Liputan6.com, Naypyidaw - Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, menyebut Rohingya merupakan kelompok etnis yang tak memiliki akar di Myanmar. Ia juga mendesak agar warga Myanmar untuk bersatu atas "isu" seputar kelompok etnis tersebut.
"Mereka menuntut pengakuan Rohingya, yang tak pernah menjadi kelompok etnis di Myanmar. Isu 'Bengali' adalah permasalahan nasional dan kita perlu bersatu untuk mengonstruksi kebenaran," jelas Jenderal Min Aung lewat akun Facebooknya pada Sabtu, 16 September. Demikian seperti dikutip dari The Daily Star, Senin (18/9/2017).
Advertisement
Baca Juga
Komentar sang jenderal muncul di tengah derasnya arus kecaman dan kutukan yang datang dari komunitas internasional terhadap cara pemerintah dan militer Myanmar dalam menangani isu tersebut.
Isu yang dimaksud adalah mengenai eksodus ratusan ribu etnis Rohingya dan kelompok minoritas lain dari Rakhine pascakonflik bersenjata yang terjadi pada 25 Agustus 2017.
Konflik bersenjata 25 Agustus 2017 lalu dipicu atas serangan sistematis yang dilakukan oleh kelompok militan Rohingya (ARSA) terhadap sejumlah pos polisi di Rakhine.
Sebagai bentuk respons, angkatan bersenjata Myanmar --yang dikepalai oleh Jenderal Min Aung-- melakukan operasi balasan untuk memburu militan Rohingya yang bertanggung jawab atas serangan 25 Agustus lalu. Akan tetapi, sepanjang prosesnya, warga sipil tak bersalah --yang kebanyakan merupakan etnis Rohingya dan beberapa kelompok minoritas lain-- ikut menjadi korban.
Bahkan, komunitas internasional --termasuk PBB-- kuat menduga bahwa militer dan polisi Myanmar justru sengaja melakukan kejahatan kemanusiaan dan hak asasi manusia yang terkonsentrasi terhadap etnis Rohingya selama operasi militer itu berlangsung.
Akibatnya, hampir 400.000 etnis Rohingya dan kelompok minoritas yang terdampak melakukan eksodus massal. Beberapa di antara pengungsi itu mengaku telah menjadi korban kekerasan, saksi mata pembantaian, serta pembakaran desa yang dilakukan oleh militer serta polisi Myanmar.
PBB menyebut aksi yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap Rohingya sebagai "contoh nyata dari definisi kontekstual mengenai pembersihan etnis".
Rohingya telah termarginalkan secara terstruktur oleh pemerintah Myanmar selama puluhan tahun. PBB juga menyebut mereka sebagai kelompok etnis di dunia yang paling banyak dan sering menerima persekusi serta represi.
Salah satu bentuk marginalisasi struktural yang diterima oleh etnis Rohingya adalah tidak diakuinya status kewarganegaraan mereka oleh pemerintah Myanmar selama puluhan tahun.
Pemerintah --sekaligus kelompok etnis mayoritas-- memandang Rohingya sebagai pengungsi gelap dari Bangladesh. Mereka juga menolak penamaan "Rohingya" sebagai etnis asli Myanmar, dan secara konsisten menyebut mereka sebagai kelompok "Bengalis" yang berasal dari Bangladesh.
Padahal, sejumlah komunitas dunia, termasuk salah satunya Amnesty International menyebut --dengan mengutip hasil studi dan kajian ilmiah-- bahwa Rohingya merupakan kelompok etnis asli yang telah hidup ratusan tahun di bumi Myanmar.
Konsistensi pemerintah dan militer Myanmar dalam memperlakukan etnis Rohingya menuai kecaman dan kutukan dari komunitas internasional. Selain itu, sikap bergeming pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, turut menjadi sasaran kritik.
Akan tetapi, sejumlah pihak menyebut, Suu Kyi justru tidak memiliki kapabilitas dan kewenangan yang mumpuni untuk menghentikan persekusi serta represi yang dilakukan oleh militer. Mengingat, militer masih memiliki peran yang luar biasa besar, baik dalam eksekutif maupun legislatif Myanmar, meski negara itu telah lepas dari sistem pemerintahan junta sejak 2011.
Tentara Myanmar Membakar Desa Rohingya?
Amnesty International di Indonesia melaporkan, militer Myanmar diduga kuat melakukan pembakaran terhadap sejumlah desa yang dihuni oleh etnis Rohingya dan kelompok minoritas.
Dugaan tersebut muncul dari hasil laporan tim pencari fakta Amnesty International yang berada di Myanmar dan Bangladesh. Laporan itu disampaikan kepada media di Jakarta, Jumat, 15 September 2017.
Menurut Laura Haigh, ketua tim pencari fakta untuk Amnesty Internasional di Myanmar, bukti yang berhasil dikumpulkan oleh rekan sejawatnya di lapangan menunjukkan keterlibatan militer Myanmar dalam aksi serangan dan pembakaran desa yang dihuni oleh etnis Rohingya.
Bukti itu diperoleh dari hasil wawancara tim Amnesty International dengan sejumlah etnis Rohingya yang telah mengungsi di Bangladesh, pencitraan satelit terhadap area desa yang diduga dibakar oleh militer, dan dokumentasi foto serta video.
"Kami berhasil menemukan bukti secara nyata mengenai keterlibatan militer Myanmar dalam indikasi kejahatan kemanusiaan dan pembersihan etnis di Rakhine," jelas Haigh lewat sambungan Skype di kantor Amnesty International, Jakarta.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement