Sukses

Kisah Putri Masako, Pernah Stres hingga Jadi Calon Permaisuri

Jelang suksesi kekaisaran Jepang, dunia turut menyorot sosok Putri Masako. Mampukah ia menghadapi tingginya tuntutan sebagai permaisuri?

Liputan6.com, Tokyo - Menikahi seorang pangeran boleh jadi merupakan impian kebanyakan perempuan, meski tak ada jaminan, bahwa hidup akan lebih bahagia dengan menyandang predikat "putri".

Masako Owada, nama ini mungkin jarang terdengar jika dibandingkan dengan Putri Diana atau Duchess of Cambridge alias Kate Middleton.

Perempuan itu lahir dalam sebuah keluarga diplomat Jepang. Karier sebagai diplomat sempat "dicicipinya" walau sesaat.

Suatu ketika, takdir membawanya bertemu dengan Pangeran Naruhito, putra mahkota kekaisaran Jepang. Pasangan ini menikah pada 9 Juni 1993.

Kehidupan Masako setelah menjadi putri tak selalu berjalan mulus. Perempuan peraih Bachelor of Arts di bidang ekonomi yang lulus dengan gelar magna cum laude dari Harvard University ini pernah dirawat lebih dari satu dekade. Penyebabnya adalah stres.

Masako tidak hanya menderita depresi pasca-melahirkan, tapi juga sulit beradaptasi dengan tradisi kekaisaran Jepang yang dikenal masih sangat kaku. Pengamat kerajaan menilai, penyebab sakitnya sang putri adalah kombinasi antara pembatasan politik dan tekanan untuk melahirkan pewaris laki-laki.

Pangeran Naruhito bersama dengan Putri Masako dan Putri Aiko dalam foto keluarga putra mahkota terbaru (AP)

Sementara itu, sebuah pernyataan resmi yang dikeluarkan pada tahun 2004 atau setelah Putri Masako cukup lama absen tampil di muka publik menyebutkan, perempuan kelahiran Tokyo 9 Desember 1963 tersebut menderita adjustment disorder atau gangguan penyesuaian.

Hukum suksesi kekaisaran saat ini hanya mengizinkan laki-laki untuk menduduki takhta Krisan yang telah berusia 2.000 tahun. Sementara anak yang terlahir dari rahim Masako pada tahun 2001 adalah seorang perempuan. Ia diberi nama Putri Aiko.

Sosok Masako belakangan kembali mencuri perhatian menyusul disahkannya rancangan undang-undang pengunduran diri kaisar oleh majelis rendah parlemen Jepang. Dengan demikian, Kaisar Akihito (83) dimungkinkan mundur setelah 30 tahun bertakhta.

Sang kaisar sendiri telah mengisyaratkan ingin segera turun takhta menimbang usia dan kesehatannya. Hal ini membuat Putra Mahkota Naruhito harus bersiap. Demikian pula Putri Masako yang kelak menyandang gelar permaisuri.

Penobatan memang belum dijadwalkan. Namun, undang-undang mengharuskan suksesi berjalan dalam waktu tiga tahun.

Di tengah penantian ini, muncul kekhawatiran tentang bagaimana Putri Masako mengatasi meningkatnya pengawasan dan tuntutan sebagai permaisuri di masa depan. Pasalnya, ia pernah cukup lama ditarik dari tugas-tugas kekaisaran akibat stres yang dideritanya.

Ben Hills, penulis biografi berjudul "Princess Masako: Prisoner of the Chrysanthemum Throne" mengungkap penyebab di balik sakit yang dialami Masako.

"Seluruh eksistensinya telah dinegasikan dan ini menyebabkan ia mengalami penyakit jiwa yang paling serius," ungkap Hills kepada ABC seperti dikutip dari News.com.au, Senin (19/6/2017).

"Dia tidak diizinkan keluar (dari istana) tanpa permisi...dia tidak punya kartu kredit, dia tidak memiliki akses ke telepon, tidak memiliki paspor...Jadi seluruh keberadaannya telah dinegasikan," imbuhnya.

