Liputan6.com, Naypyidaw - State Counsellor dan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, akhirnya buka suara di tengah krisis kemanusiaan yang melanda Warga Rohingya.
Dalam pidato nasional yang disiarkan di televisi, Suu Kyi mengatakan bahwa Myanmar tak takut dengan sorotan masyarakat internasional atas krisis kemanusiaan yang tengah terjadi di negaranya.
"Bukan lah niat Pemerintah Myanmar untuk melempar kesalahan atau melepaskan tanggung jawab. Kami mengecam semua pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan yang tak berlandaskan hukum," ujar Suu Kyi dalam pidato 'The National Reconciliation and Peace' yang disampaikan di Naypyidaw, seperti dikutip dari CNN, Selasa (19/9/2017).
Advertisement
Baca Juga
"Kami berkomitmen dalam pemulihan perdamaian, stabilitas, dan peraturan perundang-undangan di seluruh negara bagian," kata Suu Kyi.
Meski demikian, Suu Kyi menyebut bahwa pihaknya ingin menemukan bukti kuat sebelum bertindak.
"Kami juga prihatin. Kami ingin mencari tahu apa masalah sebenarnya. Ada tuduhan dan tuduhan balasan. Kita harus mendengarkan mereka semua. Kita harus memastikan tuduhan tersebut didasarkan pada bukti kuat sebelum kita bertindak," ujar dia seperti dilansir The Guardian.
Perempuan kelahiran 19 Juni 1945 itu, juga menyampaikan bahwa Myanmar merasakan penderitaan yang dialami oleh semua kelompok di Rakhine -- negara bagian yang menjadi rumah bagi warga Muslim Rohingya.
"Kami prihatin mendengar banyak warga muslim kabur ke Bangladesh," kata Suu Kyi. "Kami ingin mencari tahu mengapa eksodus ini terjadi," imbuh dia.
Meski mendapat kritik tajam dari dunia internasional, Aung San Suu Kyi tampaknya masih menjadi sosok populer. Dilansir dari CNN, banyak pendukungnya menuduh masyarakat internasional gagal memahami dengan baik krisis tersebut.
Di Yangon, banyak orang berkumpul di sebuah layar besar untuk menyaksikan pidato Suu Kyi. Dalam sebuah demonstrasi sehari sebelum Suu Kyi menyampaikan pidatonya, ratusan orang berkumpul untuk menunjukkan dukungan kepada pemerintah.
Â
Suu Kyi Tak Hadiri Sidang Majelis Umum PBB
Pidato rekonsiliasi dan perdamaian nasional yang disampaikan Suu Kyi, dilakukan di tengah pelaksanaan Sidang Majelis Umum PBB ke-72. Ia, memilih absen dalam kegiatan tahunan itu.
Sekitar 400.000 muslim melarikan diri dari Rakhine, Myanmar, ke Bangladesh sejak gelombang kekerasan kembali merebak pada 25 Agustus 2017. Sebagian wilayah desa dilaporkan telah rata dengan tanah akibat dibakar.
PBB pun menuduh pemerintah Myanmar telah melakukan pembersihan etnis. Sementara itu, militer Myanmar mengatakan bahwa pihaknya hanya memerangi gerilyawan Rohingya dan membantah laporan telah menargetkan warga sipil.
Warga Rohingya beberapa kali harus merasakan gelombang kekerasan. Menurut sejumlah laporan, mereka kerap mendapat diskriminasi karena tak kunjung menjadi warga negara resmi Myanmar.
Suu Kyi, yang meraih Nobel Perdamaian pada 1991, mendapat kritik secara luas dari mantan pendukungnya di negara-negara Barat karena dinilai gagal mencegah kekerasan.
Rekan peraih Nobel, termasuk Dalai Lama, Demond Tutu, dan Malala Yousafzai, telah meminta Suu Kyi untuk menghentikan kekerasan yang dialami warga Rohingya.
Sejumlah pihak menilai bahwa absennya Suu Kyi di sidang Majelis Umum PBB karena berusaha menghindari sorotan atas kritik keras yang diterimanya.
Namun, Juru Bicara Pemerintah Myanmar, Aung Shin, mengatakan bahwa Suu Kyi memiliki masalah yang mendesak untuk ditangani sehingga tak hadir dalam sidang tersebut. Ia menambahkan, Suu Kyi tak pernah takut menghadapi kritik atau masalah.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement