitarnya. Saya berharap Qatar dapat menemukan cara untuk berkompromi," ungkap Hellyer.
"Masalahnya, suhu telah meningkat begitu cepat sehingga tidak ada jaminan. Jika Doha tidak menyetujui tuntutan tersebut, maka itu akan buruk bagi internal Doha," tandasnya.
Warga Gaza Terancam?
Mungkin negosiasi awal terkait Krisis Teluk adalah pengusiran pemimpin Hamas dari Qatar. Menurut Hallyer, jika itu terjadi, maka Sudan atau Turki mungkin akan menjadi rumah selanjutnya bagi mereka.
"Sampai saat ini, Qatar belum memberi tahu kami untuk meninggalkan negara itu. Kami disambut di banyak negara, kami punya pemilu...Residen pemimpin Hamas mungkin saja berubah sesuai dengan keputusan yang diambil oleh pemimpin itu sendiri," tutur Juru bicara Hamas Fawzi Barhoom.
Menurut pengamat, putus hubungan dengan Qatar tidak akan membuat Hamas terpuruk mengingat kelompok militan Palestina tersebut pernah bertahan tanpa uang transferan dari Doha. Namun imbasnya, situasi mengerikan akan membayangi Gaza.
Berdasarkan data PBB, tingkat pengangguran di Jalur Gaza lebih dari 40 persen dan satu juta orang hidup mengandalkan bantuan makanan dari badan pengungsi PBB.
"Ini situasi yang sangat serius, berbahaya, dan eksplosif. Qatar telah membantu warga Gaza dengan menyediakan listrik dan bahan bakar. Memutus hubungan akan secara drastis memengaruhi warga sipil. Saya khawatir menekan Hamas terlalu keras akan memicu perpecahan di kelompok itu dan berujung pada radikalisasi tertentu," terang politisi independen Palestina Mustafa Barghouti.
Pada akhirnya, menurut Barghouti, perseteruan antara negara-negara Teluk dapat memberikan dampak negatif terkait ambisi Palestina untuk menjadi sebuah negara merdeka.
"Perselisihan internal dunia Arab, buruk bagi Palestina. Salah satu efeknya yang sangat penting adalah itu dapat mengalihkan perhatian dari kebutuhan Palestina untuk bebas dan merdeka. Kami, warga Palestina ingin persoalan ini diselesaikan secepat mungkin," kata Barghouti.
Advertisement