Kegagalan pasangan Naruhito dan Masako untuk memiliki anak laki-laki telah menjadi bagian dari narasi negatif publik. Di lain sisi, muncul kritik terhadap Masako di mana ia dinilai mengabaikan kewajibannya sebagai anggota kekaisaran dan terlalu boros.

Pada tahun 2006, Naruhito dan Masako boleh bernapas lega. Pasalnya, tekanan untuk melahirkan calon kaisar berakhir setelah adik Naruhito, Pangeran Fumihito dan istri, Putri Kiko dikaruniai seorang putra, Pangeran Hisahito.

Kelahiran Hisahito disambut gembira, mengingat ia merupakan pangeran pertama yang lahir dari keluarga kekaisaran Jepang dalam 40 tahun terakhir.

2 dari 2 halaman

Dibela Sang Suami

Pada tahun 2004, Pangeran Naruhito dikabarkan mengambil sikap berseberangan dengan Rumah Tangga Kekaisaran demi membela Putri Masako. Menurutnya, sang istri telah "benar-benar lelah" untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan istana.

Demikian pula pada tahun 2008, sang putra mahkota memohon pengertian dengan mengatakan, "Masako terus berusaha keras dengan bantuan orang-orang di sekitarnya".

Masako yang menghabiskan sebagian masa kecilnya di luar negeri disebut-sebut memiliki kekhawatiran signifikan tentang menikahi keluarga kekaisaran. Ia bahkan pernah diberitakan menolak proposal yang diajukan Naruhito di tengah masa pacaran mereka yang cukup lama.

Anak dari pasangan Hisashi Owada dan Yumiko Egashira itu akhirnya setuju untuk menikahi Pangeran Naruhito setelah putra sulung kaisar berjanji akan melindunginya "dengan segenap kekuatannya" dari tuntutan kehidupan istana.

Kendati demikian, tekanan dan pembatasan di istana terus meningkat selama bertahun-tahun.

Putri Masako kabarnya telah dilarang untuk sering bepergian ke luar negeri. Pada satu waktu, ia pernah dikritik tentang liburan musim panasnya di Belanda -- diduga perjalanan ini ditujukan untuk membantunya pulih.

Selama di Negeri Kincir Angin, Masako kedapatan menyantap hidangan Meksiko seharga 10.000 yen atau setara dengan US$ 120 yang dibuat khusus untuknya.

"Beberapa orang mengatakan, sang putri bersikap egois, tapi mereka perlu memahami bahwa dia menderita penyakit jiwa yang sama parahnya dengan penyakit fisik," ujar seorang profesor di Musashi University, Miiko Kodama.

Kesengsaraan Masako kerap dibandingkan dengan ibu mertuanya, Permaisuri Michiko.

Michiko yang kini berusia 82 tahun tumbuh kurus dan dinilai menunjukkan masa muda tak bahagia akibat stres. Namun, ia bertransformasi menjadi istri kaisar yang paling dikenal dan sering melakukan kunjungan dalam sejarah Negeri Sakura.

Melalui sebuah konferensi pers pada tahun 2007, sang permaisuri mengaku, tidaklah mudah hidup di bawah pengawasan dan aturan ketat.

"Merupakan tantangan besar untuk melewati setiap hari dengan kesedihan dan kegelisahan saya," kata Permaisuri Michiko yang merupakan perempuan biasa pertama yang menikahi seorang putra mahkota.

Sama seperti menantunya, Michiko juga pernah menderita stres. Seorang ahli kerajaan yang juga penulis, seperti dilansir News.com.au menyebutkan, "Sang permaisuri sangat menderita. Bahkan tidak sepatah katapun keluar ketika ia berada di bawah tekanan, dan ia hanya berkonsentrasi membesarkan ketiga anaknya".

"Tapi dia melewati masa-masa sulit itu dengan semangat yang kuat," terang sang ahli.

Lantas, dapatkah Masako mengikuti jejak sang ibu mertua?

Profesor Miiko mengatakan, "Ketika menjadi permaisuri, statusnya (Masako) akan lebih tinggi dan ini berarti dia akan didengar lebih banyak orang".

"Dengan semakin sedikit orang yang memberikan tekanan, saya rasa dapat diperkirakan penyakitnya akan membaik," terang Miiko.