Liputan6.com, Denpasar - Menatap Bulan, James Hansen terkenang akan peristiwa yang dialaminya pada akhir tahun 1963. Bersama dengan sejumlah rekannya, profesor ilmu bumi dan lingkungan yang kala itu berusia 22 tahun mengamati gerhana Bulan di sebuah observatorium di pinggiran Iowa City.
Saat itu, Hansen menyangka akan melihat Bulan yang berubah menjadi gelap. Namun, ia sama sekali tak pernah berpikir bahwa satelit alami Bumi itu lenyap dari pandangan.
Advertisement
Baca Juga
Awalnya ia kebingungan mengapa Bulan tiba-tiba menghilang. Namun, kemudian ia sadar bahwa hal tersebut ada kaitannya dengan erupsi Gunung Agung yang terjadi pada pertengahan Maret 1963.
Akibat erupsi tersebut, abu letusan menyelimuti lapisan di atas terbentuknya awan hujan. Dalam beberapa minggu, partikel vulkanik menyebar di lapisan atmosfer paling atas dan menyerap cahaya yang masuk. Kala itu, permukaan Bumi menjadi sedikit gelap.
"Biasanya kita bisa melihat Bulan saat gerhana dari sinar Matahari yang dibiaskan dalam bayangan Bumi," jelas Hansen seperti dikutip dari website Goddard Institute for Space Studies NASA, Senin (25/9/2017).
"Tapi malam itu atmosfer dipenuhi dengan aerosol vulkanik, sehingga sinar Matahari yang biasanya dipantulkan oleh cahaya Bulan, tak bisa menembus atmosfer Bumi dengan baik. Jadi kami melihat gerhana yang sangat gelap saat itu," imbuh Hansen saat menjelaskan gerhana Bulan yang hilang.
Partikel yang dikenal dengan aerosol itu dapat memantulkan dan menyerap sinar Matahari yang masuk. Hensen pun dibuat penasaran dengan efek adanya aerosol terhadap suhu permukaan Bumi.
Untuk mengetahui jawabannya, ia pun menghitung efek aerosol, gas rumah kaca, dan bagaimana Bumi menyerap dan memancarkan energi melalui persamaan fisika. Hasilnya, aerosol berperan atas menurunnya suhu Bumi.
Â
2. Penurunan Suhu Bumi
Perhitungan fisika yang dilakukan Hansen adalah salah satu upaya untuk memperkirakan dampak letusan gunung berapi terhadap suhu global. Pasalnya, pada saat itu tidak ada kumpulan data tahun 1960-an yang berskala dunia.
Pada saat itu, staf National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), Murray Mitchell, juga mengumpulkan data suhu permukaan Bumi. Namun, data Mitcheel hanya mencakup belahan Bumi utara.
Pada 1967 Hansen bekerja di Goddard Institute for Space Studies NASA, di mana ia melanjutkan penelitiannya yang sempat tertunda.
Sekitar tahun 1970-an, beberapa ilmuwan menduga bahwa Bumi memasuki masa pendinginan global. Beberapa dekade sebelumnya, seorang matematikawan Serbia, Milutin Milankovitch, menjelaskan bagaimana suhu Bumi berfluktuasi karena perubahan posisi dengan Matahari.
Teori Milankovitch itu menduga bahwa Bumi akan segara masuk ke zaman es. Data suhu yang dikumpulkan Mitchell pun selaras dengan teori Milankovitch -- dari tahun 1940 hingga 1970, suhu Bumi mengalami pendinginan sekitar 0,3 derajat Celsius.
Namun, ilmuwan asal Rusia, Mikhail Budyko, memperkirakan bahwa Bumi akan mengalami pemanasan global. Meski kala itu terjadi tren pendinginan, ia mengatakan bahwa meningkatnya emisi karbon dioksida akan menyebabkan pemanasan global.
Seorang ilmuwan lain Veerabhadran Ramanathan, mengatakan bahwa klorofluorokarbon (CFC) 200 kali lebih 'ampuh' menyebabkan pemanasan global dibanding karbon dioksida. Tertarik dengan penelitian Budkyo dan Ramanathan, Hansen kemudian membuka kembali perhitungannya yang ia lakukan 10 tahun lalu.
