Liputan6.com, Teheran - Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei angkat bicara soal krisis Rohingya. Tokoh berusia 78 tahun tersebut menyebut sosok Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto sekaligus State Counsellor Myanmar sebagai "wanita kejam" yang menyetujui kekerasan terhadap warga Rohingya.
Khamenei menegaskan bahwa negara-negara Islam perlu mengambil tindakan melawan Myanmar. Namun bukan dengan jalan militer, melainkan memberikan sanksi pada sektor politik, ekonomi, dan perdagangan. Demikian seperti dikutip dari Tehran Times pada Rabu (13/9/2017).
Advertisement
Baca Juga
Selain itu, Khamenei juga menuturkan bahwa krisis yang terjadi di Myanmar tidak seharusnya dianggap sebagai konflik sektarian antara Islam dan Buddha. Ia berpendapat yang sedang terjadi adalah konflik politik yang dibumbui oleh ketegangan antaragama.
Kritik Khamenei juga dialamatkan kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres. Menurutnya, yang dilakukan Guterres hanya mengecam dengan kata-kata. Selanjutnya, Khamenei juga mendesak OKI untuk menggelar konferensi dalam rangka membahas krisis di Myanmar.
Suu Kyi Dikepung Kritik
Sebelum Khamenei, sejumlah tokoh dunia telah lebih dulu mengkritik Aung San Suu Kyi. Di antara mereka adalah peraih Nobel Perdamaian Malala Yousafzai, Desmond Tutu dan Shirin Ebadi, Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson, serta Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Malala mendesak Suu Kyi mengutuk "perlakuan tragis dan memalukan" terhadap warga Rohingnya.
"Selama beberapa tahun terakhir, saya terus mengutuk perlakuan tragis dan memalukan ini. Saya masih menunggu sesama pemenang Nobel, Aung San Suu Kyi, untuk melakukan hal serupa. Dunia, juga muslim Rohingya menantinya," kata Malala dalam akun pribadinya @Malala, 3 September 2017.
Sementara itu, Menlu Inggris yang akrab disapa BoJo menyebut, perlakuan terhadap muslim Rohingya telah menodai reputasi Myanmar.
Johnson pun mendesak Suu Kyi untuk memanfaatkan kualitasnya yang luar biasa demi mengakhiri penderitaan warga Rohingya di Rakhine.
"Aung San Suu Kyi dianggap sebagai salah seorang tokoh paling menginspirasi, tapi perlakuan terhadap Rohingya sangat menjelekkan reputasi Myanmar," ujar pria yang akrab disapa Bojo tersebut seperti dikutip dari BBC pada Senin 4 September 2017.
"Suu Kyi menghadapi tantangan besar dalam memodernisasi negaranya. Saya harap dia sekarang dapat menggunakan kualitasnya yang luar biasa untuk menyatukan negaranya, untuk menghentikan kekerasan dan prasangka yang menimpa baik umat muslim maupun komunitas lainnya di Rakhine," imbuh Suu Kyi.
Ada pun Desmond Tutu yang juga merupakan seorang Uskup Agung mengatakan bahwa "kengerian" dan "pembersihan etnis" di wilayah Rakhine telah memaksanya untuk bicara, menentang wanita yang dikagumi dan dianggapnya sebagai saudara perempuan tercinta.
Shirin Ebadi, aktivis hak asasi manusia dan pemenang Nobel Perdamaian edisi 2003 menuduh, Aung San Suu Kyi telah berpaling dari demokrasi sejak naik ke tampuk kekuasaan Myanmar.
Ebadi juga menyebut, sebagai pemenang Nobel Perdamaian, Suu Kyi gagal menerapkan idealisme yang terkandung dalam penghargaan itu.
"Suu Kyi menerima penghargaan itu atas perjuangannya melawan opresi. Namun, ia gagal menerapkan idealisme penghargaan itu," terang Ebadi.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini: