Liputan6.com, Wina - Baru-baru ini, dunia maya dihebohkan dengan kabar yang menyebut bahwa 5.000 warga Indonesia mendaftar untuk pindah ke negara di angkasa luar. Negara yang dimaksud bernama Asgardia.
Berdasarkan pantauan Liputan6.com, jumlah pendaftar dari Indonesia yang mendaftar untuk menjadi warga negara tersebut naik dalam waktu singkat. Hanya dalam beberapa hari, jumlahnya naik menjadi 7.298 jiwa -- menempati urutan ke-9 dari 226 negara.
Negara yang akan berlokasi di angkasa luar itu dicetuskan oleh ilmuwan Rusia Igor Ahusrbeyli pada 2013. "Negara pertama di angkasa" yang didirikan oleh sekelompok ilmuwan, insinyur, pebisnis, dan para pengacara tersebut, salah satu tujuan nasionalnya adalah menjadi "pelindung Bumi".
Advertisement
"Asgardia akan menjadi sebuah tempat di orbit yang benar-benar 'tak bertuan'," demikian tertera di situs resmi negara tersebut.
"Untuk kali pertamanya dalam sejarah, negara baru diciptakan, bukan di Bumi, tapi di langit." Semacam "negeri di atas awan".
Dalam mitologi nordik, Asgard adalah kota di angkasa, negara para dewa. Asgardia disebut sebagai realisasi impian abadi manusia untuk meninggalkan tempat lahirnya di Bumi dan berkembang ke alam semesta.
Selain itu, terdapat sejumlah fakta menarik soal Asgardia. Berikut 4 di antaranya:
Penduduk dan Tujuan Negara Asgardia
1. Seluruh Penduduk Bumi Bisa Jadi Warga Negaranya
Meski disebut sebagai negara, Asgardia belum memiliki bendera, lagu kebangsaan, atau lambang resmi. Namun hingga kini, entitas tersebut masih dalam tahap persiapan, dengan masing-masing terdapat 12 versi yang diusulkan.
Menurut situs resminya, negara baru tersebut mengundang semua orang untuk bergabung. "Semua manusia hidup di Bumi bisa jadi warga negara Asgardia."
Hingga 26 Juli 2017, jumlah pendaftar mencapai 276.770. Jumlah tersebut naik sebanyak 100.000 jiwa dalam waktu kurang dari satu tahun.
Hingga kini, Asgardia belum diakui satu negara manapun di dunia ataupun oleh PBB.
2. Pelindung Bumi Jadi Tujuan Utamanya
Tujuan utama Asgardia adalah menciptakan "pelindung" yang membentengi Bumi dari ancaman kosmis, seperti asteroid, badai matahari, maupun puing-puing angkasa yang rentang menembus atmosfer.
Gagasan tersebut dinilai sangat ideal. Sebab, hingga saat ini, lembaga antariksa papan atas dunia belum mengetahui bagaimana mencegah satelit mereka bertabrakan, apalagi menghentikan sebuah batu angkasa menabrak Bumi.
Satelit pertama negara tersebut, Asgarida-1, dijadwalkan akan diluncurkan pada musim gugur 2017 menuju Stasiun Angkasa Luar Internasional (ISS). Dari sana, satelit itu akan bergerak menuju 400 km dari atas Bumi.
Ashurbeyli, yang juga pengusaha, diyakini menyediakan sejumlah besar modal untuk meluncurkan proyek tersebut. Belum jelas dari mana dana besar untuk mempertahankan misi yang pastinya tak murah itu bakal datang.
"Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan sebuah platform legal untuk menjamin perlindungan pada Bumi dan menyediakan akses teknologi antariksa bagi mereka yang belum punya akses saat ini," kata Ashurbeyli kepada Guardian.
Advertisement
Wilayah Fisik dan Sengketa Hukum
3. Belum Memiliki Wilayah Fisik
Hingga saat ini, Asgardia masih berupa angan-angan, meski situs negara tersebut digarap secara serius. Igor Ashurbeyli mengatakan, secara teoritis penduduk Bumi bisa menjadi warga "negeri di atas awan" itu tanpa harus meninggalkan rumah. Cukup mendaftar dengan perantara internet.
Menurutnya, warga negara Asgardia belum bisa tinggal di atas satelit yang mengorbit.
"Secara fisik, warga negara Asgardia akan berada di Bumi. Mereka tinggal menyebar di berbagai negara di Bumi," kata Ashurbeyli, seperti dikutip dari News.com.au.
"Mereka bisa jadi warga suatu negara (sungguhan) dan pada saat bersamaan jadi warga negara Asgardia."
Saat ini, asgardian--sebutan untuk warga Asgardia, paling banyak berasal dari Turki, China, Amerika Serikat, Brasil, dan Inggris. Di posisi keenam hingga sepuluh adalah Italia, Meksiko, India, Indonesia, dan Spanyol.
4. Masih Tersandung Sengketa Hukum
Perjanjian Angkasa Luar PBB mengatur, angkasa adalah milik manusia dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk seluruh umat. Tak ada satu pihak pun yang bisa mengklaim Bulan, Matahari, dan objek langit lainnya.
Perjanjian juga memberi tugas kepada bangsa-bangsa dalam hal pengawasan kegiatan angkasa--baik melalui badan pemerintah, perusahaan komersial, ataupun organisasi nirlaba.
Suatu negara kemudian bertanggung jawab atas kerusakan apa pun yang mungkin saja disebabkan peluncur maupun satelit, baik di angkasa maupun di mana pun di Bumi.
Profesor Sa'id Mosteshar, Direktur London Institute of Space Policy and Law, meragukan Asgardia bisa diakui sesuai hukum internasional.
"Perjanjian Angkasa Luar, yang diterima siapa pun, mengatur dengan jelas bahwa tak ada satu bagian pun di angkasa luar yang bisa diklaim sebuah negara," kata dia.
Mengingat Asgardia tidak punya wilayah teritorial, sementara "warga negaranya" masih berada di Bumi, peluang untuk diakui sebagai negara, menurut Mosteshar, sangat kecil.