Liputan6.com, New York - Menjadi jurnalis itu bukan tugas yang mudah. Tak mesti harus selalu berada di zona aman. Banyak tantangan dan banyak pula ancaman. Butuh mental baja jika ingin terjun ke dunia seperti ini. Belum lagi hiruk-pikuk dunia perpolitikan, praktik korupsi dan permasalahan sosial yang harus diangkat ke masyarakat.
Baca Juga
Advertisement
Apa lagi kerja jurnalis yang tak kenal waktu. Tak ada batasan seorang jurnalis harus pulang ke rumah, berkumpul dan bercengkrama dengan keluarga. Tak perduli pagi, siang dan malam. Tak perduli petir, hujan dan badai, tugas meliput dan mengungkap sebuah fakta harus tetap dilaksanakan.
Tak hanya menemui kesulitan di medan peliputan, ada permasalahan pelik yang harus ditemui oleh para jurnalis. Di sejumlah negara, kebebasan pers dan jurnalisme merupakan barang langka. Masih ada sejumlah pegiat jurnalistik di sejumlah tempat di mancanegara yang terbelenggu dalam melakukan aktivitasnya.
Seperti pada kebanyakan kasus, salah satu faktor utama penyebab terbelenggunya kebebasan pers adalah, pemerintah yang tidak menghargai kebebasan bagi para jurnalis untuk melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai corong informasi, kubu kritik pemangku kekuasaan, hingga pengungkap kebenaran untuk publik.
Meski begitu, jadi jurnalis adalah sebuah panggilan jiwa. Seberat apapun jurnalis sejati akan selalu melaksanakan tugasnya demi kepentingan orang banyak.
Seperti dikutip dari laman Listverse.com, Selasa (15/8/2017) berikut 5 jurnalis tangguh dalam sejarah:
1. William Howard Russell
William Howard Russell adalah reporter perang pertama yang berdedikasi dalam sejarah. Russell dikenal sebagai orang Irlandia yang keras kepala dan susah diatur. Meski begitu, The Times of London mengirim Russell untuk meliput Perang Krimea -- sebuah perang besar tahun 1953 antara Rusia, Inggris, Prancis yang membunuh hampir satu juta orang.
Sementara di sana, Russell malah mabuk-mabukkan dan melakukan hal- yang tak diharapkan.
Namun, ada satu hal yang dilakukan oleh Russell dan mampu mengubah wilayah tersebut. Ia menulis banyak nyawa yang berjatuhan di sana. Jasad para prajurit perang dan orang biasa bergeletakan dan tak diurus sama sekali.
Tak hanya menggambarkan kondisi Krimea yang dipenuhi lautan jasad, tetapi Russell juga menggambarkan banyak warga sakit bahkan sekarat yang terbengkalai.
Tulisan ini banyak dibaca oleh orang dan menimbulkan rasa prihatin yang mendalam. Para tentara perang sangat membenci laporan ini. Pada satu momen, tentara mencoba menakut-nakuti Russell agar pergi dari wilayah tersebut.
Namun bukan jurnalis tangguh kalau Russell harus menyerah begitu saja. Ia tetap tinggal dan melanjutkan laporan-laporannya.
Banyak reaksi publik yang menuntut para tentara Inggris untuk membangun rumah sakit dan mengobati orang-orang luka. Mulai dari laporannyalah sebuah rumah sakit di Krimea mulai dibangun.
Advertisement
2. Nellie Bly
Nellie Bly adalah seorang jurnalis investigasi berkebangsaan Amerika Serikat. Oleh editornya, Bly ditugaskan untuk meliput kondisi rumah sakit jiwa Blackwell pada tahun 1887.
Rumah sakit jiwa itu diduga melakukan praktik kekejaman terhadap para pasien. Setelah berkomitmen dan siap untuk ditugaskan, Bly harus menghabiskan waktunya selama 10 hari dan tinggal bersama pasien lainnya.
Untuk bisa masuk ke rumah sakit jiwa, Bly harus menyamar menjadi pasien gila. Ia berpura-pura seolah kehilangan akal dan berprilaku persis seperti orang gila.
Setelah berhasil masuk, Bly kaget bukan main ketika melihat banyak pasien gangguan jiwa yang dipukul, dicekik dan disiksa oleh perawat rumah sakit.
Bahkan salah satu perawat memaksa seorang pasien untuk duduk di bangku keras, menatap lurus ke depan, tak diperbolehkan berbicara, bergerak ataupun tidur.
