Sukses

Terkuak, Seperti Ini Mal Mewah Lokasi Belanja Para Elite Korut

Diduga, keuntungan transaksi jual beli dari mal tersebut akan dialirkan untuk program pengembangan rudal dan nuklir Korea Utara

Liputan6.com, Pyongyang - Meski dikabarkan sebagai negara dengan perekonomian yang buruk, namun siapa sangka, Korea Utara dilaporkan memiliki sebuah pusat perbelanjaan di Pyongyang, yang dikhususkan menjual sejumlah benda mewah.

Di mal mewah itu, berbagai macam benda apapun bisa didapat oleh para pejabat elite Korea Utara, mulai dari wiski berkualitas, perhiasan, parfum, satu set drum, atau saxofon.

Department Store mewah di Haedanghwa Health Complex, Pyongyang (Wikimedia Commons)

Uniknya, mal tersebut hanya khusus melayani transaksi tunai. Alasannya, diduga uang tunai hasil transaksi di pusat perbelanjaan khusus barang mewah itu akan langsung masuk ke dalam kas negara, dan sebagian fulus tersebut disisihkan untuk program pengembangan nuklir Korea Utara. Demikian seperti diwartakan oleh CNN, Selasa (18/7/2017).

Laporan eksistensi mengenai pusat perbelanjaan mewah itu merupakan hasil investigasi yang dilakukan oleh NK Pro, firma independen pemantau Korea Utara.

Keberadaan mal mewah itu justru menyimbolkan kondisi yang berlawanan dengan situasi masyarakat Korea Utara di wilayah pedesaan, yang sebagian besar --menurut klaim NK Pro-- hidup dalam kemiskinan.

"Saya pernah melihat seorang warga Korea Utara membayar menggunakan lembaran uang seratus dolar untuk sebuah benda seharga US$ 2.000. Siapapun yang memiliki mata uang dolar, dibolehkan untuk berbelanja di sana," kata seorang diplomat sebuah negara Barat yang bekerja di Pyongyang, menceritakan pengalamannya kala mengunjungi mal mewah tersebut.

Benda-benda mewah nan mahal seperti wiski, perhiasan, atau parfum mahal di Korea Utara merupakan barang langka. Pasalnya, sejak sejumlah negara Barat dan Dewan Keamanan PBB menjatuhkan sanksi terhadap negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un itu, pasokan benda mewah tersebut mengalami keterbatasan, penurunan, langka, hingga tidak ada sama sekali.

Penyebab penjatuhan sanksi yang membuat pasokan barang tersier menjadi langka disebabkan oleh --tak lain dan tak bukan-- program pengembangan rudal dan persenjataan nuklir Korea Utara.

Seorang pria melihat laporan berita tentang rudal Korea Utara, di sebuah stasiun kereta di Seoul, Korea Selatan. Pemimpin Korut, Kim Jong-Un memerintahkan pasukannya menyiagakan senjata nuklir untuk bisa digunakan kapan saja. (AFP PHOTO/Jung YEON-JE)

Akan tetapi, investigasi NK Pro menunjukkan bahwa, benda mewah itu masih beredar di mal di Pyongyang tersebut. Hal itu jadi salah satu bukti bahwa, sanksi yang diterapkan oleh negara Barat dan Dewan Keamanan PBB terhadap Korut, belum efektif.

Menurut laporan NK Pro, mal mewah tersebut menjual satu lemari penuh produk Montblanc, merek mewah asal Jerman. Salah satu produk Montblanc yang dijual adalah arloji seharga 460.000 won Korea Utara atau setara dengan US$ 4.000.

Meski begitu, pihak Montblanc mengaku bahwa pihaknya tidak mendistribusikan dan menjual produk di Korea Utara.

"Impor yang dimaksud mungkin merupakan distribusi ilegal atau lewat penyalur pihak kedua," jelas Montblanc dalam pernyataan tertulis.

Dugaan terkait penyalur pihak kedua nampak mengindikasikan bahwa sejumlah barang mewah itu didistribusikan oleh negara lain yang menjalin relasi dengan Korea Utara.

Menurut mantan pejabat Korea Utara, transaksi jual-beli barang mewah di mal elite di Pyongyang itu mampu memberikan keuntungan besar untuk sejumlah program prioritas negara.

"Mereka mendapat keuntungan yang besar melalui penjualan di mal mewah tersebut. Keuntungan yang didapat dialirkan ke kas negara, dan nantinya akan digunakan untuk program pengembangan misil dan nuklir," jelas Kim Kwang-jin, mantan atase yang membantu aktivitas finansial ilegal Korea Utara, dan kini menjadi seorang pembelot.

Saksikan juga video berikut ini:

2 dari 2 halaman

Mesin Uang Korut

Kim Kwang-jin, pembelot Korut yang kini bekerja sebagai analis di Korea Selatan, menambahkan bahwa mal mewah tersebut merupakan salah satu bagian proyek milik Office 39, lembaga --yang diduga oleh Kementerian Keuangan AS-- beroperasi dalam aktivitas finansial ilegal Korea Utara.

