Sukses

Kelompok Militan Ini Jadi Alasan Aparat Myanmar Serang Rohingnya

Penderitaan warga Rohingya bermula dari serangan militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) ke sejumlah pos polisi Myanmar.

Liputan6.com, Yangoon - Dilara adalah salah satu dari 125 ribu warga Rohingya yang terpaksa lari dari kampung halamannya di sebuah desa di Myanmar.

"Suamiku ditembak. Aku lari bersama anak lelakiku dan sejumlah ipar," kata perempuan 20 tahun itu kepada relawan PBB, seperti dikutip dari situs NPR, Rabu (6/9/2017). Butuh tiga hari baginya untuk tiba di perbatasan Myanmar dan Bangladesh. 

Sementara itu, hasil pemindaian satelit menunjukkan, sekitar 700 bangunan terbakar di Chein Khar Li, Rathedaung. Area perbatasan negara bagian Rakhine, di mana desa itu berada, adalah tempat tinggal sekitar 1 juta warga Rohingya.

"Kebrutalan yang terjadi tak masuk di akal. Mereka membunuh anak-anak, perempuan, bahkan orang-orang lanjut usia. Mereka membunuh siapa pun yang berbadan sehat, pria dewasa maupun bocah laki-laki," kata Matthew Smith dari kelompok hak asasi manusia Fortify Rights.

Militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA)

Konflik yang kembali pecah di negara bagian Rakhine bermula pada 25 Agustus 2017. Kala itu militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang sejumlah pos polisi dan menewaskan 12 orang.

Penyerangan itu mengundang aksi balasan. Aparat keamanan melakukan persekusi pada warga Rohingya.

Di sisi lain, militan ARSA selalu mengklaim bertindak atas nama warga Rohingya. Siapa sebenarnya mereka?

Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) beroperasi di negara bagian Rakhine di Myanmar utara, di mana warga Rohingya mengalami diskriminasi. Pemerintah tak mengakui kewarganegaraan mereka, sementara Bangladesh, yang konon asal-muasal nenek moyang etnis ini, menganggap mereka imigran gelap.

Pemerintah mengkategorikan ARSA sebagai kelompok teror dan menuding para pentolannya mendapat pelatihan di luar negeri.

Sementara International Crisis Group (ICG) juga menyebut, para militannya dilatih di luar Myanmar. Pada 2016 lembaga tersebut mengatakan, ARSA dikendalikan orang-orang Rohingya yang tinggal di Arab Saudi.

Menurut IGC, kelompok tersebut dipinpin Ata Ullah, pria kelahiran Pakistan yang tumbuh besar di Arab Saudi.

Namun, juru bicara ARSA membantah informasi tersebut. Kepada Asia Times, mereka mengklaim tak punya kaitan dengan kelompok jihad di luar negeri dan hanya berjuang demi pengakuan bagi warga Rohingya.

Pihak pemerintah mengatakan, militan Rohingya menggunakan tongkat, panah, senjata tajam, dan bom rakitan dalam penyerangan 25 Agustus 2017. Namun, laporan IGC mengatakan, mereka sama sekali bukan amatir.

2 dari 2 halaman

Sejak Dihalau Malaysia

Juru bicara Rohingya Salvation Army (ARSA) kepada Asia Times mengatakan, kelompoknya mulai melatih sejumlah orang sejak 2013. Namun, serangan baru kali pertama dilancarkan pada Oktover 2016, ketika mereka membunuh sembilan anggota polisi.

Tujuan mereka diklaim untuk "membela, menyelamatkan, dan melindungi" warga Rohingya dari represi negara. ARSA mengklaim dalam posisi "membela diri".

Kelompok tersebut juga menolak label teroris, dengan alasan mereka tak pernah menyerang warga sipil. Namun demikian, ada laporan militan membunuh seorang informan saat pelatihan anggota baru.

IGC mengatakan, anggota ARSA adalah para pemuda Rohingya yang murka atas respons negara terharap kerusuhan berdarah 2012.

Kaum muda itu mencoba untuk lari dari Myanmar menggunakan jalur pelayaran ke Malaysia. Namun, angkatan laut Negeri Jiran memblokir rute tersebut pada 2015, yang membuat ribuan warga Rohingya terjebak di laut.

Menurut ARSA, keterdesakan itu memicu kekerasan. Pergerakan militan terjadi dalam konteks kemiskinan ekstrem, tanpa kewarganegaraan (stateless), dan terbatasnya ruang gerak warga Rohingya.

Laporan PBB pada Februari 2017 menggambarkan kekejaman para tentara yang melakukan aksi balasan atas apa yang dilakukan para militan. Tak hanya menyerang ARSA, para serdadu jug memukuli, memerkosa, dan membunuh warga pasca-serangan pada Oktober 2016.

Pelapor khusus hak asasi manusia PBB di Myanmar mengatakan, skala kerusakan saat ini dikhawatirkan jauh lebih besar daripada yang terjadi tahun sebelumnya.

Serangan terhadap aparat keamanan memicu aksi balasan dari pihak militer. Militer mengklaim, mereka angkat senjata untuk melawan militan yang menyerang warga sipil.

Seorang anak digendong ibunya saat mengungsi ke perbatasan Bangladesh di daerah Teknaf Cox's Bazar (5/9). Belasan ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, sejak bentrokan kembali pecah di Rakhine.(AP Photo/Bernat Armangue)

Lebih dari 100.000 warga Rohingya telah meninggalkan desa mereka dan melintasi perbatasan ke Bangladesh, di mana kamp-kamp penampungan para pengungsi telah penuh sesak. 

Informasi beredar simpang-siur. Ada yang mengatakan, militer yang dibantu biksu Buddha, telah menghancurkan desa-desa dan membunuh warga sipil. Informasi lain menyebut, umat Buddha dan Hindu juga lari dari Rakhine. Mereka ikut jadi korban.

Akses media ke Rakhine, di mana kekerasan berpusat, dibatasi ketat. Verifikasi situasi sesungguhnya sulit dilakukan. Kebenaran masih samar. 

Di Mana Aung San Su Kyi?

Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi menemui Menlu Myanmar, Aung San Suu Kyi di ibu kota Naypyidaw, Senin (4/9). Kedatangan Menlu Retno itu membawa misi dari Presiden Jokowi guna membicarakan krisis kemanusiaan Rohingya. (Myanmar Foreign Ministry via AP)

Persekusi yang dilakukan atas warga Rohingya mengundang keprihatinan dunia. Warga Bumi ikut terenyuh saat mendengar situasi para pengungsi yang tanpa tempat berteduh, kekurangan makanan dan air yang layak minum. Ada juga laporan sejumlah anak yang terluka parah akibat ranjau darat saat berusaha lari.

Demonstrasi dan aksi keprihatinan digelar di banyak negara, termasuk Indonesia, Rusia, dan Pakistan. 

Peraih Nobel Perdamaian Malala Yousafzai terang-terangan menuntut Aun Sang Suu Kyi untuk menghentikan kekerasan tersebut.

Malala Yousafzai meminta Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi ikut mengutuk kekerasan pada etnis Rohingya (Twitter/@Malala)

Suu Kyi, yang juga penerima Nobel Perdamaian, sebelumnya mengakui ada "banyak permusuhan" di Rakhine. Namun, ia menolak istilah 'pembersihan etnis.

Saksikan juga video menarik berikut ini: