Liputan6.com, Jakarta - Pertempuran heroik hingga titik darah penghabisan telah terjadi sepanjang sejarah, di hampir setiap konflik dalam peradaban manusia.
Ada banyak alasan yang menyebabkan para pasukan memutuskan untuk berjuang sekuat tenaga, ketimbang menyerah di medan pertempuran.
Advertisement
Baca Juga
Beberapa di antaranya, beralasan, sudah merupakan tugas dan kewajiban untuk tidak pernah menyerah dari sebuah pertempuran, bahkan ketika menghadapi tantangan yang taruhannya adalah nyawa.
Sebagian yang lain menganggap bahwa tak menyerah dari sebuah pertempuran merupakan sebuah strategi, yakni dengan mencoba semaksimal mungkin untuk mengulur-ulur waktu dan memeras tenaga lawan, hingga bala bantuan koalisi tiba.
Sisanya, yang memutuskan untuk tidak menyerah, justru diselubungi rasa takut. Mereka lebih memilih tewas di medan perjuangan ketimbang menjadi tawanan perang --dan potensi disiksa oleh-- pasukan lawan.
Di sisi lain, taktik yang digunakan saat pertempuran juga memiliki andil dalam perjuangan tersebut. Jika berhasil, tentu saja kemenangan yang akan didapat.
Seandainya pun kalah, mereka yang berada di medan perang pasti merasa puas sudah berjuang semaksimal mungkin.
Berikut 2 kisah adu taktik dalam perang berujung kemenangan, yang Liputan6.com rangkum dari Toptenz.net, Minggu (10/9/2017).
1. Pertempuran di Sungai Marne, Jerman, 1914
Pada tahun 1914, Pertempuran Mons merupakan salah satu konflik bersenjata terhebat dalam Perang Dunia I. Pertempuran itu menampilkan adu kuat antara militer Inggris melawan pasukan Jerman.
Namun, pertempuran itu terjadi tidak berimbang, dua berbanding satu untuk keunggulan kuantitas pasukan Jerman.Â
Akan tetapi, pasukan Inggris berkeinginan untuk tetap memberikan perlawanan sambil melakukan aksi mundur. Meski begitu, tak satupun dari tentara Inggris yang ingin menyerah.
Taktik itu menuai secercah kesuksesan, meski pasukan Inggris kerap dibombardir oleh artileri Jerman selama prosesnya. Kesuksesan itu dipengaruhi oleh akurasi menembak pasukan Inggris yang mumpuni dalam mendaratkan timah panas ke tubuh pasukan Jerman.
Bagi pasukan Inggris, aksi itu disebut sebagai The Great Escapes.
Karena selama dua minggu berturut-turut pasukan Britania Raya berhasil menghindari sergapan pasukan Jerman, mereka akhirnya tiba di Sungai Marne (titik berkumpul evakuasi pasukan Sekutu), dan pada waktu yang bersamaan berhasil mengurangi kuantitas serta memukul mundur pasukan Jerman secara krusial.
Advertisement
2. Pertempuran Masada, Israel, 73 SM
Setelah pengepungan Yerusalem dan penghancuran Bait Suci Kedua pada akhir Perang Yahudi-Romawi Pertama, Kaisar Titus dari Romawi memberikan kabar kepada para jenderalnya untuk melakukan perlawanan lain ke sebuah benteng di Provinsi Yudea, Israel.
Benteng itu dikuasai oleh sekelompok Yahudi Sicarii di Masada. Benteng tersebut terletak di atas sebuah gunung berbentuk meja, tapi curam, di mana Raja Herodes Agung memperkuat benteng yang ada di sana dan membuatnya menjadi tempat perlindungan bagi dirinya sendiri jika terjadi pemberontakan sekitar 100 tahun sebelumnya.
Akses ke gerbang hanya bisa dilakukan dengan jalur yang sangat sempit dan berkelok-kelok, yang dikenal sebagai 'Ular'. Sangat sempit sehingga sulit bagi dua pria untuk berjalan berdampingan. Dan di sinilah sisa-sisa terakhir pemberontakan Yahudi membuat mereka berdiri melawan orang-orang Romawi.
Dikomandoi oleh Lucius Silva, Legiun Romawi yang berjumlah sekitar 10.000 orang, mengelilingi benteng tersebut dan membangun tembok di sekelilingnya. Tapi mereka menyadari bahwa butuh waktu lama sebelum para penghuni benteng dapat menyerah akibat kekurangan bahan makanan dan air.
Akibatnya, opsi untuk mengepung benteng hingga para Yahudi Sicarii kelaparan nampak tak efektif. Maka, bagi legiun Romawi, tak ada pilihan lain selain menyerang benteng melalui jalur Ular.
Guna mendukung penyerangan, tentara Romawi membangun jalan setinggi 200 meter ke atas benteng. Dan mereka melakukannya ditengah serangan panah konstan dari para Yahudi Sicarii. Jalan itu masih ada sampai sekarang.
Mereka kemudian memulai pembangunan menara pengepungan dan tongkat pemukul untuk menembus tembok. Seluruh operasi memakan waktu sekitar tiga bulan untuk menyelesaikannya.
Begitu serangan terakhir datang dan sebuah lubang di dinding ditinju, penyerang menemukan sebuah penemuan tak terduga. Sebanyak 960 penghuninya bunuh diri malam sebelum serangan terakhir, hanya dua wanita dan lima anak yang ditemukan hidup di bak air bawah tanah.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini: