Liputan6.com, Raqqa - Aliansi pasukan Kurdi dan Arab yang mendapat dukungan Amerika Serikat (AS) yang memerangi ISIS di Raqqa berhasil mengusir kaum militan itu dari ibu kota de facto mereka di kawasan Kota Tua.
Pada Jumat, 1 September 2017, Talal Sello, Juru Bicara Syrian Democratic Forces (SDF), mengatakan, "Hari ini pasukan kami merebut kendali penuh atas Kota Tua di Raqqa setelah baku tembak dengan ISIS."
Seperti dikutip dari The Independent, Sabtu (2/9/2017), perebutan kembali kawasan bersejarah itu membawa pasukan aliansi selangkah lebih dekat ke posisi-posisi paling dijaga ISIS di kota itu.
Advertisement
Peperangan untuk merebut seluruh kota itu diperkirakan akan memakan waktu dua bulan.
Baca Juga
Pertempuran untuk kembali merebut Raqqa dimulai pada Juni lalu setelah pasukan darat SDF berhasil mengelilingi kota itu seluruhnya.
ISIS telah mencaplok wilayah luas yang mereka anggap sebagai khilafah di Suriah dan Irak sejak 2015.
Di Irak, Mosul yang menjadi ibu kota de facto bagi pemerintahan Negeri 1001 Malam pernah berada di bawah cengkeraman ISIS hingga direbut lagi Juli lalu setelah pertempuran ganas selama sembilan bulan.
Walaupun cengkeraman wilayah-wilayah oleh ISIS tinggal menghitung hari, para pengamat menduga kelompok militan itu akan semakin gigih di dua negara sambil meningkatkan serangan-serangan teror di bagian lain dunia.
Tuduhan Pelanggaran HAM
Pengumuman perebutan Kota Tua datang sesudah beberapa kritik dari PBB dan kelompok-kelompok HAM terkait begitu banyaknya korban warga sipil akibat perang darat dan serangan udara koalisi pimpinan AS.
Warga sipil membayar harga yang "tidak dapat diterima" akibat pengepungan yang telah menjebak 20 ribu warga sipil yang kehabisan makanan serta air, ditambah dengan bahaya oleh penembak jitu ISIS dan bom dari koalisi pimpinan AS.
Zeid Ra'ad al-Hussein, anggota Komisi Tinggi HAM PBB pada Kamis lalu mengatakan kepada para wartawan bahwa peningkatan dramatis pengeboman oleh koalisi internasional mungkin bisa dipandang sebagai pelanggaran hukum internasional.
Pihaknya memperkirakan ada 151 warga sipil yang telah terbunuh oleh serangan udara pimpinan AS pada Agustus lalu.
"Saya sangat prihatin bahwa, dalam melakukan permusuhan, pasukan penyerbu mungkin gagal tunduk kepada prinsip-prinsip kecermatan, pembedaan, dan proporsionalitas menurut hukum kemanusiaan internasional," ujarnya.
"Di lain pihak, para petempur ISIS terus melarang warga sipil meninggalkan kawasan walaupun ada beberapa yang berhasil kabur setelah menyogok sejumlah uang kepada para penyelundup."
Pihak koalisi pimpinan AS mengaku beroperasi di Suriah dan Irak telah melakukan segala cara yang mungkin untuk menghindari korban yang tak perlu, tapi kelompok-kelompok HAM berulang-kali menuduh terlalu banyaknya korban jiwa warga sipil.
Pihak berwenang menyebutkan angka kematian pada 624 orang di dua negara sejak serangan-serangan udara dimulai pada 2014. Menurut para penggiat, angka sebenarnya mencapai ribuan orang.
Â
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Advertisement