Sukses

Kebijakan Myanmar Bikin Bantuan Humaniter ke Rakhine Ditangguhkan

Pasca-kekerasan yang meletus pada 25 Agustus lalu, bantuan-bantuan kemanusiaan ke Rakhine terpaksa ditangguhkan.

Liputan6.com, Naypyidaw - Pasca-penyerangan yang dilakukan kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army terhadap sejumlah pos keamanan di Rakhine, Myanmar, pada 25 Agustus 2017, membuat penyaluran bantuan dari badan-badan PBB terhadap warga terdampak konflik ditangguhkan.

Kantor Koordinator Residen PBB di Myanmar mengatakan bahwa pemberian bantuan ditangguhkan karena situasi keamanan dan larangan kunjungan ke lapangan serta pihak berwenang tidak memberikan izin untuk beroperasi.

"PBB menjalin komunikasi erat dengan pihak berwenang demi memastikan bahwa operasi kemanusiaan dapat dilanjutkan sesegera mungkin," ungkap Kantor Koordinator Residen PBB, seperti dilansir The Guardian pada Senin (4/9/2017).

Konflik membuat staf dari UNHCR, UNFPA, dan UNICEF telah lebih dari sepekan berhenti terjun ke lapangan di Rakhine utara. Hambatan ini dinilai berbahaya bagi kehidupan warga sipil yang sangat bergantung pada bantuan.

Program Pangan PBB (WFP) menjelaskan hal serupa bahwa pihaknya harus menunda distribusi bantuan. Kondisi ini membuat kurang lebih seperempat juta orang tidak memiliki akses makanan reguler. Selain itu, 16 organisasi bantuan non-pemerintah termasuk Oxfam dan Save the Children juga mengeluhkan pembatasan akses yang diberlakukan pemerintah Myanmar terhadap wilayah konflik.

"Organisasi kemanusiaan sangat prihatin dengan nasib ribuan orang yang terkena dampak kekerasan yang berlanjut di Rakhine utara," ujar Pierre Perib, Juru Bicara Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) di Myanmar.

2 dari 2 halaman

Sentimen Negatif

Dalam kekerasan mematikan yang terjadi selama beberapa dekade di wilayah Rakhine, militer Myanmar dituduh melakukan kekejaman terhadap etnis minoritas Rohingya. Kondisi tersebut dilaporkan memicu aksi pengungsian besar-besaran warga Rohingya ke Bangladesh.

Pengungsi Rohingya yang telah sampai di Bangladesh selama sepekan terakhir mengaku, militer melakukan pembantaian di sejumlah desa di mana mereka menggerebek dan membakar permukiman.

Pemerintah Myanmar menuduh, pembakaran dilakukan oleh kelompok militan sendiri. Tidak hanya itu, mereka juga menuding kelompok itu membunuh umat Buddha dan Hindu.

Pihak militer mengklaim, kekerasan telah menewaskan 400 orang di mana sebagian besar adalah teroris. Penutupan akses ke Rakhine membuat berbagai pihak tidak dapat memverifikasi jumlah korban meninggal.

Diperkirakan, 1,1 juta warga Rohingya tinggal di Myanmar. Mereka menetap tanpa status kewarganegaraan dan sejak lama pula perlakuan pemerintah Myanmar terhadap etnis minoritas telah mendapat kecaman internasional.

Di tengah konflik yang terus bergulir hingga kini, sentimen negatif turut menargetkan badan-badan bantuan kemanusiaan. Mereka dituding pro-Rohingya. Pada tahun 2014, kantor-kantor mereka sempat digeledah.

Tuduhan yang sama juga dilontarkan oleh pemimpin de facto sekaligus state counsellor Myanmar, Aung San Suu Kyi. Kantor Suu Kyi menuding, badan bantuan kemanusiaan membantu "teroris".

Sejak 2012, lebih dari 100 ribu warga Rohingya telah tinggal di kamp pengungsian di Rakhine. Mereka inilah yang terpaksa berhenti menerima bantuan sejak kurang lebih satu pekan lalu.

"Ada kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa orang-orang yang kehilangan tempat tinggal dan warga sipil lainnya yang terkena dampak kekerasan dilindungi dan mendapat akses yang aman terhadap bantuan kemanusiaan termasuk makanan, air, tempat tinggal, dan layanan kesehatan," terang Juru Bicara OCHA, Pierre Perib.

"Bantuan kemanusiaan lazimnya ditujukan kepada orang-orang yang rentan karena alasan mereka bergantung kepada bantuan. Demi mereka, tindakan mendesak harus dilakukan agar kegiatan kemanusiaan penting dapat dilanjutkan," imbuhnya.

 

Saksikan video berikut: