Sukses

Tak Mengeluarkan Sabun untuk Tangan Kulit Hitam, Mesin Ini Rasis?

Menurut spesifikasi produk, alat itu memakai sensor merah infra untuk mendeteksi tangan dan kemudian menyemprotkan sabun.

Liputan6.com, Lagos - Sebuah video tentang dispenser otomatis sabun kamar mandi memicu perdebatan warganet karena dugaan rasisme terhadap manusia yang berkulit lebih gelap.

Lebih jauh lagi, kejadian dalam tayangan itu mengusik pertanyaan tentang rasisme dalam bidang teknologi dan juga kurangnya keberagaman dalam industri pembuatnya.

Dikutip dari Daily Mail pada Jumat (18/8/2017), video itu menjadi viral setelah diunggah ke Twitter oleh akun Chukwuemeka Afigbo pada Rabu lalu. Ia adalah pegawai Facebook yang menjabat sebagai kepala kerjasama rekanan platform untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika.

Ia mencuit demikian, "Kalau Anda masih sukar juga mengerti pentingnya keberagaman dalam dunia teknologi dan dampaknya pada masyarakat, silahkan nonton video ini."

Video dimulai dengan tayangan seorang pria kulit putih yang melambaikan tangannya di bawah sebuah penyemprot (dispenser) sabun dan ia langsung mendapatkan semprotan sabun dalam kibasan pertama.

Kemudian, seorang pria berkulit lebih gelap melambaikan tangan di bawah perangkat itu dalam berbagai arah selama 10 detik. Sabun tidak juga disemprotkan.

Untuk mebuktikan bahwa warna kulit menjadi penyebabnya, pria dalam tayangan kemudian melambaikan kertas putih di bawah dispenser. Nah, perangkat itu langsung menyemprotkan sabun.

Cuitan (tweet) itu sudah dibagikan lebih dari 93 ribu kali. Video itu sendiri sudah ditonton lebih dari 1,86 juta kali.

Ada 1.800 komentar yang kebanyakan menyebut kejadian itu sebagai bukti kurangnya keberagaman dalam dunia teknologi.

Di lain pihak, sejumlah warganet lain menganggap kecurigaan itu berlebihan. Menurut mereka, kemampuan dispenser itu tidak ada hubungannya dengan ras dan keberagaman.

2 dari 3 halaman

Mengandalkan Sensor Infra Merah

Menurut spesifikasi produk, alat itu memakai sensor merah infra untuk mendeteksi tangan dan kemudian menyemprotkan sabun. (Sumber Twitter/@nke_ise)

Dispenser sabun itu diduga dibuat oleh suatu pabrikan China bernama Shenzhen Yuekun Technology.
Harga ecerannya sekitar US$ 15 kalau dibeli borongan dan diiklankan sebagai kotak sabun otomatis disinfektan 'touchless' – tanpa sentuh.

Menurut spesifikasi produk, alat itu memakai sensor merah infra untuk mendeteksi tangan dan kemudian menyemprotkan sabun.

Sensor infra merah menjalankan fungsinya dengan mengukur cahaya merah infra (infra red, IR) yang memancar dari benda dalam bidang pandangnya.

Caranya, dispenser itu memancarkan cahaya kasat mata dari lampu LED merah infra, lalu sensor membaca pantulan cahaya dari tangan pemakai.

Sensor-sensor seperti itu memang memiliki riwayat kegagalan mendeteksi kulit yang berwarna lebih gelap.

Kulit yang berwarna lebih gelap menyerap cahaya merah infra, bukan memantulkannya. Jadi, sensor tidak menerima cahaya pantulan dan sabun pun tidak disemprotkan.

Richard Whitney, vice presiden suatu produk bernama Particle, pada 2015 menjelaskan kepada laman Mic, "Jika benda pemantulnya malah menyerap cahaya, maka sensor tidak akan pernah terpicu karena cahaya yang mengenainya tidak cukup."

 

 

Simak kejanggalan alat dispenser sabun itu berikut ini:

3 dari 3 halaman

Teknologi 'Rasis' Lainnya

Salah satu teknologi yang juga dituding bersifat rasis adalah kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI).

Dalam suatu kasus lomba kecantikan pertama sedunia yang dinilai menggunakan AI, program komputer yang menilai peserta tidak memilih satupun wanita kulit berwarna dari antara hampir 50 peserta.

Perusahaan pembuatnya menjelaskan kepada Observer, "Sistem kendali mutu yang kami ciptakan mungkin telah mengecualikan beberapa gambar ketika latar belakang dan warna wajah tidak memungkinkan analisis yang secukupnya."

Di awal tahun ini, terungkap adanya suatu perangkat kecerdasan buatan yang memunculkan bias rasial maupun gender.

Seorang ilmuwan komputer Joanna Bryson dari University of Bath dan sekaligus menjadi penulis penelitian mengatakan kepada Guardian bahwa AI memiliki potensi memperkuat bias yang memang sudah ada.

Ia mengatakan, "Banyak orang bilang bahwa hal ini menjadi bukti AI menghakimi (prejudice). Bukan begitu, sebenarnya kitalah yang menghakimi dan AI hanya mempelajarinya."