Sukses

Iran: AS Akan 'Bayar Mahal' jika Keluar dari Kesepakatan Nuklir

Nuklir Iran diperkirakan akan menjadi salah satu isu global utama yang dibahas dalam Sidang Majelis Umum PBB.

Liputan6.com, New York - Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan, Amerika Serikat akan membayar dengan "harga yang tinggi" jika Presiden Donald Trump membatalkan kesepakatan nuklir Iran.

"Keluar dari perjanjian semacam itu akan membuat AS membayar mahal. Dan saya tidak yakin rakyat Amerika bersedia membayar harga mahal untuk sesuatu yang tidak akan berguna bagi mereka," ujar Presiden Rouhani di New York seperti dilansir CNN pada Selasa (19/9/2017).

Rouhani menyebutkan bahwa keputusan pemerintahan Trump untuk keluar dari kesepakatan nuklir tidak akan menghasilkan apa-apa bagi AS, melainkan hanya akan menurunkan dan memangkas kepercayaan internasional terhadap Negeri Paman Sam.

Pekan lalu, AS memperpanjang keringanan sanksi untuk Teheran sebagai bagian dari kesepakatan nuklir Iran.

Oktober mendatang menjadi penentuan. Trump akan memutuskan, apakah akan menyatakan Iran mematuhi kesepakatan yang nuklir yang memiliki nama resmi Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Jika tidak, Kongres memiliki waktu 60 hari untuk membuat keputusan langkah apa yang akan diambil berikutnya.

Terkait hal ini, Rouhani mengatakan bahwa Iran siap untuk menghadapi kemungkinan bahwa AS akan meninggalkan kesepakatan yang dicapai pada era pemerintahan Barack Obama tersebut. "Mengingat tindakan dan reaksi serta kebijakan Trump tidak dapat diprediksi, kami telah lama memikirkan sikap kami".

Rouhani yang terpilih kembali untuk masa jabatan kedua pada awal tahun ini merupakan arsitek kunci dari kesepakatan nuklir Iran bersama dengan AS, Uni Eropa dan mitra lainnya.

Kesepakatan tersebut menyebabkan pencabutan sebagian besar sanksi internasional terhadap Iran sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya.

Isu terkait nuklir Iran diprediksi akan menjadi salah satu pembahasan utama dalam Sidang Majelis Umum PBB yang diselenggarakan di Markas Besar PBB di New York pada 18 hingga 23 September 2017. Baik Rouhani mau pun Trump menghadiri sidang tahunan tersebut.

Pada Kamis lalu, Trump kembali menyerang kesepakatan itu. "Anda akan menyaksikan apa yang akan saya lakukan pada bulan Oktober. Saya tegaskan, kesepakatan nuklir Iran adalah salah satu perjanjian yang terburuk yang pernah saya llihat. Itu bukanlah kesepakatan yang adil bagi negara ini, sebuah kesepakatan yang seharusnya tidak pernah dibuat".

Presiden AS itu menyebut bahwa Iran telah melanggar begitu banyak elemen yang berbeda dari kesepakatan itu.

Berbeda dengan Trump, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) justru mengatakan bahwa Iran mematuhi komitmennya berdasarkan kesepakatan tersebut.

2 dari 2 halaman

Korut, Suriah, dan Myanmar

Presiden Iran Hassan Rouhani memperingatkan preseden diplomatik jika AS menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran, terutama yang berkaitan dengan Korea Utara.

"Menurut saya, pengalaman yang ditunjukkan Iran baik untuk direplikasi dan dieksekusi di tempat lain," terang Rouhani.

"Namun, tolong diingat jika AS menarik diri dari JCPOA, mengapa Korut harus membuang waktu mereka untuk berdialog dengan AS karena mereka mungkin akan berpikir 'setelah bertahun-tahun melakukan pembicaraan dan mencapai perjanjian potensial' AS bisa saja mundur dari kesepakatan tersebut," imbuhnya.

Sementara itu, terkait dengan perang di Suriah, Rouhani mengklaim kemenangan berada di pihak rezim Bashar al-Assad. Iran sendiri menjadi salah satu sekutu Assad.

"Tindakan kami berhasil dan hari ini kita menyaksikan tahap akhir dari kekalahan ISIS," ungkap Rouhani.

Ia menambahkan, "Masa depan Suriah akan ditentukan oleh perundingan dan akhirnya oposisi harus mencapai kesepakatan dengan pemerintah dan kehendak rakyat akan harus menjadi penentu apa yang terjadi".

Terkait dengan krisis Rohingya yang berpusat di Rakhine, Rouhani menegaskan bahwa Myanmar harus dikecam dan bantuan kemanusiaan harus diteruskan ke Bangladesh.

Dalam kesempatan yang sama, Rouhani juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa ISIS dan Al Qaeda di Suriah dan Irak dapat datang ke Bangladesh dan Myanmar untuk mengeksploitasi krisis Rohingya.