Sukses

Protes Keputusan Pemerintah, Jutaan Warga Venezuela Mogok Kerja

Jutaan warga Venezuela mogok kerja sebagai protes atas keputusan Presiden Maduro untuk memilih majelis konstituen baru.

Liputan6.com, Caracas - Jutaan warga Venezuela bergabung dalam mogok kerja yang diserukan pihak oposisi. Hal itu dilakukan di tengah meningkatnya tekanan terhadap Presiden Nicolas Maduro untuk membatalkan pemilihan majelis konstituen baru.

Bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa menewaskan setidaknya tiga orang. Menurut sejumlah laporan, lebih dari 200 lainnya ditangkap. Sebelumnya, Maduro telah mengatakan bahwa pemimpin demo akan ditangkap.

Para pengunjuk rasa membarikade jalan-jalan di ibu kota negara, Karakas, dan kota-kota lain dengan sampah dan furnitur. Pihak oposisi mengatakan, 85 persen warga Venezuela bergabung dalam mogok massal itu.

Namun di wilayah pro pemerintah di Karakas, kehidupan berjalan seperti biasa, di mana toko-toko tetap buka dan jalanan masih dipadati kendaraan. Pegawai pemerintah juga terlihat bekerja seperti biasa.

Namun di sejumlah kota lain, polisi menembakkan gas air mata di tengah-tengah bentrokan dengan para pendemo. Satu orang dikabarkan tewas di pinggiran Karakas, sementara dua lainnya di Valencia.

Sejak protes yang dilakukan oposisi kian intensif, hampir 100 orang tewas di seluruh negeri.

Kolombia, Prancis, Spanyol, Amerika Serikat, dan Uni Eropa mendesak pemerintah Venezuela untuk membatalkan pemilihan majelis konstituen tersebut. Namun, Maduro menolak seruan tersebut.

Dalam sebuah pidato yang disiarkan di televisi, ia mengklaim "kemenangan" dengan mengatakan, sektor-sektor kunci tak bergabung dalam pemogokan tersebut.

"Bekerja telah menang, cinta, hidup, dan harapan; pekerjaan telah menang. Mereka (oposisi Venezuela) yang tidak pernah bekerja, biarkan mereka terus tak bekerja, kita maju, kawan," ujar Maduro seperti dikutip dari BBC, Jumat (21/7/2017).

"Saya telah memerintahkan penangkapan seluruh teroris fasis," imbuh dia.

Seorang pengunjuk rasa memakai topeng berwarna bendera Venezuela, saat ikut serta dalam demonstrasi anti-pemerintah ke Mahkamah Agung di Caracas, Venezuela, Kamis, 6 Juli 2017. (AP Photo / Ariana Cubillos)

Majelis tersebut akan memiliki kekuatan untuk mengubah konstitusi dan melewati badan legislatif yang dikuasai oposisi.

Politisi oposisi mengatakan bahwa Maduro ingin menggunakan majelis tersebut untuk memperkuat posisinya sebagai penguasa. Namun, Maduro berpendapat bahwa undang-undang baru akan mendorong munculnya dialog di negara terpolarisasi.

Oposisi telah menyusun jadwal demonstrasi mereka menjelang pemilihan, termasuk pemogokan massal selama 24 jam pada 20 Juli dan demonstrasi pada 22 Juli 2017.

Sementara itu, seorang diplomat senior yang mewakili Venezuela di PBB, Isaias Medina, mengundurkan diri. Ia mengatakan, dirinya tak dapat lagi mewakili pemerintah karena dugaan pelanggaran hak asasi manusia.

Duta Besar Venezuela untuk PBB, Rafael Ramirez, mengatakan bahwa Medina telah bertindak "tidak jujur" dan dipecat.

Sebelumnya, kepada Organisation of American States (OAS), Luis Almagro, memperingatkan "bencana kemunduran" akibat ketidakstabilan Venezuela. Ia menuduh pemerintah Maduro memiliki "darah di tangannya".

"Setiap orang yang ditahan, setiap politikus yang dipenjara, setiap orang yang disiksa, dan setiap orang yang dibunuh, ada yang bertanggung jawab secara institusional," ujar Almagro dalam sebuah laporan.

"Ketakutan itu ada di dalam pikiran setiap orang, tapi kita terlalu takut untuk mengungkapkannya, ketakutan yang akan meningkat menjadi pertumpahan darah," imbuh dia.

Almargo telah lama dikenal sebagai salah satu kritikus pemerintah Venezuela yang paling berani dan lantang.

 

Simak juga video berikut ini: