Liputan6.com, Jenewa - Lebih dari 40 juta orang di dunia diperkirakan menjadi korban perbudakan modern pada 2016. Mirisnya, satu di antara empat korban adalah anak-anak.
Berdasarkan laporan Organisasi Pekerja Internasional (ILO) dan organisasi nirlaba Walk Free Foundation tersebut, 25 juta jiwa bekerja paksa -- di bawah ancaman atau paksaan -- dan 15 juta orang lainnya menikah secara terpaksa.
Dikutip dari CNN, Rabu (20/9/2017), sulit mengetahui secara pasti berapa banyak orang yang hidup dalam perbudakan moderen dan penelitian yang berbeda menghasilkan perkiraan yang berbeda pula. Salah satu alasannya adalah, perbudakan moderen merupakan kejahatan tersembunyi yang sulit dikenali.
Advertisement
Alasan lain adalah, studi yang berbeda menggunakan definisi perbudakan yang berbeda pula. Misalnya beberapa di antaranya memasukkan pernikahan paksa, sedangkan yang lain tidak.
Baca Juga
Meski demikian, ILO dan Walk Free Foundation mendeskripsikan bahwa laporan tersebut menunjukkan angka perbudakan paling terpercaya hingga saat ini. Para peneliti mengatakan bahwa jumlah tersebut menunjukkan bahwa ada banyak hal yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah itu.
"Kami tahu bahwa jika ada 40 juta orang dalam perbudakan moderen, hanya adalah sepuluh ribu korban yang mendapat bantuan, didampingi, dan menerima dukungan, baik melalui sistem peradilan pidana atau melalui sistem pendukung bagi korban," ujar Direktur Eksekutif Penelitian Global Walk Free Foundation, Fiona David.
"Ini adalah celah besar yang harus ditutup," imbuh dia.
Menurut laporan tersebut, 71 persen korban perbudakan adalah perempuan dan anak-anak, termasuk mereka yang bekerja di industri seks dan korban pernikahan paksa.
Laporan tersebut mendefiniskan perbudakan modern sebagai situasi eksploitasi di mana korban tak dapat meninggalkan hal tersebut karena ada ancaman, kekerasan, paksaan, atau penipuan -- termasuk kerja paksa, jeratan hutang, pernikahan paksa, dan perdagangan manusia.
Laporan itu menggabungkan data dari 2012 hingga 2016 dari beragam sumber, termasuk mewawncarai 71.000 responden di 48 negara.
Berdasarkan laporan, perbudakan moderen paling lazim terjadi di Afrika, di mana terdapat 7,6 korban per 1.000 orang. Posisi kedua ditempati Asia dan Pasifik di mana terdapat 6,1 korban per 1.000 orang.
Ahli statistik senior dengan ILO, Michaelle De Cock, mengatakan bahwa penelitian tentang kerja paksa menyoroti kurangnya sistem perlindungan sosial.
"Ada kebutuhan akan hak-hak buruh dan sosial dalam ekonomi informal, dan kebutuhan akan perdagangan bersama dan organisasi pekerja," imbuh De Cock.
Pekerja Anak-Anak
ILO secara bersamaan merilis laporan lain soal pekerja anak-anak. Berdasarkan laporan The 2017 Global Estimates of Child Labor, ditemukan bahwa terdapat 152 juta pekerja anak-anak diseluruh dunia, dan 73 di antaranya harus bekerja di tempat yang membahayakan kesehatan, keselamatan, dan perkembangan moral mereka secara langsung.
Menurut laporan tersebut, 90 persen anak-anak pekerja berada di Afrika serta Asia dan Pasifik.
Berdasarkan laporan itu juga diketahui bahwa 71 persen atau sekitar 108 juta anak-anak, bekerja di bidang pertanian -- umumnya dalam pertanian subsisten dan komersial serta penggembalaan ternak.
Laporan tersebut menggunakan data dari 105 survei rumah tangga nasional, yang mencakup lebih dari 70 persen populasi anak-anak berusia 5 hingga 17 tahun di seluruh dunia.
Angka tersebut termasuk 38 juta anak berusia 15 hingga 17 tahun. Meski usia 15 hingga 17 tahun berada di atas usia kerja minimum 15 tahun, ILO menganggap mereka termasuk pekerja anak-anak jika pekerjaannya merugkan secara fisik atau psikologis.
Kedua laporan tersebut dimaksudkan untuk membantu mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.
"SDG menjadi motivator besar dalam penelitian ini," ujar David.
"Sangat penting bahwa jka Anda ingin mengakhiri perburuhan anak dan perbudakan moderen, maka Anda harus memiliki beberapa kerangka pengukura, jadi kami berusaha memperlihatkan betapa besar masalah ini sehingga setiap orang memiliki informasi yang mereka butuhkan unutk mengembangkan respons," jelas David.
Advertisement