Liputan6.com, Jakarta - Peningkatan jumlah gempa yang terjadi di bawah gunung berapi Gunung Agung di timur Bali, Indonesia, selama beberapa minggu terakhir ini membuat otoritas kebencanaan berjaga-jaga dan waspada.
Peringatan terbaru yang dikeluarkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dan pemerintah lokal telah melarang pendakian gunung dan memerintahkan evakuasi dalam jarak 7,5 kilometer dari puncak.
Advertisement
Meski jarang terjadi, letusan Gunung Agung termasuk yang terbesar di antara aktivitas vulkanik global dalam 100 tahun terakhir. Lebih dari 1.000 orang meninggal dalam letusan terakhir pada 1963.
Kemampuan kita memprediksi letusan telah meningkat secara drastis sejak peristiwa terakhir ini. Maka, kita bisa berharap jumlah korban tewas seperti itu tidak akan terjadi lagi.
Gunung Agung adalah satu dari sekian banyak gunung berapi di Indonesia dan wilayah Cincin Api yang mengelilingi Pasifik dan samudera timur India. Letusan Gunung Agung memang sporadis. Namun, Gunung Agung sangat terkenal akan abu vulkanik dan sulfur dioksida yang dilontarkan ke atmosfer.
Jenis aktivitas ini punya efek luas. Selain itu, tidak hanya penduduk Bali yang dapat merasakannya.
Letusan 1963-1964
Gunung Agung adalah gunung berapi yang besar dengan puncak 3.142 meter di atas permukaan laut. Gunung ini mendominasi pemandangan timur Bali.
Gunung Agung meletus pada 1963 yang didahului oleh gempa bumi. Kemudian pada Februari tahun itu, lahar mulai mengalir dari puncak kawah, yang akhirnya membentang hingga sekitar 7 kilometer ke bawah lereng utara. Ledakan kecil abu vulkanik menyertai aktivitas ini.
Intensitas aktivitas eksplosif berkembang dengan cepat sampai pada letusan besar pada 17 Maret. Pada waktu bersamaan, letusan dari aliran puing medan tersembunyi dari blok lava merah panas, abu dan gas (aliran piroklastik), merobohkan lereng-lereng yang mengenai daerah-daerah yang luas di sisi utara dan selatan gunung berapi.
Hujan deras di atas material vulkanik yang terpisah-pisah memicu arus lumpur dan batu-batu besar ke sisi lereng gunung yang lain. Arus puing ini disebut lahar, sebuah kata bahasa Indonesia yang telah diadopsi secara global. Agung meletus kembali dua bulan kemudian dengan konsekuensi fisik yang serupa.
Apa yang Terjadi Sekarang?
Berdasarkan aktivitas yang mendahului letusan terakhir Gunung Agung pada 1963, ada kekhawatiran bahwa gunung berapi tersebut mungkin mengalami letusan besar dalam waktu dekat.
Ada satu letusan yang intensitasnya serupa pada 1843 dan beberapa letusan di abad ke-16 sampai 18.
Kemampuan ahli vulkanologi untuk memprediksi letusan telah meningkat drastis dalam 50 tahun terakhir. Sumber bukti utama adalah frekuensi dan lokasi gempa di bawah gunung berapi, yang disebabkan oleh magma yang mengalir ke atas.
Pembengkakan dan peningkatan aktivitas gunung berapi ditambah dengan pengukuran suhu dan komposisi gas yang muncul dari kawah juga memberi petunjuk tentang kemungkinan terjadinya letusan.
Prediksi letusan yang akurat sampai periode waktu sesingkat jam dan hari, seperti sebelumnya letusan puncak di Gunung Pinatubo di Filipina pada 1990, telah berhasil menyelamatkan banyak nyawa.
Jadi tidak ada alasan kita tak siap dengan kemungkinan letusan Gunung Agung, asalkan saran yang diberikan oleh pihak berwenang, yang dilengkapi dengan penilaian ahli, diikuti oleh pemerintah dan masyarakat.
Selalu ada kesulitan dalam upaya memindahkan penduduk lokal dan penonton yang penasaran menjauh dari bahaya alam. Namun, Indonesia adalah negara yang paling aktif secara vulkanis di Bumi, dan telah menjadi ahli dalam melindungi penduduk sipil yang tinggal di lereng gunung.
Konsekuensi Lebih Luas
Magma yang keluar sepanjang Cincin Api kaya akan gas terlarut, terutama air, karbon dioksida dan sulfur dioksida. Selama magma naik ke permukaan bumi, pelepasan tekanan mengurangi daya larut senyawa gas.
Peningkatan volume gabungan gas dan magma (cair) dibandingkan dengan magma saja adalah proses fisik yang mendorong ledakan vulkanik dan fragmentasi magma membentuk abu. Sebagian besar gas vulkanik dibuang ke atmosfer bumi.
Ada banyak konsekuensi penting dari keseluruhan proses ini, namun dalam kasus sulfur dioksida, kasus letusan Gunung Agung sangat penting.
Sampai pada letusan 1963, pemantauan atmosfer telah berkembang sampai pada titik di mana sejumlah besar sulfur dioksida dapat dideteksi disuntikkan ke stratosfer dari gunung berapi ini.
Sulfur dioksida bereaksi dengan uap air membentuk tetesan berumur panjang (aerosol) asam sulfat. Sekitar 10 juta ton tetesan ini diketahui telah terakumulasi di stratosfer akibat erupsi tersebut.
Tetesan tersebut bisa bertahan selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun yang menyebabkan penurunan kecil pada suhu atmosfer global. Dalam kasus letusan Gunung Agung 1963, suhu turun sekitar 0,1-0,4 ℃.
Konsekuensi lain yang lebih luas dari jenis erupsi yang khas dari gunung berapi di Cincin Api adalah bahaya yang ditimbulkan oleh abu vulkanik atmosfer.
Gangguan lalu lintas udara adalah sebuah gangguan secara sosial dan ekonomi, seperti yang dialami baik untuk Bali, regional di Indonesia, maupun global.
Apa Selanjutnya?
Pemantauan aktivitas di bawah dan di atas Gunung Agung akan terus berlanjut. “Krisis seismik” yang serupa di gunung berapi lainnya tidak selalu diikuti letusan dalam waktu singkat.
Namun, dalam situasi yang terus berkembang, sangatlah penting saran dari otoritas ahli diikuti sehubungan dengan potensi bahaya yang dihadirkan oleh gunung dalam keadaannya saat ini.
Oleh Richard John Arculus, Emeritus professor in geology, Australian National University
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Advertisement