Sukses

Popularitas Presiden Prancis Merosot Tajam, Dipicu 3 Isu Ini?

Empat bulan berkuasa, popularitas Macron merosot tajam. Lebih dari separuh warga Prancis tidak puas atas kepemimpinannya.

Liputan6.com, Paris - Kemenangan Emmanuel Macron dalam pemilu presiden Prancis pada Mei 2017 lalu menjadi sebuah catatan sejarah. Bukan hanya karena ia mampu mengalahkan kubu sayap kanan yang tengah "naik daun", tapi pria berusia 39 tahun itu menjadi presiden termuda yang menghuni Istana Élysée.

Kala itu, Macron memperoleh 66 persen suara atas lawan utamanya, pemimpin sayap kanan Marine Le Pen, yang hanya mampu meraup 34 persen. Kini, empat bulan setelah memimpin Prancis, popularitas Macron dilaporkan merosot tajam, bahkan jatuh lebih cepat dibanding para pendahulunya.

Hal tersebut ditunjukkan oleh sebuah jajak pendapat yang dirilis pada hari Minggu, ketika Macron bersiap mendorong reformasi perburuhan.

Lebih dari separuh pemilih Prancis, atau sekitar 57 persen, menyatakan tidak puas dengan kepemimpinan Macron setelah pada pekan lalu terungkap bahwa sang presiden menghabiskan Rp 409 juta untuk membayar seorang penata rias selama tiga bulan menjabat. Ini dilakukan Macron demi menyempurnakan penampilannya di muka publik.

Sebelumnya juga muncul protes publik atas wacana pemberian peran konstitusional bagi istrinya, Brigitte Trogneux. Warga juga dikabarkan tidak puas atas penundaan pemotongan pajak yang dijanjikannya. Demikian seperti dikutip dari Telegraph pada Senin (28/8/2017).

Jajak pendapat yang dilakukan Ifop menunjukkan, hanya 40 persen warga Prancis yang masih mendukung kepemimpinan Macron. Angka tersebut menurun 14 persen sejak Juli. Namun, ada pula jajak pendapat lain yang menyebut angka dukungan terhadap Macron jauh lebih rendah, yakni 36 persen.

Keinginan Macron untuk mengintegrasikan politik dan keuangan Prancis yang lebih mendalam dengan Uni Eropa, pertama-tama harus dibuktikannya dengan mereformasi negaranya.

Pada hari Kamis lalu, unjuk rasa pertama pasca-kepemimpinan Macron pecah. Demonstrasi dilakukan oleh serikat pekerja dan kubu kiri terkait dengan reformasi kontroversialnya yang ditujukan untuk membuat perusahaan-perusahaan Prancis lebih kompetitif.

Tantangan lain bagi Macron adalah meyakinkan sebagian besar warga Prancis yang sangat kritis terhadap keanggotaan negara itu di Uni Eropa. Menurut sebuah survei baru-baru ini yang dilakukan oleh Chatham House, hanya 29 persen warga Prancis yang percaya bahwa negara mereka memperoleh keuntungan dari Uni Eropa.

Menanggapi turunnya popularitas Macron, Juru Bicara pemerintah Prancis, Christophe Castaner, mengatakan, "Transformasi Prancis berarti mendekat dengan ketidakpopuleran".

2 dari 2 halaman

Penolakan terhadap Nyonya Macron

Brigitte Trogneux menyatakan, ia tak mau ambil pusing menanggapi petisi penolakan atas dirinya untuk menjadi ibu negara.

"Status saya tidak akan ditentukan oleh undang-undang, tetapi melalui sesuatu yang transparan dan saya tidak mau terima bayaran atas apa yang dituju dan kemampuan saya," papar dia.

"Jadi sikap saya jelas. Masyarakat memilih Emmanuel, bukan saya," kata Brigitte.

Langkah untuk menolak Nyonya Macron agar tidak mengambil peran formal di Istana Élysée dipicu oleh keputusan Emmanuel Macron untuk terus maju dengan undang-undang "moralitas" yang kontroversial. UU ini nantinya akan melarang anggota parlemen untuk mempekerjakan anggota keluarga sebagai upaya mengatasi korupsi.

Sementara itu, peranan First Lady saat ini tidak ada dalam konstitusi Prancis dan biaya yang dikeluarkan istri Presiden diambil dari anggaran umum untuk Istana Élysée.

Meskipun Nyonya Macron tidak akan dibayar untuk peran tersebut, ia akan diberi kantor, staf tambahan, dan anggaran terpisah.

"Ketika Anda terpilih sebagai presiden Republik, Anda tinggal dengan seseorang, Anda bekerja siang dan malam, Anda mengorbankan kehidupan publik dan kehidupan pribadi Anda," kata Macron kepada penyiar TF1 Prancis mengenai peran sang istri.

"Jadi, orang yang tinggal bersama Anda harus memiliki peran dan dikenali dalam peran itu".

Keputusan Macron terhadap undang-undang itu dinilai sangat kontroversial, karena berimbas pada pemotongan belanja militer serta anggaran perumahan.

Dengan manuver Macron yang seperti itu, pada bulan lalu terlihat penurunan popularitas terbesar bagi seorang Presiden Prancis sejak Jacques Chirac pada 1995.

 

Saksikan video menarik berikut: