Liputan6.com, Washington, DC - "Bicara bukan jawabannya!" itu yang diungkapkan Presiden Donald Trump dalam akun Twitternya @realDonaldTrump pada Rabu 30 Agustus 2017.
Kata-kata tersebut disampaikan untuk merespons ketegangan di Semenanjung Korea pasca-peluncuran rudal Korut pada Selasa 29 Agustus 2017. Menurut Trump, Amerika Serikat telah bicara dengan Pyongyang selama 25 tahun dan selama itu, membayar 'uang pemerasan' kepada mereka.Â
Advertisement
Kicauan Trump dikeluarkan setelah badan pelaksana rudal AS atau US Missile Defence Agency (MDA) mengumumkan keberhasilan uji coba rudal pencegat misil balistik jarak menengah. Uji coba dilaksanakan di Kauai, Hawaii.Â
Itu adalah uji coba kedua yang dilakukan, bertepatan dengan eskalasi ketegangan antara Korea Utara dengan AS, setelah Kim Jong-un meluncurkan Hwasong-12 yang melewati langit Hokkaido Jepang.
Baca Juga
Lewat corong media KCNA, diktaktor muda Korut bahkan mengatakan, peluncuran misil terbaru mengawali operasi militer mereka di Pasifik. Kali lain, Guam adalah targetnya. Jika itu dilakukan, niscaya perang tak terelakkan.Â
Selain di Hawaii, AS juga menggelar latihan di situs anti-rudal balistik antar benua (ICBM) di Fort Greely, Alaska.
Dan, ternyata tak hanya itu.Â
Pasca peluncuran rudal Korut, AS juga mengumumkan keberhasilan menguji coba sebuah 'bom gravitasi' (gravity bomb) B61-12 yang dilakukan pada 8 Agustus 2017 di Tonopah Test Range, Nevada.
B61-12 yang dijuluki "bom nuklir termahal yang pernah dibuat" -- juga yang paling bahaya --mampu menghantam target lebih tepat daripada senjata pendahulunya, B61.Â
Seperti dikutip dari AP, B61-12 jauh berbeda dari senjata nonnuklir "mother of all bombs" yang pernah dijatuhkan ke markas ISIS di Afghanistan. Ukuran bom itu masih terlalu besar dan harus diangkut dengan pesawat khusus.Â
Sebaliknya, ukuran B61-12 relatif kecil sehingga bisa dijatuhkan dari jet tempur kursi ganda. Namun, jangan remehkan kekuatannya. Satu bom saja mampu menciptakan bola api berdiameter 1,6 kilometer yang intensitas suhunya diklaim lima kali lipat dari matahari.
Saat uji coba, B61-12 yang tak dipasangi hulu ledak nuklir dijatuhkan dari pesawat F-15E yang bermarkas Nellis Air Force Base.
Badan keamanan nuklir AS, National Nuclear Security Administration (NNSA) mengatakan, tujuan uji coba adalah untuk mengevaluasi fungsi nonnuklir dan kemampuan pesawat tempur untuk mengirimkan senjata tersebut.
"Keberlanjutan program B61-12 berjalan sesuai yang dijadwalkan untuk memenuhi persyaratan keamanan nasional," kata Deputi NNSA, Phil Calbos, dalam pernyataannya, yang dikutip dari situs 9news.com.au, Rabu (30/8/2017).
Dia menambahkan, uji kualifikasi penerbangan yang realistis tersebut memvalidasi desain B61-12 dalam hal kinerja sistem.
Tak hanya itu, ditengarai ada maksud lain di balik uji coba B61-12. AS ingin mengirimkan pesan ini pada Korea Utara: bahwa teknologi senjata Pentagon lebih maju puluhan tahun dari apa yang dimiliki Pyongyang saat ini.
Uji coba tersebut menjadi bagian dari rangkaian proses, yang dijadwalkan selama tiga tahun ke depan, agar B61-12 memenuhi syarat untuk digunakan.Â
Senjata baru itu dijadwalkan untuk diproduksi pada bulan Maret 2020 dan akan menggantikan B61.
