Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia bereaksi terkait kritik Beijing usai nama Laut China Selatan diubah jadi Laut Natuna Utara. Perubahan tersebut dilakukan pada 14 Juli 2017.
Menanggapi kritik tersebut, Deputi I Bidang Kedaulatan Maritim Kemenko Kemaritiman, Arif Havas Oegroseno, mengatakan perubahan nama adalah bentuk update dan sesuai hukum internasional
"Setiap negara berhak melakukan update peta sesuai praktik internasional," ucap Havas saat dihubungi Liputan6.com.
Advertisement
Dia mencontohkan pada dokumen tahun 1953 milik International Hydrographic Organization (IHO) tidak ada nama Laut Natuna di kepulauan Anambas dan Natuna. Namun, pada 2002 pemerintah melakukan update penamaan perairan tersebut menjadi Laut Natuna.
Baca Juga
"Yang kita lakukan sekarang sama dengan yang dilakukan tahun 2002," ucap dia.
Sebelumnya, Havas mengatakan, penamaan Laut Natuna Utara disesuaikan agar sejalan dengan sejumlah kegiatan pengelolaan migas yang dilakukan di wilayah tersebut.
Selama ini, sejumlah kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas telah menggunakan nama Natuna Utara, Natuna Selatan atau North East Natuna dalam nama proyeknya.
"Jadi, supaya ada satu kejelasan atau kesamaan antara landas kontinen dengan kolom air di atasnya, tim nasional sepakat agar kolom air itu disebutkan sebagai Laut Natuna Utara," ucap Havas.
Perubahan nama tersebut, menurut juru bicara Kemlu China, Geng Shuang, adalah tindakan tidak masuk akal dari Indonesia.
"Langkah pergantian nama itu tidak masuk akal dan tidak selaras dengan upaya standardisasi mengenai penyebutan wilayah internasional,"Â ucap Geng.
"Kami berharap agar negara relevan di kawasan mampu berkolaborasi dengan China untuk tujuan bersama serta situasi di kawasan Laut China Selatan," ujar Geng Shuang.
Indonesia bukan negara satu-satunya yang mengubah penyebutan Laut China Selatan dengan nama lain. Pada 2011, Filipina menamakan kawasan maritim itu sebagai "Laut Filipina Barat".
Peristiwa itu memicu China menyeret Filipina ke mahkamah internasional Den Haag, Belanda, pada 2016. Namun, pengadilan memutuskan bahwa Tiongkok tidak memiliki wewenang legal-historis untuk mengintervensi keputusan Filipina dalam penyebutan nama wilayah maritim tersebut.