Liputan6.com, Seoul - Pada Minggu, 3 September 2017, Korea Utara bermanuver dengan melakukan uji coba nuklir keenamnya berupa bom hidrogen yang diklaim dapat dilekatkan pada rudal balistik antarbenua (ICBM).
Melalui uji coba tersebut, Korut ingin menunjukkan pada dunia, bahwa mereka telah memiliki senjata nuklir.
Teranyar, pada Selasa lalu, badan intelijen Korea Selatan melaporkan bahwa mereka melihat ada indikasi Korut tengah bersiap untuk meluncurkan rudal balistik antarbenua. Secara teoretis, peluru kendali jarak jauh tersebut dikabarkan dapat mencapai daratan Amerika Serikat.
Advertisement
Selama ini, Korut memilih tanggal-tanggal tertentu untuk meluncurkan rudal. Tahun lalu, negara itu melakukan uji coba nuklirnya pada 9 September yang bertepatan dengan hari nasional, yakni berdirinya Republik Rakyat Demokratik Korea atau Korut.
Dan apakah tahun ini juga akan terjadi peristiwa serupa? Tidak ada yang tahu. Yang pasti pada Selasa, 5 September kemarin, sumber intelijen Korea Selatan menyebutkan bahwa Korut telah memindahkan rudal balistik antarbenua ke arah pantai barat negara itu.
Pantai barat merupakan salah satu lokasi di mana fasilitas uji coba rudal Korut berada.
Namun, di tengah banyaknya pertanyaan tentang program nuklir Korut, satu yang boleh jadi paling menggelitik: mengapa Kim Jong-un begitu berhasrat agar Korut menjadi kekuatan nuklir?
Rezim Korut menjawab pertanyaan tersebut dengan cara tersendiri. Pada Selasa, 5 September, media pemerintah Korut melaporkan bagaimana pendapat orang-orang biasa dan birokrat kelas menengah terkait uji coba nuklir.
"Ini merupakan cara terbaik untuk merespons imperialias AS yang menindas yang lemah dan tunduk pada yang kuat," ujar Kim Chang-sok, seorang pejabat di Kementerian Industri Batu Bara, seperti dikutip dari Washington Post pada Rabu (6/9/2017).
Jon Wolfsthal, seorang ahli nonproliferasi yang bertugas di Dewan Keamanan Nasional era Presiden Barack Obama berpendapat, "Jika Anda adalah kepala sebuah negara kecil yang terisolasi dan miskin serta dikelilingi oleh kekuatan militer musuh, Anda juga akan mencari cara untuk memastikan takdir Anda sendiri."
Baca Juga
Sejumlah analis meyakini bahwa Korut menggunakan kemampuan senjata nuklirnya untuk bertahan. Ini bertentangan dengan pernyataan Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley yang menyebut bahwa Korut "mengemis untuk berperang". Kim Jong-un dinilai tahu persis bahwa memulai serangan preemptive terhadap AS adalah tindakan bunuh diri.
"Korut melihat bahwa senjata nuklir telah ada dalam 70 tahun terakhir, dan selama itu tidak ada negara pemilik nuklir yang pernah diserang," kata Koh Yu-hwan, seorang profesor studi Korut di Dongguk University di Korea Selatan.
Sementara itu, menurut Daniel A Pinkston, seorang ahli Korea yang mengajar di Troy University di Seoul, "Senjata bukanlah akhir. Itu baru permulaan."
Ketika mempertahankan diri dari AS, Korut dinilai akan berusaha mencapai tujuan lainnya, termasuk salah satunya mengusir militer Negeri Paman Sam dari kawasan.
Prestasi bagi Kim Jong-un
Ada juga alasan lain yang dinilai mendesak ambisi nuklir seorang Kim Jong-un. "Ini adalah kemenangan pribadi bagi Kim Jong-un," ungkap Peter Ward, peneliti yang berafiliasi dengan Asan Institute for Policy Studies di Seoul.
Prestasi Kim Jong-un melalui program nuklir kelak tidak hanya membuat lompatan kuantum dengan kecepatan luar biasa, namun dilakukan di tengah berbagai sanksi.
Sekarang, Korut mungkin saja dapat mengatakan bahwa mereka tidak menggantungkan keamanannya terhadap siapapun. Diyakini pula, negara itu dapat membalas jika diserang -- tidak seperti Jepang dan Korea Selatan yang bergantung pada pertahanan Amerika Serikat.
"Ini adalah kemenangan pribadi baginya (Kim Jong-un) dan elite Korut, juga rakyat Korut. Dan akan banyak pemimpin dunia yang terkesan. Nuklir akan mengubah mereka dari yang tadinya terlihat seperti manajer ekonomi yang tidak kompeten menjadi pemimpin paling sukses di benua ini," jelas Ward.
Beberapa analis mengungkap pendapat lain.
"Kecepatan pengembangan nuklir dan rudal bisa saja menunjukkan bahwa Kim Jong-un percaya diri, tapi juga bisa menandakan ia khawatir dengan masa depan," terang Kim Dong-yub, asisten profesor di Institute for Far Eastern Studies dan mantan Komandan Angkatan Laut Korsel yang pernah terlibat dalam perundingan militer dengan Korut.
"Korut mungkin berpikir kemungkinannya rendah bagi AS untuk menyerang sekarang ini, namun tidak ada jaminan di masa depan," imbuhnya.
Sehingga menurut para ahli yang menjadi persoalan adalah bukan lagi bagaimana menghentikan Korut dalam mengejar ambisi nuklir dan rudalnya, namun bagaimana membujuk mereka melepaskan sesuatu yang telah selama menghabiskan banyak waktu dan uang mereka.
"Ada tiga cara untuk menyelesaikan masalah Korut," kata Lee Soo-hyuk, seorang juru runding denuklirisasi yang sekarang menjadi anggota palemen Korsel.
"Korut melepaskan ambisi senjata nuklir mereka dengan sukarela, melakukan perundingan lewat negosiasi quid pro quo, dan mengambil tindakan militer. Kita semua tahu bahwa yang pertama dan yang terakhir adalah pilihan yang tidak realistik, jadi negosiasi adalah satu-satunya jalan. Kita tidak boleh lupa itu," ungkap Lee.
Quid pro quo adalah memberikan bantuan sebagai imbalan atas sesuatu. Jika itu terjadi, yang untung adalah Korut.
Saksikan video berikut: