Liputan6.com, Phnom Penh - Suatu waktu, Sephak, seorang gadis muda dari Kamboja, dibawa ke rumah sakit oleh ibunya. Bukan karena mengidap penyakit, si ibu membawa perempuan belia itu untuk menjalani pemeriksaan keperawanan.
Seusai pemeriksaan, petugas rumah sakit memberikan berkas sertifikasi medis kepada si ibu, yang menyatakan bahwa Sephak masih perawan. Selepas dari sana, bukan rumah yang dituju oleh keduanya, melainkan sebuah hotel di area yang terkenal sebagai sentra aktivitas prostitusi anak, di Svay Pak, tepi Ibu Kota Phnom Penh.
Si ibu kemudian menyerahkan anak gadisnya beserta sertifikat medis yang sebelumnya telah diperoleh ke seorang individu, untuk dijadikan objek pemuas nafsu selama tiga hari berturut-turut. Selepas itu, Sephak diserahkan kembali kepada ibunya.
Advertisement
Baca Juga
Saat itu, Sephak baru berusia 13 tahun, ketika ia dijual oleh ibunya untuk menjadi penjaja seksual dalam jurang kelam prostitusi anak di Kamboja. Demikian seperti yang dilansir dari CNN, Rabu (26/7/2017).
Sephak tumbuh di Svay Pak, tepi Ibu Kota, sebuah kawasan pemukiman yang diisi oleh komunitas nelayan miskin. Sejak lama, komunitas tersebut terkenal sebagai pemasok prostitusi anak di Kamboja.
Ibu Sephak, Ann, menjelaskan bahwa keluarganya tengah mengalami masa perekonomian yang sulit. Keluarganya bahkan meminjam uang senilai US$ 6.000 kepada rentenir.
Keluarga Ann tak bisa membayar, dan di satu sisi, bunga pinjaman terus berkembang. Mereka pun diteror oleh para penagih hutang yang bekerja untuk lintah darat yang meminjamkan uang kepada Ann.
Terdesak, Ann akhirnya menerima tawaran seorang perempuan yang menjadi germo, yang bersedia memberikan US$ 800 untuk meringankan hutangnya kepada lintah darat. Fulus itu ditukarkan untuk keperawanan Sephak, anak gadis Ann yang berusia 13 tahun.
Setelah itu, Ann memaksa Sephak untuk mulai bekerja di rumah bordil. Namun kini, sang ibu mengatakan bahwa ia sangat menyesali keputusan untuk menjual putrinya.
Kemiskinan dan Prostitusi Anak di Kamboja
Kini, Sephak telah dibebaskan, keluar dari masa lalu kelamnya. Pembebasan perempuan --yang kini telah dewasa-- itu diinisiasi oleh Agape International Missions (AIM), sebuah organisasi non-profit yang bergerak di ranah anti-perdagangan manusia dan prostitusi anak.
Saat ini, Sephak berusaha untuk menyusun kembali puing-puing kehidupannya yang dulu sempat nampak hancur, dengan bekerja dalam sebuah program pembinaan yang dikelola AIM. Bersama belasan perempuan lain yang memiliki masa lalu serupa, perempuan asal Svay Pak itu mencari nafkah di pabrik milik AIM, membuat kerajinan tangan, aksesoris, dan pakaian.
"Hari ini, saya merasa lebih stabil dari sebelumnya. Tak begitu stabil, namun cukup. Saya memiliki pekerjaan yang layak sekarang," jelas Sephak.
Don Brewster, mantan pastor yang berkewarganegaraan Amerika Serikat, mendirikan AIM pada 2005. Organisasi itu memiliki misi untuk memerangi perdagangan anak --termasuk yang dieksploitasi secara seksual-- di Kamboja.
Saat ini, AIM mengklaim telah menyelamatkan sekitar 700 korban perdagangan manusia.