Hal itu segera ditulis oleh Bly dalam sebuah kertas. Ketika laporannya keluar, rumah sakit jiwa Blackwell mengalami masa-masa sulit atas segala penyalahgunaannya. Mereka menyepak keluar pasien yang sudah dijadikan Bly sebagai narasumber.
Berkat laporan dari Bly, pemerintah Amerika Serikat merombak segala bentuk sistem penanganan terhadap pasien penderita gangguan jiwa.
3. Ida Tarbell
Ida Tarbell adalah seorang putri pengusaha minyak. Kala itu usianya masih 14 tahun dan melihatt John D Rockefeller menghancurkan bisnis keluarganya setelah sang ayah menolak menjual perusahaannya kepada perusahaan minyak Rockfeller.
Setelah 30 tahun kemudian, Tarbell menulis sebuah berita 19-part hit job on Rockefelle untuk majalah McClure. Di dalam tulisannya, Tarbell mencantumkan beberapa bukti bahwa Rockefeller's Standard Oil menjalankan monopoli minyak bak kelompok mafia.
Melalui wawancara panjang, ratusan jam membaca catatan dan belajar lebih banyak tentang bisnis minyak, Tarbell mengungkap tindakan spionase (praktik pengintaian) yang menakjubkan.
Ada indikasi kolusi dan melanggar undang-undang monopoli. Ia juga menunjukkan bukti bahwa Rockefeller terlibat dalam upaya menghancurkan perusahaan minyak kecil dan menciptakan monopoli. Dengan kata lain, hanya Rockefeller lah yang hanya boleh menjual minyak di masyarakat.
Akibat perbuatannya itu, perusahaan Rockefeller harus mendapat hukuman berkat tulisan Tarbell.
Advertisement
4. Seymour Myron
Pembantaian My Lai adalah pembantaian yang dilakukan oleh tentara AS terhadap ratusan warga sipil Vietnam yang tidak bersenjata, dan kebanyakan perempuan dan anak-anak, pada 16 Maret 1968, pada saat Perang Vietnam.
Pembantaian ini menjadi lambang kejahatan perang Amerika di Vietnam, dan segera membangkitkan kemarahan di seluruh dunia serta mengurangi dukungan masyarakat di dalam negeri terhadap perang itu sendiri. Peristiwa ini kadang kala dikenal dengan nama Pembantaian Son My atau Pembantaian Song My.
Ada oknum yang bertanggung jawab atas segala kekacauan ini. Seorang Letnan bernama William L. Calley adalah aktor utama di balik kejadian itu.
Diduga, prajurit AS membantai penduduk desa yang tak bersalah dan menyeret jasad mereka ke selokan.
Sudah ada penyelidikan tentang peristiwa ini. Namun, tim investigasi yang dibentuk sendiri oleh Calley tak menemukan bukti apa-apa.
Ketika penyelidikan kedua dilancarkan, wartawan senior bernama Seymour Hersh diterjunkan untuk mengungkap kasus tersebut.
Saat melakukan investigasi, Seympur melihat ada indikasi pembunuhan massal di sana. Masyarakat Amerika Serikat kaget, sebab perang Vietnam sudah tak lagi populer. Namun, adanya laporan pembunuhan massal di sana membuat orang kaget. Terlebih Calley adalah dalang di balik peristiwa tersebut. Ia dihukum dan meminta maaf 40 tahun setelah kejadian tersebut.
5. Paul Dacre
Pada tahun 1997, seorang editor dari Daily Mail, Paul Dacre mengejar pembunuh remaja kulit hitam bernama Stephen Lawrence. Meski kasus tersebut sulit diungkap, Dacre tak berhenti di situ saja sampai keadilan selesai.
Kejadian bermula ketika Lawrence terbunuh oleh lima pemuda kulit putih di sebuah jalan kota London pada tahun 1993.
Seorang perwira yang bekerja di kantor kepolisian ternyata telah berbohong tentang laporannya dan mengatakan bahwa para pembunuh sudah pergi entah ke mana.
Dacre semakin menjadi-jadi, pada Hari Valentine 1997, ia menempelkan beberapa poster di jalanan dengan gambar lima pemuda tersebut. Pada poster terdapat tulisan 'Pembunuh'.
Kampanye lewat secarik kertas itu memicu minat publik terhadap kasus pembunuhan tersebut dan menyebabkan beberapa pihak polisi untuk mengusut tuntas kasus ini.
Pada tahun 2011, dua dari lima pemuda itu dipenjara seumur hidup. Hingga tahun 2017 Daily Mail masih berkampanye untuk mencari tiga lainnya.
Advertisement