Sukses

Peringatan Konten!!

Artikel ini tidak disarankan untuk Anda yang masih berusia di bawah

18 Tahun

LanjutkanStop di Sini

'Revolusi Seksual' Melanda Myanmar?

Seiring dengan semakin bebasnya Myanmar secara seksual, akan muncul tantangan-tantangan dan juga kesempatan-kesempatan.

Liputan6.com, Yangon - Myanmar sedang menjadi pusat perhatian dunia sehubungan dengan krisis Rohingya, yaitu dugaan pembantaian etnis Rohingya di wilayah bergolak dekat perbatasan dengan Bangladesh.

Negeri yang dulunya bernama Burma memang bersifat tertutup selama puluhan tahun. Bahkan, setelah membuka diri dan bergabung dengan ASEAN, masih banyak aspek kehidupan masyarakatnya yang belum diketahui.

Dikutip dari laporan lawas Ozy pada Rabu (6/9/2017), setelah terbuka perlahan-lahan, Myanmar diduga mengalami revolusi lain di tengah masyarakat: revolusi seks.

Dalam laporan tersebut dikisahkan tentang suasana dalam bar kelas atas di Kota Yangon. Tempat hiburan itu ramai dikunjungi para pekerja LSM, guru, dan kaum wiraswasta di tengah kerumunan kaum muda kalangan mampu negeri itu.

Di tengah Myanmar yang sangat konservatif dan berada di bawah junta militer hingga 2010, pemandangan itu semakin lazim.

Seperti halnya aspek politik dan ekonomi yang berkembang, maka konvensi-konvensi sosial di Myanmar juga berkembang, sehingga membenturkan cara pandang modern tentang hubungan dan seksualitas dengan norma-norma tradisional.

Menurut para pakar, segelintir wanita mulai menantang pembatasan kaku peran gender dan pasangan-pasangan muda lebih bebas melakukan seks. Suatu masyarakat kecil LGBT mulai tampak dan berani tampil.

Dengan caranya sendiri yang sedikit demi sedikit, Myanmar sedang mengalami revolusi seksual.

Marie Stopes International adalah suatu organisasi non-pemerintah yang menyediakan layanan kesehatan reproduktif.

Mengenai tren itu, Sid Naing, direktur di Marie Stopes International, mengatakan, "Orang mempertunjukkan rasa sayang di muka umum dan kelihatannya toleransi sudah lebih besar."

Sejak menjalankan pemerintahan sipil pada 2010, Myanmar telah menciptakan lebih banyak pekerjaan dan menambah kesejahteraan. Sekitar 2015, pertumbuhan ekonomi melonjak menjadi 8 persen per tahun, dibandingkan dengan 4 hingga 5 persen di kebanyakan negara berkembang lainnya, demikian menurut Bank Dunia.

Myanmar telah menarik wisatawan dan para pekerja asing, termasuk beberapa perusahaan telekomunikasi internasional (Telenor dari Norwegia, Ooredoo dari Qatar). Layanan nirkabel pun meluas.

Pertumbuhan Ekonomi dan Perubahan Perilaku

Kaum wanita tradisional Kayan di Myanmar. (Sumber Wikimedia Commons)

Kombinasi peningkatan penghasilan, keberadaan orang-orang asing, dan komunikasi yang lebih lancar menjadi pendorong pergaulan.

Pornografi lebih mudah ditemukan secara daring dan melalui beberapa penjaja kaki lima. Tentunya, dengan pengaruh kepada perilaku.

Beberapa orang yang kehilangan keperawanan atau keperjakaan sebelum usia 16 tahun, misalnya, jadi semakin ingin coba-coba seiring bertambah usia. Misalnya mencoba seks anal atau pesta orgy.

Menurut Dolly Handerson, seorang asisten humas di Wired Media di Yangon, "Mereka mempelajarinya dari pornografi."

Lebih banyak lagi kaum muda Myanmar yang menghadiri bar dan klub malam. Padahal, hiburan seperti itu dulunya hanya diperuntukkan bagi kaum elite dan para pekerja seksual.

Menurut Handerson, "Sekitar 5 tahun lalu (2010), orang-orang merasa malu dan tidak ada yang bicara tentang seks. Sekarang (2015) beberapa teman saya telah melakukan cinta semalam (one-night stand) dan seks tiga pihak (threesome)."

Banyak kaum muda yang berkuliah di universitas-universitas yang telah direlokasi jauh ke daerah-daerah, jauh dari keluarga. Kebijakan pemindahan itu dilakukan setelah protes besar-besaran pada 1998 di Yangon yang dilakukan oleh para mahasiswa.

Secara tidak sengaja, pemindahan ini memuluskan emansipasi seksual negeri itu. Tentu saja tidak semua kaum muda Myanmar terlibat dalam kegiatan seksual dan masih banyak yang menunggu hingga pernikahan. Namun, mereka sekarang mendapatkan lebih banyak ruang untuk bertemu, baik secara daring maupun di muka umum.

Kaum wanita pun menjadi semakin berani, seperti yang diceritakan oleh Su, mahasiswi fakultas hukum yang mengaku tidak ada demokrasi di negara dan rumahnya di masa lalu.

"Sekarang, orangtua saya memberikan kebebasan. Pacar saya ataupun suami saya adalah pilihan saya."

Kaum muda yang masih tinggal bersama orangtua pun merasakan lebih bebas karena orangtua semakin sibuk bekerja terkait tekanan dari geliat ekonomi dan meningkatnya biaya hidup.

 

Saksikan juga video menarik berikut ini:

Standar Ganda Terhadap Kaum Wanita

Akhaya Women, kelompok pegiat hak dan pendamping wanita di Yangon. (Sumber Akhaya Women)

Walaupun segelintir wanita merasa mendapatkan pemberdayaan, tantangan masih mengadang. Dalam masyarakat patriarki Myanmar, wanita mengalami standar ganda.

Kalau pria yang tertarik dengan seks, mereka hanya dianggap bandel, tapi dapat diterima. Bagi wanita, Naing menjelaskan, "Seorang wanita mutlak tidak boleh penasaran atau mengerti seks."

Oleh karena itu, pendidikan seks tidak selalu tersedia, baik di rumah ataupun di sekolah. Lingkungan demikian menyuburkan penyebaran infeksi menular seksual dan kehamilan tak diinginkan. Padahal, tindakan aborsi dapat diganjar penjara dan hanya bisa dilakukan secara diam-diam.

Aborsi seringkali dilakukan di tempat-tempat yang tidak jelas. Jadi, tindakan itu menjadi penyebab utama kematian ibu, demikian menurut laporan Dana Kependudukan PBB (United Nations Population Fund, UNFP).

Seiring dengan semakin bebasnya Myanmar secara seksual, akan muncul tantangan-tantangan dan juga kesempatan-kesempatan.

Pelukis Sandar Khine sekarang bisa memamerkan lukisan-lukisan wanita telanjang dan penyanyi-penari pop wainta. Semisal Me N Ma Girls berani bergaya lebih seronok dengan lirik lagu yang lebih nakal.

Pada saat yang sama, pendamping hak-hak perempuan semisal Ma Htar Htar yang dibentuk di kawasan Akhaya di Yangon bersikeras bahwa pihak berwenang harus melakukan lebih banyak lagi untuk melawan penyalahgunaan seksual.

Namun, setidak-tidaknya media sekarang lebih bebas melaporkan kasus-kasus penyalahgunaan itu, sehingga memberanikan kaum wanita untuk mengadu.