Liputan6.com, New York - Krisis di Semenanjung Korea hingga kini belum menampakkan tanda-tanda akan usai. Meski belakangan mereda, tak ada yang tahu kapan Pyongyang akan kembali berulah. Korea Utara terus menutup telinga, meski segala kecaman datang dari segala penjuru. Mereka tak peduli apa kata dunia.
Setelah membuat dunia geram atas misil yang melewati langit Jepang pada 29 Agustus lalu, Korea Utara unjuk gigi dengan uji coba yang mereka klaim sebagai bom hidrogen.
Baca Juga
Tak cukup sanksi dari Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat kini mencoba mencari jalan untuk memperberat hukuman baru bagi Korea Utara, termasuk larangan pembelian minyak dan membekukan aset Kim Jong-un.
Advertisement
Dikutip dari BBC, Kamis (7/9/2017), keinginan AS tertera dalam draf resolusi PBB yang merespons uji coba nuklir terbaru. Rancangan itu kini tengah digodok dan kemungkinan akan disetujui oleh anggota Dewan Keamanan PBB.
Rancangan itu termasuk larangan menyuplai produk-produk minyak ke Korea Utara dan membeli ekspor tekstil negara itu.
Aset Kim Jong-un juga akan dibekukan. Pemimpin muda itu juga dilarang bepergian ke luar negeri.
Sanksi terbaru itu, jika disetujui, merupakan yang terberat yang akan diterima Korea Utara setelah uji coba terbaru yang diklaim lebih canggih.
Korea Utara mengklaim berhasil mengembangkan bom hidrogen yang bisa dimasukkan ke hulu ledak rudal yang bisa diluncurkan antar-benua.
Tak jelas apakah permintaan terakhir AS itu didukung oleh Rusia atau China. Dua negara itu sejauh ini menunjukkan keraguannya bahwa sanksi lebih keras akan meluluhkan Korea Utara.
Baik China maupun Rusia adalah negara pemasok minyak ke Korea Utara. Keduanya juga memiliki hak veto di Dewan Keamanan.
Langkah selanjutnya dalam rancangan resolusi tersebut adalah melarang perekrutan buruh Korea Utara di luar negeri. Pendapatan buruh migran dan ekspor tekstil diyakini merupakan sumber pendapatan Korut yang tak kalah penting.
Dubes AS untuk PBB menginginkan agar Dewan Keamanan mengesahkan resolusi itu pada Senin depan. Namun, ada kemungkinan permintaan itu akan ditolak anggota Dewan Keamanan lain.
Presiden Rusia Vladimir Putin berpendapat, sanksi lebih lanjut untuk Korut bukanlah jawaban atas konflik yang terjadi belakangan.
"Sanksi tidak layak diberikan di tengah situasi emosional dan menyudutkan Korea Utara," katanya.
Sementara itu, China telah lama menjadi sekutu utama Korea Utara. Namun, sama seperti Rusia, Beijing mendukung sanksi sebelumnya terhadap Pyongyang, sebagai hukuman atas uji coba rudal Korut.
Pada Agustus, Beijing menuruti resolusi DK PBB dengan melarang ekspor mineral dari batu bara, yang diperkirakan merugikan Korea Utara US$ 767 juta atau sekitar sepertiga dari pendapatan ekspornya.
Korea Utara Mengemis Perang
Dalam pertemuan DK PBB awal pekan ini, utusan AS untuk PBB, Nikki Haley mengatakan, 20 tahun peningkatan sanksi ternyata tak menghentikan program nuklir Pyongyang.
"Sudah cukup. Waktunya telah tiba untuk menghabiskan seluruh sarana diplomatik sebelum terlambat," ujar Haley. Ia menambahkan, berbagai sanksi yang dijatuhkan ke Korut sejak 2006 tidak bekerja seperti dikutip dari The Guardian.
Selain itu, Haley mengatakan, "Ancaman penggunaan rudal dan nuklirnya menunjukkan bahwa ia mengemis untuk perang. Perang bukanlah sesuatu yang diinginkan Amerika Serikat. Kami tidak menginginkannya sekarang. Kesabaran negara kami tidak terbatas. Kami akan membela sekutu dan wilayah kami."
Lebih lanjut, mantan Gubernur South Carolina tersebut menjelaskan bahwa pihaknya akan mengajukan sanksi baru untuk Korut dalam pekan ini. Sanksi itu akan menargetkan negara-negara yang melakukan perdagangan dengan Pyongyang.
"AS akan melihat setiap negara yang berbisnis dengan Korut sebagai sebuah negara yang memberikan bantuan atas ambisi nuklir Korut yang sembrono dan berbahaya," ucap Haley. Ia menambahkan, "Hanya sanksi terkuat yang akan memungkinkan kita menyelesaikan masalah ini melalui diplomasi."
Pernyataan Haley ini mengemuka ketika nyaris pada saat bersamaan Presiden Donald Trump berbicara melalui sambungan telepon dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in. Kedua pemimpin tersebut berbicara kurang lebih 40 menit dan mencapai kesepakatan bahwa uji coba nuklir Korut yang terjadi pada Minggu, 3 September adalah "provokasi serius yang belum pernah terjadi sebelumnya".
Advertisement