Liputan6.com, Warwick - Baru-baru ini netizen dikejutkan dengan beredarnya foto seorang bayi perempuan dengan lesung pipi yang diberi anting berkilau. Netizen yang marah menduga foto itu asli.
Sekarang, suatu penelitian telah menjelaskan mengapa foto-foto rekayasa bisa menipu orang banyak. Ternyata manusia memang tidak terlalu mahir membedakan foto asli dan foto rekayasa.
Dalam penelitian tersebut, seperti dikutip dari Live Science pada Senin (24/7/2017), para peserta penelitian ditunjukkan foto-foto sebenarnya dan foto hasil rekayasa. Hasilnya, mereka hanya meraih keberhasilan 60 persen dalam mengenali foto hasil rekayasa (foto hoax).
Advertisement
Padahal, tingkat keberhasilan secara acak adalah 50 persen. Jadi, temuan itu hanya sedikit lebih baik daripada tebakan secara acak.
Baca Juga
Bukan hanya itu. Menurut penelitian yang telah terbit dalam jurnal Cognitive Research: Principles and Implications edisi bulan Juli itu, ketika orang ditanyai bagian mana yang salah dalam foto, tebakannya hanya benar pada angka 45 persen.
Melalui pernyataan, Sophie Nightingale, calon doktor bidang psikologi di University of Warwick, Inggris, menjelaskan, "Penelitian kami mendapati bahwa, walaupun orang lebih baik daripada sekedar menebak untuk deteksi dan menemukan manipulasi gambar, mereka jauh dari sempurna."
Wanita yang juga menjadi pemimpin penelitian itu melanjutkan, "Hal ini memiliki implikasi serius karena banyaknya gambar, yang mungkin saja gambar palsu, yang terpapar kepada orang setiap hari melalui situs-situs media sosial, internet, dan media arus utama."
Untuk penelitian itu, para peneliti memulai dengan 10 foto asli tentang orang-orang dalam suasana dunia sesungguhnya, misalnya pria yang berdiri di jalan atau pengendara sepeda yang bergaya dekat jembatan Golden Gate.
Kemudian, para peneliti merekayasa foto-foto itu melalui berbagai cara sehingga menghasilkan kumpulan 30 foto rekayasa dan 10 foto asli.
Rekayasa yang dilakukan bahkan dengan perubahan yang secara fisik tidaklah mungkin terjadi. Misalnya, mereka mengubah arah bayangan atau mengacaukan sudut-sudut bangunan.
Lalu ada juga perubahan yang secara fisik memang mungkin terjadi, misalnya dengan melakukan pewarnaan menggunakan semprotan (airbrush) pada wajah seseorang.
Sekitar 700 peserta ditunjukkan 10 gambar dari kumpulan foto, terdiri dari 5 foto asli dan 5 foto rekayasa. Mereka diminta untuk memberikan pendapat terkait pengubahan foto secara digital.
Para peserta hanya mendapat sekali kesempatan melihat foto-foto. Artinya, jika mereka melihat foto rekayasa, mereka tidak ditunjukkan versi aslinya. Sebaliknya, jika mereka melihat foto aslinya, maka mereka tidak akan diberikan foto rekayasanya.
Para peserta cenderung lebih baik dalam mengenali manipulasi yang secara fisik tidak mungkin terjadi daripada yang secara fisik mungkin saja terjadi.
Misalnya, ada suatu manipulasi bayangan, para peserta meraih 60 persen keberhasilan dalam mengenalinya sebagai foto rekayasa. Tapi, ketika fotonya diberi sentuhan airbrush, maka tingkat keberhasilan pengenalannya tidak mencapai 40 persen.
Membekas Lebih Kuat
Derrick Watson, salah satu penulis penelitian yang juga berasal dari University of Warwick, mengatakan, "Gambar-gambar memiliki pengaruh kuat dalam ingatan kita, sehingga jika orang tidak bisa membedakan perincian yang nyata dan palsu dalam foto, maka manipulasi sering mengubah apa yang kita percaya dan ingat."
Menurut para peneliti, mereka sedang melakukan penelitian lanjutan untuk menentukan apakah ada cara untuk membantu orang mengenali foto-foto palsu secara mata telanjang.
Misalnya, ada kemungkinan untuk melatih orang menjadi cermat ketika ada foto yang melawan hukum alam seperti dalam contoh arah bayangan yang tidak wajar sehubungan dengan sumber cahaya yang ada dalam suatu foto.
Bahkan pengamatan lebih cermat bisa membantu orang mengenali foto rekayasa. Dalam eksperimen lain, para peneliti membagi gambar-gambar dalam 12 sektor dan meminta orang untuk menemukan bagian yang telah diubah walaupun orang itu pada awalnya tidak menyangka ada sesuatu yang telah diubah.
Para peneliti mendapati bahwa para peserta lebih mahir dalam melakukan hal itu dan mereka meraih 56 persen dalam menemukan bagian foto yang telah direkayasa.
Nightingale mengatakan, "Tantangannya sekarang adalah untuk mencoba dan menemukan cara-cara membantu orang memperbaiki tugas mengenali foto-foto palsu."
"Kami sedang melakukan penelitian baru untuk melihat apakah orang bisa memanfaatkan tanda-tanda yang khas agar membantu mereka mengenali adanya pemalsuan."
Advertisement