Liputan6.com, Jakarta - Tema atasan yang buruk lazim menjadi bahan cerita dalam film dan televisi. Tingkah bos seperti ini tak jarang lucu untuk ditonton.
Akan tetapi, lain ceritanya jika kita bekerja untuk seorang atasan yang buruk.
Para peneliti dari Harvard Business School dan Stanford University di Amerika Serikat (AS) melakukan analisis kecil terhadap temuan 200 penelitian yang dilakukan untuk memahami dampak stres di tempat kerja.
Advertisement
Mereka mendapati bahwa ketakutan kehilangan pekerjaan membuat kita lebih berkemungkinan mengalami kesehatan yang buruk.
Memiliki pekerjaan yang menuntut banyak hal juga membuat kita lebih berkemungkinan didiagnosis sakit oleh dokter.
Kegamangan pekerjaan dan tuntutan tiada henti seperti itu mencirikan lingkungan yang diciptakan oleh atasan-atasan yang buruk.
Baca Juga
Bukan hanya itu, pengukuran oleh Harvard University dan Stanford mendapati bahwa dampak negatif atasan yang buruk pada kesehatan serupa dengan dampak buruk pada orang-orang yang terpapar asap rokok tangan ke-2 (second-hand smoke).
Seperti dikutip dari theladders.com pada Jumat (11/8/2017), atasan-atasan yang buruk ada lebih banyak daripada yang kita kira.
Suatu penelitian baru oleh American Psychological Association melaporkan bahwa 75 persen pekerja Amerika menyebutkan, atasan menjadi bagian terburuk dan paling memberi stres dalam pekerjaan.
Sekitar 60 persen pekerja AS lebih memilih memiliki atasan baru daripada kenaikan gaji.
Jelaslah bahwa atasan-atasan yang buruk memiliki dampak membahayakan terhadap kesehatan dan produktivitas karyawan. Tapi tidak banyak yang dilakukan oleh mereka yang bekerja untuk atasan-atasan yang buruk.
Memiliki seorang atasan yang buruk bukan hanya mengganggu, tapi bisa menyebabkan kerusakan sesungguhnya pada kesehatan mental dan fisik.
Jadi, kalau memiliki atasan yang buruk, berhenti mengatakan kepada diri sendiri untuk bertahan. Lakukan perhitungan obyektif tentang kerusakan yang kita alami.
Sekitar 27 persen orang yang bekerja untuk atasan yang buruk segera hengkang setelah mendapatkan pekerjaan baru dan sekitar 11 persen hengkang walaupun belum menemukan pekerjaan baru.
Yang menarik, sekitar 59 persen tetap bertahan. Angka mengkhawatirkan itu mencerminkan orang-orang yang hidup dengan stres berlebihan dan menderita dampak sedikit-demi-sedikit (trickle down effect) kepada kewarasan dan kesehatan mereka.
Ada banyak teori untuk menjelaskan alasan orang terus bekerja untuk atasan yang buruk, mulai dari Stockholm Syndrome hingga kesetiaan kepada perusahaan.
Kadang-kadang, alasannya adalah sindrom "tempat duduk nyaman" karena upaya untuk menemukan pekerjaan baru rasanya terlalu merepotkan.
Masalahnya, semakin lama orang terus bersama dengan atasan yang buruk, semakin sulit untuk meyakinkan diri agar pergi dan semakin besar kerusakannya pada pikiran, tubuh, dan keluarga.
Itulah sebabnya penting bagi kita untuk mengetahui caranya mengenali ciri-ciri seorang atasan yang buruk sebelum kita terjerumus terlalu dalam sehingga sukar hengkang.
Berikut ini adalah beberapa hal kritis yang harus diperhatikan:
1. Meremehkan (Belittling)
Kadang-kadang, para atasan memang perlu memberikan umpan balik (feedback) terhadap unjuk kerja (performance) karyawan walau tidak enak didengar sekalipun.
Namun, ada segelintir atasan yang terkesan amat menikmati melakukan yang tidak enak itu, apalagi kalau ada penonton.
Mungkin kita juga tidak menginginkan seorang atasan yang tidak mau memberikan umpan balik yang tegas, tapi pasti kita tidak mau bekerja untuk seseorang yang menikmati mengkritik dan menyalahkan.
Jika seperti itulah jenis atasan, segeralah menyingkir demi kesehatan.
Advertisement
2. Ledakan Amarah (Temper Tantrum)
Seperti semua orang lain, atasan juga mempunyai hari-hari yang buruk. Adanya tekanan bisa membuat atasan lepas kendali, tapi hal demikian tidak seharusnya secara reguler.
Jika seorang atasan langsung kehilangan kendali setiap kali ada sesuatu yang tidak tepat seperti yang diinginkannya, maka tiba saatnya untuk berpikir ulang tentang pekerjaan kita.
Entah diarahkan kepada kita, kepada atasannya, atau memang alamiahnya begitu, tantrum menciptakan nada emosional negatif yang menyebar di tempat kerja.
Tantrum membuat orang enggan dan waspada. Orang berhenti mengutarakan pendapat dan berbagi gagasan-gagasan kreatif karena takut diserang balik.
Jika kita mendengar atasan berteriak di ujung ruangan dan kita malah berpikir "Nah, berulang lagi,", maka sudah saatnya untuk move on.
Â
Saksikan juga video menarik berikut ini:
3. Ekspektasi Tak Masuk Akal
Beberapa atasan memandang bawahan seperti halnya mereka melihat anak-anak kecil memandang guru-guru mereka – seakan tidak ada identitas lain di luar pekerjaan mereka.
Mereka tidak begitu mengerti berpikir tentang pentingnya kewajiban keluarga, hobi, atau apa pun di luar kantor karena tidak mengena pada mereka.
Mereka itulah atasan yang mengharapkan kita bekerja berlama-lama tanpa alasan, padahal hanya untuk manfaat yang sedikit.
Kalau kita merasa telah mengecewakan atasan setiap kali pulang ke rumah, berarti kita sedang bekerja dalam lingkungan yang tidak sehat.
Advertisement
4. Gagal Memimpin Melalui Teladan
Satu hal yang paling mengganjal bagi para karyawan adalah seorang atasan yang tidak melakukan apa yang dikatakan.
Sukar rasanya untuk bisa merasa mendapat inspirasi dan menganggap serius pekerjaan kita jika orang yang menetapkan standar pun tidak menjalani ekspektasi yang ditetapkannya sendiri.
Jika atasan termasuk yang seperti itu, maka saatnya untuk melangkah pergi.