Sukses

Putin: Rusia Siap Tampung Eks Direktur FBI yang Dipecat Trump

Vladimir Putin mengaku Rusia tak menganggap Amerika Serikat sebagai musuh dan ancaman.

Liputan6.com, Moskow - Di tengah maraknya dugaan skandal politik yang melibatkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan Rusia, Presiden Vladimir Putin tidak menganggap Negeri Paman Sam sebagai musuh dan ancaman.

Bahkan, Presiden Putin menilai bahwa sejumlah sanksi yang diterapkan AS kepada negaranya hanya akan membuat bangsa Rusia semakin kuat. Demikian seperti yang diwartakan oleh USA Today, Kamis (15/6/2017).

Berbicara di hadapan media pemerintah Rusia dalam Sesi Tanya Jawab Tahunan, Presiden Putin justru menganggap bahwa Moscow dan Washington sejatinya merupakan negara yang sangat dekat.

Mencuatnya persepsi tentang dugaan tensi tegang antara AS dan Rusia, menurut Putin, disebabkan oleh "histeria media Barat".

Sesi Tanya Jawab Tahunan dengan Putin adalah program rutin yang telah dilaksanakan sejak 2001 dan disiarkan oleh media Pemerintah Rusia. Pada setiap kesempatan, ia selalu berpartisipasi untuk menjawab pertanyaan tentang sejumlah isu politik dan pemerintahan Rusia.  

Pada kesempatan yang sama, Presiden Putin kembali membantah dugaan campur tangan Rusia dalam Pilpres AS 2016 lalu. Ia juga menganalogikan mantan direktur FBI yang dipecat Presiden Trump, James Comey, seperti Edward Snowden, pembocor rahasia negara AS via Wikileaks pada 2013.

"Jika diperlukan, apabila Comey dipersekusi, kami bersedia untuk menyediakan suaka untuknya di Rusia. Ia harus tahu itu," kata Putin.

Putin mengatakan bahwa kooperasi AS dengan Rusia turut terjadi di sejumlah bidang krusial, seperti isu kemiskinan, lingkungan, dan proliferasi nuklir seperti pada kasus Iran.

"Itu artinya kita dapat melakukan negosiasi dan kerja sama. Seperti pada isu Suriah, Timur Tengah. Pencapaian itu jelas tidak dapat dilakukan tanpa dialog konstruktif keduanya," jelas presiden ke-4 Rusia itu.

Pria 64 tahun itu juga menambahkan bahwa, AS secara konstan terus menanamkan pengaruhnya di seluruh dunia melalui sejumlah entitas dan organisasi.

"Ambil bola dunia, putar, dan tunjuk jari anda di sembarang tempat. Dan Anda akan menemukan kepentingan maupun campur tangan AS di sana. Aku tahu hal itu dari berbagai kepala negara. Namun, tampaknya orang-orang justru tak banyak membicarakan hal tersebut," tambah pria yang pernah menjadi agen spionase Uni Soviet KGB pada era Perang Dingin.

Komentar Presiden Putin tersebut disampaikan saat relasi AS dengan Rusia tengah dirundung dugaan skandal politik. Mulai dari dugaan keterlibatan dan campur tangan Rusia pada Pilpres AS 2016 dan keterkaitan sejumlah pejabat Washington dengan entitas maupun organisasi dari Negeri Beruang Merah.

Yang terbaru, calon direktur FBI pilihan Presiden Trump--Christopher Wray--yang akan menggantikan posisi James Comey, diduga memiliki keterkaitan dengan Rusia. Dugaan ini menambah daftar kecurigaan bahwa presiden ke-45 AS itu memiliki kecenderungan "favoritisme" terhadap Negeri Beruang Merah.

Di atas kertas, Christopher Wray tampak sebagai calon tepat Presiden Trump untuk menjabat sebagai direktur baru FBI. Sebagai lulusan Law School of Yale University, Wray memiliki riwayat akademik yang mumpuni.

Prestasinya di bidang penegakan hukum pun membanggakan. Ia berhasil menangani kasus kejahatan kerah putih yang melibatkan seorang gubernur negara bagian New Jersey pada 2013.

Namun, kini muncul keraguan terhadap kredibilitas pria lulusan Yale University itu. Menurut laporan, firma hukum Wray--King & Spalding--merepresentasikan Rosneft dan Gazprom, dua perusahaan migas yang dikontrol ketat oleh Pemerintah Rusia, demikian seperti yang dilaporkan oleh USA Today, Sabtu 10 Juni 2017.

Meski tidak ada indikasi yang menyebut bahwa Wray memiliki keterkaitan personal untuk urusan legal dengan Rosneft maupun Gazprom, sejumlah pihak menilai sang calon direktur FBI baru itu akan menghadapi sejumlah konflik kepentingan, etis, dan legal. Konflik itu diprediksi akan "menyulitkan" dirinya dan FBI yang akan dipimpinnya dalam mengusut kasus dugaan keterkaitan Donald Trump, Gedung Putih, dan Rusia, seperti pada Pilpres AS 2016 maupun kasus-kasus pada masa mendatang.

Saat ini pula, faktanya, Presiden Trump memang tengah diselidiki oleh seorang penasihat khusus atau special counsel Robert Mueller yang ditunjuk secara independen oleh Jaksa Agung AS.

Penyelidikan atas Trump berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum. Mueller sendiri saat ini tengah fokus menginvestigasi dugaan campur tangan Rusia dalam pilpres dan kemungkinan kolusi tim kampanye Trump dengan Moskow.

Sejumlah media masih akan terus memantau perkembangan isu tersebut.

 

Saksikan juga video berikut ini