Liputan6.com, Naypyidaw - Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi menyalahkan teroris atas kemelut yang terjadi di negaranya.Â
Ia menyebut teroris berperan dalam terbentuknya informasi yang salah mengenai kekerasan yang terjadi terhadap etnis Rohingya. Akibat insiden tersebut, lebih dari 120 ribu orang Rohingya kabur ke Bangladesh.
Pernyataan ini disampaikan Suu Kyi dalam Facebook pribadinya usai berkomunikasi dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Advertisement
Â
Baca Juga
Sambungan telepon itu dilangsungkan tidak hanya untuk membicarakan krisis Rohingya secara menyeluruh. Suu Kyi turut menyinggung foto palsu yang sempat di-posting Wakil Perdana Menteri Turki beberapa waktu lalu.
"Informasi palsu yang telah dipakai oleh Wakil Perdana Menteri adalah puncak gunung es kesalahan informasi yang telah menciptakan masalah antar komunitas dan bertujuan untuk mempromosikan kepentingan kelompok teroris," ucap dia.
Kelompok teroris yang dimaksud Suu Kyi adalah militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), yang menyerang sejumlah pos polisi dan menewaskan 12 orang pada 25 Agustus 2017, yang memicu persekusi pihak keamanan Myanmar.Â
Selain menyalahkan teroris, Suu Kyi memastikan negaranya menjamin kebebasan berdemokrasi serta menjunjung penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).
"Kami tahu betul, lebih tahu dari kebanyakan orang, apa artinya pencabutan HAM dan perlindungan demokrasi," ujar Suu Kyi.
"Jadi, kami memastikan bahwa semua orang di negara kami berhak mendapat perlindungan atas hak-hak mereka, bukan hanya politik, tapi juga sosial dan kemanusiaan," ujarnya.
PBB Minta Myanmar Berikan Rohingya Kewarganegaraan
Terkait belum usainya krisis Rohingya, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Gutteres menegaskan sangat krusial bagi Myanmar untuk segera mengubah kebijakannya terhadap warga Rohingya.
Menurut Gutteres, Myanmar mesti secepatnya memberikan kewarganegaraan atau memastikan status hukum warga Rohingya.
Pemberian status kewarganegaraan itu penting. Jika hal tersebut telah terjadi, maka etnis Rohingya bisa hidup normal, bergerak bebas, mendapat pekerjaan, dan memperoleh pendidikan.
"Sejarah diskriminasi panjang, keputusaaan, kemiskinan ekstrem terjadi di Rakhine, kami meminta otoritas sipil dan militer negara itu untuk mengakhir kekerasan ini," ucap Gutteres, seperti dikutip dari Associated Press, Rabu (6/9/2017).
"Kesedihan dan penderitaan warga Rohingya yang tidak terselesaikan sudah lama membusuk dan ini jadi faktor tak terbantahkan dalam terciptanya destabilisasi regional," tambah dia.
Ia pun mengutuk segala kekerasan yang diarahkan kepada etnis Rohingya. Krisis kemanusian tersebut telah belangsung sejak 25 Agustus 2017.
"PBB secara konstan telah menerima laporan terjadinya tindak kekerasan, termasuk kekerasan diskriminatif yang dilakukan aparat keamanan Myanmar," ucap dia.
"Sekira 125 ribu orang telah mencari perlindungan ke Bangladesh. Banyak yang kehilangan nyawa mereka karena melarikan diri dari tindakan kekerasan," kata dia.
Saat ini, penghentian tindak kekerasan adalah harga mati. Sebab, jika perilaku kekerasan terhadap Rohingya masih berlangsung, maka radikalisasi akan tumbuh berkembang.
Simak video berikut: