Liputan6.com, Montreal - Teleskop Hubble milik NASA yang mengobservasi planet di luar tata surya kita -- exoplanet, menemukan sebuah planet yang permukannya mirip aspal. Pasalnya, permukaan tersebut nyaris sama sekali tak memantulkan cahaya.
Exoplanet tersebut, WASP-12b, dijuluki 'Yupiter-panas', karena ukurannya yang besar, tersusun atas gas, dan mengorbit sangat dekat dengan bintang induknya sehingga memiliki suhu yang panas.
Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan Astrophysical Journal Letters, planet tersebut mampu 'melahap' cahaya dan menjebak setidaknya 94 sinar yang jatuh di atmosfernya.
Advertisement
Baca Juga
"Kami tak mengira akan menemukan exoplanet gelap seperti itu," pemimpin peneliti, Taylor Bell, dari McGill University dan Institute for Research on Exoplanets di Montreal, Quebec, Kanada.
"Sebagian besar Yupiter-panas merefleksikan sekitar 40 persen cahaya," kata Bell.
Dikutip dari The Indian Express, Selasa (18/9/2017), WASP-12 b berjarak 3,2 juta kilometer dari bintang induknya dan menyelesaikan orbitnya satu kali setiap hari. Ia mengorbit bintang mirip Matahari yang berjarak 1,400 tahun cahaya, di konstelasi Auriga.
Atmosfer planet tersebut sangat panas dan menyebabkan sebagian besar molekulnya tak dapat bertahan di sisi terik planet, di mana suhunya bisa mencapai 2.537,7 derajat Celcius.
Oleh karena kondisi tersebut, awan mungkin tak bisa terbentuk untuk memantulkan cahaya kembali ke angkasa. Sebagai gantinya, cahaya masuk menembus jauh ke dalam atmosfer planet di mana ia diserap oleh atom hidrogen dan diubah menjadi energi panas.
Tapi di sisi gelapnya atau malam hari, kondisi exoplanet itu justru kontras dengan sisi siangnya.
Sisi malamnya bersuhu 1.093 derajat Celcius lebih dingin dibanding sisi siang. Di sisi tersebut, uap air dan awan berkemungkinan untuk terbentuk.
Planet Raksasa Terpanas Mirip Yupiter Lain
Pada Juni 2017, astronom telah menemukan exoplanet terpanas yang suhunya lebih tinggi dibandingkan permukaan kebanyakan bintang.
Planet mirip Yupiter bernama KELT-9b itu, mengelilingi bintangnya -- seperti Bumi mengelilingi Matahari -- setiap 1,5 hari. Orbitnya begitu kencang sehingga raksasa gas itu selalu menunjukkan wajah yang sama ke hadapan bintangnya, sama seperti bulan terhadap Bumi.
Suhu KELT-9b pada siang hari mencapai 4.300 derajat Celcius. Temperaturnya lebih panas di bandingkan permukaan bintang kerdil yang mendominasi galaksi Bima Sakti (1.200 derajat Celcius).
Temperatur ekstrem di planet yang terletak 650 tahun cahaya itu, membuatnya menjadi seperti dunia lain. Sebagai contoh, molekul seperti air dan karbon dioksida tak bisa berada di atmosfer planet.
"Ini adalah planet yang atmosfernya hampir dipastikan tidak seperti di planet yang pernah kita lihat...," ujar profesor astronomi di Ohio State University, Scott Gaudi. Ia adalah co-leader studi yang mengumumkan penemuan KELT-9b yang diterbitkan pada 5 Mei 2017 di jurnal Nature.
Dilansir Space.com, bintang tempat KELT-9 mengorbit lebih besar dan panas dari Matahari, dan radiasi intensnya menyebabkan atmosfer KELT-9b menguap. Planet KELT-9 2,8 kali lebih besar dibanding Yupiter namun kepadatannya hanya separuhnya.
"KELT-9 (bintang KELT-9b) memancarkan radiasi ultraviolet sehingga benar-benar menguapkan planet," ujar co-leader studi, Keivan Stassun, yang merupakan profesor fisika dan astronomi di Universitas Vanderbilt di Tennesse.
Peneliti menemukan KELT-9b dengan menggunakan Kilodegree Extremely Little Telescope (KELT) di Winer Observatory, Arizona. Saat ditemukan, planet tersebut sedang melintas di depan bintangnya.
Astronom bertujuan untuk mengobservasi KELT-9b dengan instrumen lain, termasuk teleskop Hubble dan Spitzer milik NASA dan James Webb Space Telescope senilai US$ 8,9 miliar yang akan diluncurkan pada akhir 2018.
Gambar yang didapatkan melalui teleskop Hubble, dapat mengungkap apakah KELT 9-b benar-benar menguap. Hal tersebut membantu astronom menentukan berapa lama planet itu akan bertahan sebagai gas raksasa.
"Ketika kita berusaha mengembangkan gambaran lengkap tentang berbagai dunia lain di luar sana, penting untuk mengetahui tidak hanya bagaimana planet terbentuk dan berkembang, tetapi juga kapan dan dalam kondisi apa mereka hancur," ujar Stassun.
Tim peneliti juga mempresentasikan temuan terbaru itu pada pertemuan ke-230 American Astronomical Society di Austin, Texas.
Advertisement