Berkolaborasi dengan rekannya di NASA, Andy Lacis, Hansen membangun model iklim sederhana untuk menyimulasikan perubahan suhu Bumi. Mereka kemudian mengubah input untuk menyimulasikan pengaruh kumulatif semua gas rumah kaca buatan manusia, kecuali karbon dioksida.
Tim Hansen kemudian menemukan bahwa efek pemanasan global dari seluruh gas tersebut sebanding dengan efek pemanasan dari karbon dioksida.
Model sederhana tersebut juga memungkinkan Hansen menyimulasikan dampak erupsi Gunung Agung terhadap iklim global 15 tahun setelahnya. Model tersebut mengindikasikan bahwa adanya aerosol vulkanik di atmosfer Bumi menyebabkan pendinginan global.
Dari perhitungannya, diketahui bahwa aktivitas manusia dan alam dapat memaksa iklim berubah. Namun, Hansen memahami bahwa fenomena alam seperti letusan gunung berapi atau perubahan aktivitas Matahari, cenderung naik turun dalam jangka waktu yang lama. Sementara, manusia menyebabkan emisi gas rumah kaca terus meningkat dan mengancam iklim global secara nyata.
"Sudah jelas bahwa gas rumah kaca yang dihasilkan manusia menjadi penyebab dominan, dan bahkan melebihi fenomena pendorong lain, seperti gunung berapi atau posisi Matahari, di beberapa titik di masa depan," jelas Hansen.
Advertisement
3. Memicu Kekeringan di China
Pada 2014, ilmuwan asal Hong Kong, Yim Wai-shu, mengatakan bahwa erupsi dua gunung berapi di Indonesia menjadi penyebab keringnya iklim di Malaysia dan Singapura. Pada saat yang sama, aktivitas vulkanik itu menyebabkan kekeringan di China selatan.
"Uap air di wilayah tersebut tersedot ke arah gunung berapi di Indonesia yang mulai meletus pada November, sehingga uap air di kawasan teralihkan," ujar Yim yang merupakan wakil ketua perubahan iklim UNESCO 2007-2009.
"Kemungkinan, juga akan mempengaruhi China bagian selatan...Waktu yang akan membuktikan apakah saya benar," ujar Yim yang mengatakan bahwa kesimpulannya tersebut didukung dengan data yang luas.
Menurut Yim, kekeringan tersebut disebabkan oleh dua erupsi gunung, yakni Kelud dan Sinabung. Erupsi Gunung Kelud dimulai sejak Februari 2014. Kala itu, erupsi tersebut mengirimkan abu hingga setinggi beberapa kilometer ke udara.
Sementara itu pada akhir tahun, yakni November 2014, Gunung Sinabung di Sumatera Utara juga turut mengalami erupsi.
Dilansir South China Morning Post, Yim mengatakan bahwa ketika gunung tersebut erupsi, gas dan abu membentuk kolom yang mengalir ke atmosfer. Letusan Gunung Kelud membentuk kolom setinggi 26 kilometer dan Sinabung setinggi 12 km. Keduanya masuk ke stratosfer dan mengubah pola sirkulasi normal.
Hal tersebut juga terjadi pada 1963, ketika Gunung Agung meletus dengan hebat. Kala itu, China selatan mengalami salah satu kekeringan terburuk. Warga Hong Kong pun hanya mendapatkan persediaan air empat jam per harinya.
Sementara itu, erupsi Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991, menyebabkan rendahnya curah hujan di sejumlah daerah.
Dari kedua kasus tersebut, lonjakan panas akibat erupsi menyebabkan udara dingin di sekitarnya ditarik. Karena lokasi Hong Kong menjadi batas daratan Asia, perubahan angin menyebabkan kekeringan.
Namun, menurut Yim, erupsi gunung juga dapat menyebabkan banjir -- bergantung pada ledakan, lokasi, dan waktu letusan. Saat El Chichon di Mesksijo meletus pada 1982, awan vulkanik yang tersebar hingga ke Laut China Selatan membuat Hong Kong diterjang hujan deras.
"Gunung berapi tak sering erupsi, tapi ketika itu terjadi, dampaknya sangat besar terhadap iklim. Namun tidak banyak ilmuwan yang mempelajari ini," kata Yim.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: