Liputan6.com, Baghdad - Masyarakat Kurdistan Irak tengah melaksanakan referendum pada 25 September 2017. Dengan format pemilihan umum, para warga berbondong-bondong datang ke bilik suara guna menentukan nasib salah satu region di utara Irak itu.
Akhir referendum nanti dapat memberikan status kedaulatan (sovereign state) bagi Kurdistan Irak --yang semula hanya berstatus sebagai proto-state, usai diberikan otonomi de facto secara penuh oleh Baghdad pada 30 Januari 2005. Demikian seperti dilansir CNN, Senin (25/9/2017).
Pemungutan suara dimulai pada pukul 08.00 dan berakhir pada 18.00 waktu setempat. Hasil akhir versi hitung cepat dapat diketahui dalam kurun waktu 72 jam ke depan.
Advertisement
Baca Juga
Kotak suara disebar ke seluruh wilayah yang jatuh dalam yurisdiksi Kurdistan Regional Government (KRG) --pemerintah de facto Kurdistan Irak. Kota sengketa Kirkuk, yang diperebutkan oleh Baghdad dan Erbil (Ibu Kota Kurdistan Irak), turut menggelar referendum.
Referendum itu dikecam oleh Iran dan Turki --dua negara yang masing-masing memiliki sejumlah kecil kelompok etnis Kurdi di wilayahnya.
Teheran dan Ankara menilai, referendum Kurdistan Irak berpotensi memicu hal serupa bagi Kurdistan Utara (di Turki) dan Kurdistan Timur (di Iran).
Kementerian Luar Negeri Turki menyebut referendum itu "tidak sah". Ankara juga menilai bahwa wilayah tersebut dapat memicu munculnya masalah keamanan dan kelompok radikal baru di kawasan.
Iran pun telah lama mengutuk referendum Kurdistan Irak, sejak perhelatan itu masih hanya sebatas wacana.
Amerika Serikat, Inggris, dan PBB telah mengimbau KRG untuk tidak mengadakan referendum, karena mampu menghambat upaya pemberantasan ISIS di kawasan.
Referendum Kurdistan Irak, Sejarah Sedang Berproses
Jelang referendum, pada Minggu kemarin, bendera Kurdistan Irak dikibarkan di beberapa bangunan di Kota Irbil yang dikontrol oleh KRG. Sementara itu, sempat terjadi laporan mengenai pertikaian antara kelompok pro-KRG dan pro-Baghdad.
Mereka yang mendukung berdaulatnya Kurdistan Irak menyebut referendum itu sebagai "sejarah yang sedang berproses".
Anggota Dewan Parlemen KRG, Perot Aziz, mengatakan, "Referendum itu didasari oleh ISIS, korupsi, ketidakmerataan perlakuan dan pembangunan, serta impunitas yang terjadi di Irak."
Pro-KRG juga menyebut bahwa Baghdad telah lama mengingkari janji untuk memperlakukan etnis Kurdi dan Arab (dominan) secara setara.
Sementara itu, etnis non-Kurdi yang berada di wilayah yurisdiksi KRG khawatir, kemerdekaan Kurdistan Irak justru akan membuat mereka sebagai "kelompok etnis kelas dua".
"Kebijakan Kurdi di Kirkuk adalah kebijakan Saddam Hussein," kata Ali Mehdi dari Front Turkmenistan Irak.
"Kirkuk sangat tegang saat ini dan orang Kurdi memaksa etnis non-Kurdi yang tertindas untuk berpartisipasi dalam referendum," tambahnya.
Di jalan menuju Mosul, sebuah pos pemeriksaan Kurdi Peshmerga (angkatan bersenjata Kurdistan Irak) --yang didirikan tujuh bulan yang lalu untuk dijadikan benteng pertahanan terhadap ISIS-- telah berubah menjadi calon pos perbatasan kuasi bagi wilayah yang akan meraih kedaulatannya.
Letnan Kolonel Mohammed Youssef yang mengawasi pos pemeriksaan mengatakan bahwa risiko kekerasan tidak berarti bagi orang Kurdistan Irak.
"Kami sudah seperti orang haus yang sangat membutuhkan air, begitulah cara kami merindukan kebebasan. Kami telah merindukan negara kami sendiri, untuk negara kami, kata Youssef. Kami membayar ini dengan darah dan kami siap untuk berkorban lebih banyak lagi."
Advertisement