"Mereka mengontrol mal dan swalayan mewah, perhotelan, dan industri jasa di Pyongyang. Semua bisnis terbaik ditangani oleh mereka," jelas Kwang-jin.

Lobby mewah di Hotel Koryo, Pyongyang, Korea Utara (Wikimedia Commons)

Tak jelas berapa banyak keuntungan yang dapat diperoleh oleh Office 39. Estimasi kasar, lembaga itu mampu menjaring keuntungan finansial sebesar ratusan juta dollar dari berbagai aktivitas bisnis.

Lembaga yang didirikan sekitar 1970-an pada rezim Kim Il-sung itu, menurut Kwang-jin, lebih tepat dianggap sebagai organisasi keluarga, ketimbang organisasi pemerintah. Organisasi itu merupakan bisnis keluarga besar Kim. Bukan milik kabinet, bukan milik pemerintah," tambah Kwang-jin.

Penampilan terakhir Kim Jong-un dan sang istri, Ri Sol-ju saat menonton pertunjukan musik pada Maret lalu (Reuters)

Diduga, Office 39 turut melakukan aktivitas bisnis luar negeri dengan sejumlah negara. Keuntungan perdagangan yang dijalin oleh Office 39 dengan negara lain dianggap masuk ke dalam kas program pengembangan nuklir Korut.

Dan, baru-baru ini, upaya untuk memotong arus finansial ilegal Korea Utara yang bersumber dari negara lain menjadi salah satu agenda prioritas Washington, DC. Urgensi agenda itu semakin menjadi, khususnya sejak Pyongyang berhasil melakukan tes rudal untuk yang ke-11 kalinya sepanjang tahun 2017.

"Aksi global dibutuhkan untuk menghentikan ancaman yang bersifat global pula. Setiap negara yang membantu Korea Utara, dari aspek ketenagakerjaan, ekonomi, atau militer, jelas-jelas melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Dewan Keamanan PBB," jelas Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson.

Akhir Juni lalu, Kementerian Keuangan AS telah menjatuhkan sanksi terhadap empat entitas finansial asal China, yang diduga berperan sebagai "pipa penghubung" untuk mendukung aktivitas finansial ilegal Korut. Sanksi itu dijatuhkan pada Bank of Dandong, satu perusahaan, dan dua individu pegiat finansial.

"Kami akan terus memotong arus keuangan Korea Utara sampai mereka taat pada ketentuan yang ada," kata Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin, 30 Juni 2017.

Kebijakan sanksi AS juga turut merambah ke Afrika. Salah satu negara yang dijatuhi sanksi adalah Sudan.

Hingga kini, Sudan masih meninjau sanksi yang diterapkan AS tersebut. Negara dengan Ibu Kota Khartoum itu akan merespons penjatuhan sanksi Washington, DC pada Oktober tahun ini.

Washington, DC juga menduga bahwa sejumlah entitas asal Myanmar dan Singapura memiliki riwayat, bahkan hingga kini masih, membeli persenjataan produksi Korea Utara.

Pada 2015, Kementerian Keuangan AS meyakini junta militer yang pada saat itu memerintah Myanmar, merupakan salah satu pembeli sistem misi balistik produksi Korut. Penjualan itu dipercaya sebagai sumber dana program pengembangan rudal, hulu ledak nuklir, dan gaya hidup mewah Kim Jong-un.

Meski kini junta militer Myanmar telah kehilangan relevansinya di pemerintahan, kekuatan politik mereka masih memiliki pengaruh besar. Mereka juga diduga rutin menjalin kontak dengan Korea Utara.

Awal tahun ini, Directorate of Defense Industries (DDI) Myanmar merupakan satu dari 30 lembaga dunia yang dijatuhi sanksi oleh Kemlu AS. Meski penjatuhan sanksi tak menyebut keterkaitan dengan Korut sebagai faktor, pada 2012 DDI sempat menuduh hal serupa. Dan pada 2013, kepala DDI Letnan Jenderal Thei Htay resmi dijatuhi sanksi oleh Kemenkeu AS.

Sementara itu, beberapa firma asal Singapura turut diduga menjalin hubungan dengan entitas Korea Utara.

Laporan dari PBB awal tahun ini sempat menyebut bahwa sebuah perusahaan bernama Pan Systems Pyongyang memanfaatkan jaringan agensi finansial asal China, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah, untuk mengelabui mekanisme sanksi yang diterapkan oleh AS Cs. Skema itu dimanfaatkan untuk melakukan perdagangan material persenjataan produksi Korea Utara.

Kwang-jin pun turut mengafirmasi dugaan finansial ilegal Korea Utara dengan Singapura.

"Mereka ingin menghasilkan uang dengan perjanjian ilegal bersama Korut. Dan aktivitas itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Begitupun perdagangan yang bersifat legal. Singapura juga menjadi negara yang strategis, mengingat mereka, merupakan kawasan pelabuhan internasional besar di kawasan," tambah Kwang-jin.