Sejumlah analis militer berpendapat, B61-12 memiliki keunggulan dalam hal akurasi. Senjata itu juga bisa disetel pada kekuatan yang bervariasi, untuk mengurangi risiko kerusakan dan potensi korban jiwa di kalangan sipil.Â
Daya ledak bisa disesuaikan, dari setara kekuatan 300 ton hingga 50.000 ton TNT. Sebagai perbandingan, bom yang menghancurkan Hiroshima, Jepang di penghujung Perang Dunia II berkekuatan 15 kiloton atau 15.000 TNT.Â
'Ambisi Nuklir' Donald Trump
Senjata baru B61-12Â dijadwalkan diproduksi pada bulan Maret 2020 dan akan menggantikan B61 yang sudah ada di gudang persenjataan AS sejak 1968.
AS berdalih, pengadaan B61-12 adalah upaya "pembaruan", bukan penambahan -- yang tak melanggar kebijakan Pemerintahan Barack Obama yang melarang pengayaan senjata atom.Â
Uji coba kedua bom gravitasi AS itu menarik perhatian pihak Rusia. Pakar militer Negeri Beruang Merah, Igor Korotchenko memperingatkan soal potensi dampaknya.Â
"Fakta uji modifikasi bom tersebut menunjukkan bahwa AS melanjutkan dan mengakselerasi program penyediaan senjata nuklir taktisnya," kata dia kepada RIA Novosti.
Padahal, ia menambahkan, Washington dan Brussels (NATO) sedang mempertimbangkan skenario pembatasan persenjataan nuklir.Â
Sebuah perjanjian pembatasan senjata strategis baru antara AS dan Rusia, yang dikenal sebagai New START (Strategic Arms Reduction Treaty), menetapkan bahwa tanggal 5 Februari 2018, kedua negara harus membatasi persenjataan nuklir strategis mereka ke jumlah yang setara sepanjang 10 tahun.
Sementara itu, media pro-Kremlin Russian Today (RT) mengaitkan uji coba tersebut dengan sikap sejumlah politisi AS yang menginginkan negaranya keluar dari perjanjian pelucutan senjata nuklir yang disepakati pada era pemerintahan Presiden Ronald Reagan.
Sebelumnya, Senator Arkansas, Tom Cotton mengusulkan sebuah UU yang akan mendeklarasikan bahwa Rusia telah melanggar perjanjian yang ditandatangani Reagan dan Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev pada 1987 pasca tindakan Moskow yang menggeser batalion rudal di dekat perbatasannya.
Ia mengatakan, Amerika Serikat perlu mulai meneliti dan mengembangkan sistem persenjataan nuklir.Â
Apalagi, Presiden AS Donald Trump pernah menegaskan keinginannya agar Amerika Serikat memperluas persenjataan nuklirnya.
Trump mengatakan 'kemampuan nuklir AS telah jauh tertinggal' dan harus diubah kembali ke posisi teratas.Â
Di sisi lain, Korea Utara telah berhasil menciptakan bom atom. Namun diyakini, mereka belum bisa meringkasnya dalam bentuk yang lebih kecil agar bisa dijadikan hulu ledak rudal.
Diduga, kekuatannya 'hanya' setengah dari bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika pada tahun 1945.
Meski daya ledaknya lebih kecil, kemampuan mematikannya masih luar biasa, terutama dijatuhkan di kota berpenduduk padat seperti Seoul atau Tokyo yang masuk jangkauan jelajahnya.Â
Sementara itu, tes rudal Korea Utara menunjukkan perkembangan, terutama soal jaraknya yang kian jauh dari sebelumnya.Â
Misil itu berpotensi mengancam wilayah AS di Pasifik -- seperti Guam. Juga wilayah negara lain yang dianggap 'musuh bebuyutan' yakni Korea Selatan dan Jepang.
Sementara itu, dunia ketar-ketir memantau perkembangan situasi di Semenajung Korea. Korut atau Amerika Serikat, Kim Jong-un atau Donald Trump, miskalkulasi sedikit saja berpotensi memicu bahaya skala global.Â
Saksikan juga video menarik berikut ini:Â
Advertisement