Liputan6.com, Kiev - Pada 2011, di Kiev, Ukraina, Denys Antipov mahasiswa Sastra Korea dari Taras Shevchenko National University mendapatkan tugas tak lazim dari lembaga yang tidak biasa. Badan Intelijen Ukraina (SBU) meminta bantuan Antipov dalam sebuah misi kontra-intelijen.
Sebelumnya, lewat sebuah operasi perangkap (sting operation), intel SBU berhasil menangkap dua agen mata-mata Korea Utara yang hendak mencuri teknologi roket dari teknisi Ukraina yang bekerja di KB Yuzhnoye Design Office, Kota Dnipropetrovsk, Ukraina.
Antipov pun diminta oleh SBU guna menjadi penerjemah untuk dua agen mata-mata Korut itu. Keterlibatannya pada penyelidikan itu memicu narasi tanda tanya signifikan mengenai asal-muasal teknologi mesin rudal Korut. Demikian seperti dikutip dari Newsweek, Senin (4/9/2017).
Advertisement
Baca Juga
Menurut laporan Internatioal Institute for Strategic Studies (IISS)--firma analis asal London, Inggris--pada 14 Agustus 2017, berkembangnya kemampuan rudal Korut yang terjadi dalam waktu singkat dipengaruhi atas salah satu faktor krusial. Diduga, Korea Utara berhasil memperoleh mesin roket peninggalan Uni Soviet tipe RD-250 yang diselundupkan secara ilegal dari Rusia atau Ukraina.
Dugaan itu muncul beberapa pekan setelah Korea Utara melaksanakan tes peluncuran rudal pada 28 Juli. Kala itu, Pyongyang melakukan uji coba misil jarak jauh (ICBM) Hwasong-14 yang terbang vertikal selama lebih dari 47 menit dan mencapai ketinggian sekitar 3.742 km.
Kini, kecurigaan bahwa mesin rudal Korut bersumber dari teknologi roket Uni Soviet kembali menguat, setelah Negeri di Utara Semenanjung Korea itu melakukan peluncuran rudal melintas Pulau Hokkaido Jepang dan jatuh di perairan timur Negeri Sakura.
"Ada kemungkinan besar bahwa mesin-mesin itu berasal dari Ukraina, dan mungkin secara ilegal. Pertanyaannya, seberapa banyak orang Ukraina yang membantu Korut dan bagaimana mereka melakukannya. Itu yang saya khawatirkan," jelas Michael Elleman, salah satu anggota IISS yang menulis laporan soal dugaan koneksi antara Ukraina yang memasok teknologi roket ke Korut, seperti dikutip dari The New York Times.
Michael Elleman dari IISS mengkonstruksikan dugaan tersebut berdasarkan analisis sejumlah foto mesin rudal Korut pada September 2016 hingga Maret 2017, sebelum uji coba peluncuran rudal Hwasong pada 3 dan 28 Juli 2017 lalu.
Berdasarkan analisis karakteristik yang muncul pada foto itu, Elleman menyimpulkan bahwa rudal Korut tersebut menggunakan roket canggih berbahan bakar cair peninggalan Uni Soviet, RD-250.
"Tak pernah ada negara yang mampu melakukan transisi dari kapailitas rudal jarak menengah ke lintas benua dalam waktu yang singkat. Apa penyebabnya? Sederhana, Korea Utara telah berhasil memiliki mesin roket Hugh Performance liquid-propellant engine (LPE) dari negara lain," jelas Elleman.
Namun, teknologi RD-250 yang bermesin ganda dengan Hwasong yang bermesin tunggal mengalami ketidakcocokkan antara satu sama lain.
"Justru itulah yang membuat Korut melibatkan teknisi dari Ukraina dan KB Yuzhnoye. Roket-roket untuk Korut itu dimodifikasi dan diproduksi oleh mereka (seperti pabrik Yuzhmas, milik KB Yuzhnoye)," tambah Elleman berteori dalam laporannnya.
Elleman melanjutkan, proses modifikasi dan produksi itu dapat dilakukan oleh agen mata-mata Korut dengan cara ilegal, seperti menyuap pegawai atau teknisi di KB Yuzhnoye.
Akan tetapi, Denys Antipov yang terlibat dalam proses interogasi para agen mata-mata Korut yang ditangkap di KB Yuzhnoye menyangkal skema teori yang dicetuskan oleh Elleman.
Meski begitu, sarjana Sastra Korea Taras Shevchenko National University itu tak menyangkal bahwa dua agen mata-mata asal Negeri di Utara Semananjung itu ditugaskan untuk melakukan spionase terhadap teknologi roket di KB Yuzhnoye.
Misi Dua Mata-Mata Korea Utara
Pada 2011,dua agen intelijen Korea Utara, Ryu Sonchelle dan Lee Thakel pergi menggunakan kereta dari Minsk, Belarusia ke Dnipro, Ukraina. Keduanya menyamar sebagai pakar agrikultural di Ukraina yang mempelajari pertanian biji bunga matahari.
