Liputan6.com, Los Angeles - Pada suatu pagi yang tak disangka, pada 5 Agustus 1962, artis dan simbol seks Amerika Serikat ternama Marilyn Monroe ditemukan tewas oleh psikiaternya, Dr. Ralph Greenson, di kamar tidur rumahnya di Brentwood, Los Angeles.
Dokter Greenson dipanggil ke lokasi oleh pengurus rumah tangga Monroe, Eunice Murray, yang menginap dan terbangun pukul 03.00 pagi, setelah merasakan 'sesuatu hal yang tidak beres' di kediaman tersebut.
Baca Juga
Menurut penuturan Murray, ia melihat cahaya dari bawah pintu kamar tidur Monroe. Si asisten rumah tangga itu mencoba mengetuk pintu, tapi tidak mendapat tanggapan. Saat hendak membukanya, Murray mendapati pintu kamar itu terkunci.
Advertisement
Murray pun menghubungi Greenson. Sekitar 50 menit kemudian, psikiater itu tiba, kemudian --bersama dengan Murray-- mendobrak pintu kamar sang megabintang, dan menemukan Monroe tewas.
Tewasnya sang artis ternama itu dikonfirmasi oleh dokter pribadi, Hyman Engelberg, yang datang beberapa saat kemudian. Menurut keterangan medis, Monroe tewas akibat overdosis barbiturat, sebuah zat yang biasa terkandung dalam obat anti-depresan.
Padahal, sehari sebelumnya, Monroe nampak sehat bugar. Hal itu diketahui dalam sebuah rekaman video berikut yang merupakan momen terakhir sang arti seksi yang tertangkap kamera. Demikian seperti yang dilansir dari The Vintage News, Senin (31/7/2017).
Kematian Monroe yang tak terduga menjadi berita halaman depan di Amerika Serikat dan Eropa. Tak hanya itu, fenomena tersebut menimbulkan efek riak di sejumlah kawasan di Negeri Paman Sam.
Menurut profesor sejarah Lois Banner, tingkat bunuh diri di Los Angeles meningkat dua kali lipat dan kuantitas sirkulasi sebagian besar surat kabar di wilayah itu mengalami eskalasi pada Agustus 1962.
Tak hanya itu, surat kabar Chicago Tribune melaporkan bahwa mereka telah menerima ratusan telepon dari anggota masyarakat yang meminta informasi tentang kematian Monroe.
Menurut sirkulasi yang beredar, dipercaya bahwa Monroe bunuh diri akibat depresi dan mengalami sejumlah permasalahan psikis.
Dan sejumlah rekan kerjanya menduga bahwa depresi tersebut diperoleh akibat sepak terjang Monroe di dunia hiburan.
Seniman Prancis Jean Cocteau berkomentar bahwa kematian Monroe merupakan sebuah 'pelajaran yang mengerikan bagi semua orang, yang pekerjaan utamanya adalah memata-matai dan menyiksa bintang film'. Komentar itu ditujukan untuk menyindir para individu yang menggeluti industri hiburan, khususnya para agen pengeksploitasi bintang muda demi profit.
Laurence Olivier, lawan main Monroe dalam film The Prince and the Showgirl (1957) menganggap mitra kerjanya merupakan korban dari 'publisitas berlebihan dan sensasi' --sisi gelap industri hiburan.
Dan Joshua Logan, sutradara film Bus Stop (1956) yang dibintangi Monroe menyatakan bahwa sang aktris adalah 'salah satu orang yang paling tidak dihargai di dunia' --menuduh para konsumen dunia hiburan yang kala itu hanya memandang perempuan bernama asli Norma Jean Baker itu sebagai objek ketimbang subjek.
Popularitas abadi Monroe terkait dengan citra publiknya yang bertentangan dengan citra pribadinya.
Di satu sisi, ia digadang-gadang sebagai simbol seks, ikon kecantikan, dan salah satu bintang paling terkenal di era Hollywood klasik.
Di sisi lain, Monroe tak bisa melarikan diri dari kehidupan pribadinya yang bermasalah, riwayat permasalahan di masa kecil dan remaja, serta perjuangannya untuk meraih penghormatan profesional di bidang pekerjaannya.
Kematian Monroe membuat para akademisi dan penulis yang tertarik pada isu gender, emansipasi perempuan, dan feminisme --seperti Gloria Steinem, Jacqueline Rose, Molly Haskell, Sarah Churchwell, dan Lois Banner-- untuk mengkaji pun menganalisis kehidupan serta aspek politik-sosial-budaya sang megabintang.
Steinem melihat Monroe sebagai korban dari sistem studio dan industri dunia hiburan. Yang lain, seperti Haskell, Rose, dan Churchwell, menekankan peran proaktif dan partisipasi karir Monroe yang berkontribusi dalam menciptakan kepribadian publiknya.
Â