Wilayah operasi organisasi yang didirikan Brewster itu berfokus di Svay Pak. Sebagai kawasan dengan perekonomian di bawah garis marjinal --rerata satu dolar per-hari, per-individu--, area tersebut kerap menjadi pemasok manusia yang diperdagangkan dan diperbudakkan.
Penduduk Svay Pak kebanyakan adalah orang Vietnam yang tidak memiliki dokumen catatan sipil, tinggal di rumah perahu bobrok di Sungai Tonle Sap, dan bekerja sebagai nelayan tradisional.
"Ketika kita berbicara perdagangan manusia untuk dieksploitasi secara seksual, Svay Pak merupakan episentrum fenomena itu," jelas Don Brewster.
"Dulu, setiap gadis muda kelahiran Svay Pak, 100 persen pasti akan diperdagangkan untuk prostitusi anak. Mungkin sekarang hanya beberapa di antara mereka yang bernasib buruk seperti itu," tambah pendiri AIM itu.
Sementara itu, Eric Meldrum, Direktur Investigasi AIM mengatakan bahwa, faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab primer yang membuat para anak perempuan dan gadis remaja terjerembab ke dalam jurang kelam prostitusi.
"Mereka berasal dari keluarga miskin, tinggal di wilayah miskin, minim edukasi, dan tanpa pekerjaan. Industri seksual komersial merupakan rute alternatif mereka untuk menghasilkan uang. Sebagian besar terjun ke lingkaran kelam itu karena keterpaksaan dan himpitan hidup," jelas Meldrum.
Namun, Meldrum juga mengindikasikan bahwa ada sebagian ibu yang secara sengaja menjebloskan anak gadis mereka ke dalam jurang kelam prostitusi anak.
"Sulit dipahami untuk kasus yang seperti itu. Si ibu tidak memiliki uang, maka ia memaksa anaknya untuk bekerja di sektor industri seksual komersial. Hanya sedikit ibu yang sadar bahwa anak mereka sungguh mengalami penderitaan yang sangat besar," ujar Meldrum.
Upaya Pemberantasan
Don Brewster menjelaskan, saat ini, fenomena prostitusi anak mengalami perubahan pola. Dulu, remaja perempuan dan gadis muda yang dieksploitasi secara seksual, ditempatkan di sebuah rumah bordil khusus untuk prostitusi anak di Svay Pak.
Namun kini, fenomena itu terjadi secara mikroskopis, seperti pada kasus Sephak. Transaksi bejat itu dilakukan antar individu, secara terselubung, di hotel atau penginapan, dan bukan di rumah bordil seperti dulu.
"Pola seperti itu, sulit untuk dideteksi dan dicegah," ungkap Brewster.
Eric Meldrum, Direktur Investigasi AIM, mengaku bahwa pihaknya rutin bekerja sama dengan aparat penegak hukum setempat, untuk memburu pelaku dan menyelamatkan korban perdagangan manusia. Selama tiga tahun terakhir, menurut klaim Meldrum, kerja sama krusial AIM dan kepolisian telah berhasil menyelamatkan 130 gadis remaja di 50 lokasi penyerbuan yang intens menjadi area perdagangan manusia.
"Kepolisian telah bekerja dengan baik. Kami bekerja sama dengan mereka, yang memiliki komitmen untuk memberantas fenomena tersebut," jelas Meldrum.
Berdasarkan laporan 'Trafficking in Persons Report (TIP) 2017, US State Department', Kamboja masuk dalam kategori negara yang tidak memenuhi standar minimum dalam upaya pemberantasan perdagangan manusia.
Akan tetapi, laporan TIP Kemlu AS itu juga menyebut bahwa Phnom Penh telah melakukan upaya signifikan dalam memerangi fenomena tersebut, salah satunya dengan menggencarkan penghukuman yang diberikan sistem peradilan pidana kepada para pelaku perdagangan manusia.
Saksikan juga video berikut ini