"Rencana mereka adalah datang dari Belarus ke Dnipro, menjaring informasi di sana, dan kembali pada hari yang sama. Namun sayangnya bagi mereka, dan beruntungnya bagi kami, keduanya berhasil ditangkap," jelas Antipov menjelaskan garis besar misi kedua mata-mata Korea Utara tersebut.
Antipov melanjutkan, misi kedua agen itu turut bertujuan untuk menyuap sejumlah teknisi dan ilmuwan yang bekerja di KB Yuzhnoye, dengan harapan para pegawai firma tersebut dapat menyerahkan dokumen rahasia tentang teknologi roket. Dokumen itu turut dilindungi oleh ketentuan hukum Ukraina, menjadikan informasi di dalamnya sebagai sebuah 'rahasia negara'.
Mereka kemudian ditangkap oleh Badan Intelijen Ukraina (SBU) melalui sebuah operasi perangkap. Setelah ditangkap, keduanya kemudian diamankan dan diinterogasi oleh SBU.
"Mereka (para agen Korut) jelas anggota intelijen militer. Terlihat dari cara mereka duduk dan bersikap. Saat ditangkap, keduanya tentu saja membantah segala tuduhan itu," ujar Antipov.
Pada Juli 2012, Mahkamah Agung Ukraina menjatuhkan vonis delapan tahun penjara kepada Sonchelle dan Thakel atas tuduhan spionase. Saat ini, keduanya ditahan di Penjara Zhytomyr.
Advertisement
Rudal Korut, Bermesin Soviet?
Roket RD-250 merupakan produksi KB Yuzhnoye di Pabrik Yuzhmash pada masa Uni Soviet. Roket itu dibuat sebagai peluncur rudal R-36 ICBM dan siap dioperasikan semasa Perang Dingin.
Pascabubarnya Uni Soviet pada 1991, Pabrik Yuzhmash terus memproduksi RD-250 hingga 2001. Setelah itu, sisa-sisa roket yang telah diproduksi digunakan untuk kepentingan lain
Misalnya, RD-250 dialihfungsi sebagai roket uji coba angkasa luar, demikian menurut penjelasan Yuriy Radchenko, kepala Badan Antariksa Ukraina.
Akan tetapi, keberadan sejumlah roket lain, sekitar tujuh hingga 20, tidak diketahui. Diduga kuat, menurut Radchenko, roket-roket itu disimpan oleh Rusia.
"Dan, jika Korut berhasil memperoleh roket-roket itu, pastilah bersumber dari Rusia, bukan Ukraina. Karena Rusia mampu memberikan roket-roket itu ke siapapun yang mereka mau," tambah kepala Badan Antariksa Ukraina itu.
Uni Soviet, diketahui sempat memasok teknologi misil untuk Pyongyang pada rezim Soviet 1980 - 1990-an. Melalui pasokan itu, Korut kini memiliki teknologi misil Scud, Nodong, dan Musudan (R-27).
"Pabrik Yuzhmash adalah salah sumber kemungkinan pemasok teknologi roket untuk rudal Korut. Banyak potensi yang tersebar di Rusia," jelas Elleman.
Akan tetapi, komunitas intelijen Amerika Serikat menyangsikan teori Elleman yang menyebut teknologi rudal Korut bersumber dari Ukraina atau Rusia. Komunites intel AS justru berhipotesis bahwa Korut mampu memproduksi roket dan rudal itu secara mandiri tanpa suplai teknologi dari negara lain.
Dibantah Ukraina
Munculnya laporan dari IISS yang turut dimuat dalam artikel The New York Times itu direspons oleh pihak Ukraina yang membantah adanya 'relasi khusus' antara Kiev dengan Pyongyang.
"Laporan (IISS) itu terlihat absurd, dan artikel yang dilansir oleh The New York Times harus diverifikasi lagi kebenaranya, khususnya yang menyebut mengenai peran Ukraina sebagai pemasok teknologi roket untuk rudal Korea Utara," jelas Presiden Ukraina Petro Poroshenko lewat akun Facebook-nya.
Perdana Menteri Ukraina, Volodymyr Groysman juga menyebut laporan dan kisah artikel itu sebagai sebuah bentuk provokasi. Sedangkan Sekretaris Dewan Keamanan Nasional dan Pertahanan Ukraina, Oleksandr Turchynov, justru menuding Rusia yang berperan memasok teknologi roket untuk rudal Korut.
"Ukraina tak pernah menjalin relasi pertukaran teknologi roket dengan Korea Utara. Kami justru meyakini bahwa artikel dan laporan itu merupakan ide intelijen Rusia guna mengalihkan isu dan menutupi fakta bahwa mereka (Rusia) berpartisipasi dalam program rudal dan nuklir Korut," jelas Turchynov.
Â
Saksikan juga video berikut ini