Liputan6.com, Naypyidaw - Peraih Nobel Perdamaian Desmond Tutu (85) mendesak pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi (72) untuk mengakhiri kekerasan yang menimpa etnis Rohingya. Sama seperti Tutu, Suu Kyi juga merupakan penerima Nobel Perdamaian.
Tutu yang juga merupakan seorang Uskup Agung mengatakan bahwa "kengerian" dan "pembersihan etnis" di wilayah Rakhine telah memaksanya untuk bicara, menentang wanita yang  dikagumi dan dianggapnya sebagai saudara perempuan tercinta. Demikian seperti dikutip dari The Guardian pada Jumat (8/9/2017).
Meski Suu Kyi membela diri dengan mengatakan bahwa pemerintahannya tengah menangani krisis Rohingya, Tutu mendesak peraih Nobel Perdamaian lainnya untuk melakukan intervensi.
Advertisement
"Saya sekarang sudah tua, jompo, dan pensiun secara resmi. Namun, saya melanggar sumpah saya untuk tetap diam dalam urusan publik karena dipicu kesedihan mendalam," ungkap Tutu melalui sebuah surat.
Baca Juga
"Selama bertahun-tahun saya memiliki foto Anda (Suu Kyi) di meja untuk mengingatkan saya akan ketidakadilan dan pengorbanan yang Anda alami atas cinta dan komitmen Anda bagi rakyat Myanmar. Anda melambangkan kebenaran," ujar Tutu.
"Kemunculan Anda dalam ranah publik menghilangkan kekhawatiran kami tentang kekerasan yang dilakukan terhadap warga Rohingya. Namun, apa yang disebut dengan 'pembersihan etnis' dan 'genosida yang perlahan-lahan' saat ini dipercepat."
"Ini tidak sesuai bagi sebuah simbol kebenaran untuk memimpin negara dengan cara seperti itu. Jika ongkos politik untuk menaikkan Anda ke posisi tertinggi di Myanmar adalah sikap diam Anda, maka ini harga yang terlalu mahal," tutur aktivis anti-Apartheid tersebut.
Menanti Aksi Suu Kyi
Tutu adalah satu dari sekian banyak tokoh yang mendesak Aung San Suu Kyi untuk berbuat lebih banyak demi melindungi Rohingya. Malala Yousafzai (20), peraih Nobel Perdamaian termuda, juga termasuk di antaranya.
Pada Senin lalu, Malala mengatakan bahwa dunia tengah menunggu Aung San Suu Kyi untuk beraksi.
"Setiap kali saya menyaksikan berita, hati saya hancur. Selama beberapa tahun terakhir, saya telah berulang kali mengutuk perlakuan tragis dan memalukan ini. Saya masih menunggu, rekan sesama peraih Nobel, Aung San Suu Kyi, untuk melakukan hal serupa," ujar Malala
Pada hari Selasa, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa apa yang terjadi di Rakhine "berisiko" menjadi pembersihan etnis. Sebuah petisi yang dilayangkan di change.org untuk menuntut pencabutan Nobel Perdamaian Suu Kyi hingga Jumat telah ditandatangani lebih dari 350 ribu.
Pada hari Kamis kemarin, Suu Kyi mengucap pernyataan pertamanya tentang krisis di Rakhine.
"Sedikit tidak masuk akan untuk mengharapkan kami menyelesaikan masalah ini dalam waktu 18 bulan," kata Suu Kyi kepada Asian News International. Ia menambahkan, "Situasi di Rakhine telah seperti itu sejak beberapa dekade. Ini kembali ke zaman prakolonial".
Menurut perkiraan PBB, setidaknya 300 ribu warga Rohingya telah mengungsi ke Bangladesh sejak operasi pembersihan dilakukan oleh Tatmadaw, angkatan bersenjata Myanmar.
Di lain sisi, militer Myanmar mengklaim bahwa apa yang dilakukan pihaknya adalah memberantas teroris di antara populasi Rohingya pascapenyerangan terhadap puluhan pos polisi pada 25 Agustus 2017.
Pemerintah Myanmar mengklaim, sejauh ini 400 orang tewas. Sementara PBB memperkirakan jumlah mereka yang kehilangan nyawa lebih dari 1.000 orang.
Dan melalui suratnya, Desmond Tutu pun mengajak Suu Kyi untuk melakukan intervensi dan bicara lantang.
"Sebagaimana kami menyaksikan horor yang tengah berlangsung, kami berdoa untuk Anda agar menjadi lebih berani dan gigih. Kami berdoa agar Anda berbicara bagi keadilan, HAM, dan persatuan rakyat Anda. Kami berdoa agar Anda campur tangan dalam krisis yang meningkat dan membimbing rakyat Anda kembali ke jalan yang benar lagi," tulis Tutu.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini: