Liputan6.com, Washington, DC - Tahun 1969, ketika manusia menginjakkan kaki untuk kali pertamanya di Bulan, sebuah plakat berisi tulisan ditinggalkan di sana.
Pada plakat itu, tertulis; :"Kami datang dengan damai atas nama seluruh umat manusia". Dan sejak momen bersejarah itu, perkembangan teknologi keantariksaan terus mengalami perkembangan pesat.
Kini, tak cuma Amerika Serikat, beberapa negara lain juga telah berhasil mengembangkan dan membuat pesawat dan satelit versi masing-masing yang dikirim ke angkasa luar. Tujuannya diklaim demi perkembangan ilmu pengetahuan.
Advertisement
Namun, tak semua agenda tersebut murni dilakukan hanya semata mengatas-namakan ilmu pengetahuan. Beberapa negara, dilaporkan turut mengembangkan teknologi keantariksaan untuk mengekspansi kapabilitas militer masing-masing.
Baca Juga
Berbagai teknologi militer yang dikembangkan menggunakan perspektif keantariksaan pun mulai bermunculan, mulai dari satelit mata-mata, hingga rudal penghancur untuk mengatasi satelit tersebut.
Pada tahun 2007, China melakukan uji coba misil yang terbang setinggi 864 km ke langit. Rudal itu berfungsi dengan baik, namun, Tiongkok harus menanggung dampak sampingan yang dihasilkan dari tes itu.
Pasalnya, proyektil kinetik dari misil yang ditembakkan satu dekade lalu itu, menyasar ke salah satu satelit cuaca milik China sendiri, FY-1C polar orbit. Dengan kecepatan 8 km/detik, proyektil kinetik misil itu sukses menghancurkan satelit tersebut.
Meski menimbulkan insiden, namun peristiwa itu menunjukkan bahwa China berpotensi memiliki rudal anti-satelit.
Setahun kemudian, pasca-insiden misil China, Angkatan Laut AS menembak jatuh sebuah satelit intai militer bernama sandi USA-193 di orbit Bumi. Tak seperti Tiongkok, penembakan yang merupakan sebuah operasi militer resmi itu sengaja dilakukan oleh AL Amerika Serikat.
Operation Burnt Frost --nama sandi penembakan USA-193-- dilakukan karena AL AS merasa perlu untuk menembak satelit usang yang diperkirakan berpotensi jatuh serta dapat menimbulkan dampak berbahaya di Bumi. Menggunakan misil SM-3, AL AS sukses menembak jatuh satelit tersebut.
Sementara itu, pasca-2008, Rusia dilaporkan telah 5 kali melepaskan rudal anti-satelit. Menambah daftar negara yang memiliki kapabilitas misil penghancur satelit angkasa luar, selain AS dan China.
"Angkasa luar bukan sebuah tempat aman, itu akan menjadi domain peperangan," kata Brigadir Jenderal AU AS Mark Baird, seperti yang dikutip oleh Business Insider Australia, Rabu (19/7/2017).
Perang di Luar Bumi Segera Menjelang?
Sejumlah angkatan bersenjata dari berbagai negara kini mengandalkan domain antariksa untuk meningkatkan sejumlah aspek kapabilitas tempur mereka, seperti komunikasi, koordinasi, navigasi, dan intai militer.
"Musuh yang akan menyerang AS, mereka akan diserang menggunakan satelit. Jika perang lewat domain antariksa terjadi antara China, Rusia, AS, akan membutuhkan sejumlah waktu sebelum kabar itu sampai ke telinga publik," kata Peter Singer, peneliti dari New America dan penulis buku 'Ghost Fleet: A Novel of the Next World War'.
Saat ini, Singer menjelaskan bahwa teknologi militer domain antariksa AS dinilai lebih maju ketimbang milik Rusia dan China. Keunggulan itu ditandai dengan inter-koneksi sistem militer domain antariksa dengan alutsista konvensional Negeri Paman Sam.
Sementara itu, Amerika Serikat juga berencana untuk membentuk US Space Corps, angkatan bersenjata yang didedikasikan untuk peperangan antariksa (space warfare). Korps itu akan menyerap domain kemiliteran angkasa luar, yang tugas dan fungsinya selama ini masih dalam tanggung jawab Komando Antariksa-Angkatan Udara AS. Meski begitu, usulan itu masih dalam tahap penggodokan.
Pakar justru berpendapat, pembentukan cabang militer khusus untuk peperangan angkasa luar dinilai tidak tepat. Sementara itu pakar juga menilai, langkah AS untuk mengembangkan teknologi satelit intai --yang direncanakan akan berukuran semakin kecil ketimbang model konvensional-- dianggap akan semakin irelevan.
Menurut ahli, negara --yang menjadikan domain antariksa sebagai fokus pengembangan kapabilitas militer-- seperti AS, China, dan Rusia, juga harus mengembangkan teknologi satelit pertahanan yang efektif dan efisien.
Pakar menyebut mengenai potensi Stratolaunch yang mampu menembakkan roket dari antariksa dan pesawat SpaceX yang dianggap sangat efisien dari segi pembiayaan.
Polemik - Potensi Militer dan Antariksa
Sementara itu, pakar lain menyebut soal potensi permasalahan lingkungan baru yang akan muncul ketika peperangan antariksa menjadi tren di masa mendatang. Permasalahan lain seperti serpihan benda dan materi, dampak dari peperangan antariksa, mungkin turut akan menjadi polemik.
"Itu akan menjadi masalah yang pelik. Tengok serpihan satelit FY-1C yang hancur pada insiden misil China 2007. Sekitar 3.000 hingga mungkin jutaan puing dari satelit itu menjadi sampah di orbit Bumi," kata Bhavya Lal, anggota IDA Science and Technology Policy Institute.
Serpihan dan puing itu, juga berpotensi jatuh dan membahayakan kehidupan yang ada di Bumi. Selain itu, sisa-sisa yang masih mengambang di orbit akan menimbulkan polemik lain.
Menurut sebagian pihak, domain antariksa seharusnya lebih berpotensi sebagai aspek penggentarjeraan --ketimbang peperangan-- dalam politik luar negeri suatu negara, jelas Mayor Jenderal AL AS Charles Richard, pada Maret lalu.
"Meski kita tidak berperang di angkasa luar, bukan berarti saat ini kita juga sedang dalam kondisi damai," kata Mayjen AL AS Richard.
Saksikan juga video berikut ini
Advertisement